ADA DIAKONIA GEREJA TETAPI GAJI PENDETA PENSIUN KURANG

Kupang, www.sinodegmit.or.idNasib Pendeta pensiun masih menjadi persoalan besar Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Bagaimana tidak? Tunjangan pensiun yang diterima setiap bulan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Menurut dokumen Badan Diakonia GMIT (BDG), jika masa kerja seorang karyawan GMIT dibawah 30 tahun, maka nilai gaji pokok terakhir dikali 2 persen kali masa kerja untuk dapat akumulasi pensiun. Nilai Tunjangan pensiun yang diterima sekarang paling rendah Rp. 800.000 per bulan dan tertinggi Rp. 2.974.000 per bulan, sesuai lama masa kerja.

Sampai Mei 20017, jumlah pendeta pensiun, janda, duda, anak yatim, dan ahli waris pendeta sudah lebih dari 500 orang. Dana yang dikeluarkan dari Anggaran Pendapatan Belanja Majelis Sinode GMIT untuk membayar tunjangan mereka lebih dari Rp. 450 juta per bulan. Namun jumlah tersebut belum cukup memenuhi kebutuhan pendeta pensiun.

”Banyak teman pendeta yang sudah pensiun tetapi tidak memiliki rumah, ada yang masih membangun rumah dengan usaha mereka. Tunjangan pensiun dari Badan Diakonia GMIT itu tidak cukup,” kata Pdt. Emr. Junus Polly (70), di Noelbaki, Rabu (4/7). Karena itu menurut pensiunan pendeta yang telah melayani selama 34 tahun ini, Pendeta perlu memberdayakan diri untuk mempersiapkan masa pensiunnya. Jangan hanya mengandalkan diakonia dari GMIT.

Kondisi senada juga dikeluhkah Pdt. Emeritus (Emr). Laurens Maniley yang menghabiskan 32 tahun melayani di GMIT. Ia pensiun pada tahun 2008, saat salah satu putrinya sedang melanjutkan kuliah di Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Sedangkan  putrinya yang lain tidak dapat melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi karena tidak ada biaya. Sekarang ia menerima tunjangan pensiun tetap, namun ia masih bersusah payah untuk menyelesaikan pembangunan rumahnya. “Selama melayani di jemaat, jarang menerima tunjangan, hanya natura. Sonde cukup menabung untuk masa pensiun. Sekarang ada gaji pensiun, meskipun kurang tetapi Tuhan sonde tinggalkan bapak dengan mama. Kotong masih hidup.” Kata pendeta yang kini tinggal di Oenali, Soe.

“Dari data penerima pensiun, beberapa janda pendeta tidak memiliki pekerjaan. Mereka bersusah payah untuk hidup bersama anak-anak yang masih sekolah,” Kata Dewi Mansula, staf keuangan BDG (4/7). Namun demikian, ada pendeta yang sudah memiliki rumah dan anak-anak mencapai gelar sarjana saat memasuki masa pensiun.

Menyikapi kondisi tersebut, BDG mencari donatur untuk mendukung diakonia emeritus. Sumber dana terbesar berasal dari jemaat, lalu dikelola dalam bentuk diakonia bergulir, sumbangan wajib dan investasi. Yang paling diprioritaskan ialah pembangunan Pusat Pelayanan Diakonia di Tesabela, Kupang Barat, salah satu kegiatannya ialah pendirian Panti Asuhan. BDG juga telah memperjuangkan pembentukan wadah emeritus, sebab selama ini hanya terkotak-kotak di setiap Klasis.

Selain itu, ada amplop diakonia yang disebar di 46 klasis untuk diteruskan ke seluruh jemaat GMIT. Pada tahun 2016, disebarkan 14.000 amplop tetapi yang masuk kembali hanya 1.000 amplop dengan nilai sebesar Rp. 300 juta. “Seandainya 14 ribu amlop itu masuk semuanya, maka jumlah yang diperoleh sebesar Rp. 3 miliar. Dengan uang sebesar itu BDG dapat melakukan banyak hal, bukan hanya untuk para emeritus, tetapi juga untuk anak-anak sekolah, terutama yang sedang menulis skripsi,” kata Pdt. Jes Djonaga,  sekretaris keuangan BDG (4/7).

BDG sedang mengadakan sosialisasi di setiap Klasis untuk memberikan pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya kontribusi jemaat-jemaat bagi pelaksanaan diakonia GMIT dan perhatian kepada pendeta pensiun. Salah satu klasis sudah berjalan yaitu Klasis Rote Barat Daya melaksanakan program diakonia kepada 3 (tiga) pendeta pensiun di wilayah tersebut. *** (Kalvin Benu)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *