Darurat Radikalisme?

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Setelah pembentukan kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024 oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 20 Oktober lalu, berbagai polemik bermunculan. Muncul semacam ketidak berterimaan terhadap sejumlah posisi Menteri, terutama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama. Penolakkan terhadap Mendikbud maupun Menag didasari alasan bahwa keduanya tidak kompeten di kementerian yang ditempati. Nadiem Makarim yang memimpin kemendikbud, diragukan karena selain masih terlalu muda, juga bukan berasal dari kalangan akademisi yang paham dunia pedagogi. Begitu pula Fachrul Razi, Menteri Agama pilihan Jokowi ini menuai kontroversi karena berlatar belakang militer, bukan ahli di bidang agama.

Pdt. Gusti Menoh

Persoalannya makin serius karena dibalik penunjukkan Fachrul Razi, agenda besar Presiden adalah bagaimana mengatasi radikalisme agama. Jokowi sendiri mengatakan, “kita ingin yang berkaitan dengan radikalisme, yang berkaitan dengan intoleransi itu betul-betul secara kongkret bisa ditangani oleh kementerian agama”. Fachrul Razi pun mengafirmasi agenda Presiden tersebut. Padahal sejumlah pihak menganggap agenda pemberantasan radikalisme tersebut sebagai sesuatu yang berlebihan, karena tugas kemenag lebih luas dari sekedar persoalan radikalisme agama dan masalah ini pun dianggap tidak terlalu serius. Namun di mata pemerintah, radikalisme merupakan persoalan serius saat ini sehingga sejumlah kementerian pun diminta memberi perhatian serius pada isu tersebut. Penunjukan Mahfud MD sebagai menkopolhukan, Prabowo sebagai Menhan, dan Tito Karnavian sebagai sebagai mendagri juga tak lepas dari agenda Presiden untuk menumpas radikalisme.

Pertanyaannya, apa sesungguhnya radikalisme itu? Sedarurat itukah persoalan radikalisme agama saat ini? Mengapa ia menjadi fokus besar Presiden? Bagaimana mengatasi persoalan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini lahir dari kecintaan kepada bangsa dan negara republik Indonesia, yang keutuhannya harus diperjuangkan terus-menerus oleh setiap warga, termasuk gereja.

Radikalisme Agama: melampaui manipulasi agama

Presiden Jokowi mengusulkan agar istilah radikalisme digantikan dengan kata manipulator agama. Usulan tersebut sesungguhnya tidak terlalu tepat karena radikalisme memiliki makna yang jauh lebih luas dari sekedar manipulasi agama. Tetapi maksud Presiden dapat kita pahami mengingat radikalisme memang berkembang kuat dalam konteks politik elektoral, pilkada maupun pilpres dewasa ini. Dalam konteks kontestasi politik itulah, ajaran-ajaran agama eksklusif dimanfaatkan oleh para politisi untuk meraih kekuasaan. Para politisi seringkali memainkan ayat-ayat suci keagamaan yang menolak memilih pemimpin di luar kelompoknya agar mereka-lah yang dipilih.  Mereka juga tak segan-segan memprovokasi para warga dengan sentimen keagamaan untuk membuat rusuh dan merusak demokrasi demi kepentingan diri. Mereka memanipulasi agama demi nafsu kekuasaan yang tak terkendali. Bagi mereka, omongan-omongan suci yang berbalutkan ayat-ayat suci keagamaan hanyalah cara untuk menarik simpati warga. Mereka tampak saleh tetapi sesungguhnya agama hanyalah alat yang dipakai untuk mencapai tujuan diri. Dalam konteks inilah Presiden mengusulkan agar kata radikalisme diganti dengan istilah manipulator agama, karena agama sering dimanipulasi oleh mereka yang berburu kekuasaan.

Namun sesungguhnya arti radikalisme lebih luas dari itu. Radikalisme, kata dasarnya Radikal. Kata radikal dari bahasa Latin adalah radix, yang berarti akar. Dengan radikalisme, orang ingin kembali ke akar identitasnya, baik itu etnis, ras maupun agama. Dalam konteks agama, kaum radikal ingin kembali kepada perintah ayat-ayat kitab suci semula (akarnya). Sayangnya, perintah-perintah ayat-ayat suci itu dipahami secara harafiah tanpa digali dahulu konteksnya, dan tanpa dialog dengan ilmu-ilmu lain. Minimnya ilmu hermeneutik dan keterbukaan pada interdisplin ilmu mengakibatkan kepercayaan buta pada iman, betapa pun ajaran agama itu destruktif. Dengan kata lain, karena kurangnya pengetahuan dan kebijaksanaan, orang terjebak pada kesalahpahaman, dan menjadi intoleran. Kita dapat mengatakan bahwa radikalisme terjadi karena ajaran dan praktek hidup kaku dalam beragama tanpa adaptasi dengan situasi zaman dan lingkungan.

Dalam konteks Indonesia, radikalisme menjadi sebuah paham yang mengusung ideologi keagamaan tertentu untuk menjadi dasar hidup berbangsa dan bernegara dan bertujuan menggantikan Pancasila dan UUD 1945. Dalam praktek, radikalisme menjadi sebuah gerakan politik berbasis agama yang ingin mengubah secara total sistem pemerintahan yang sahi di negara ini. Untuk tujuan itu, perjuangan radikalisme di tanah air seringkali dilakukan dengan kekerasan dan teror. Inilah yang membuat radikalisme menjadi musuh utama negara saat ini.

Kedaruratan Radikalisme agama

Benih-benih radikalisme dan konsekuensinya sudah lama nyata di Republik ini. Sejak krandemokrasi terbuka di era reformasi, kelompok-kelompok radikal mendapat panggung untuk terlibat dalam ruang publik. Mereka membangun organisasi kemasyarakatan berbasis agama, mengusung politik identitas berdasar agama, mengajukan peraturan-peraturan berbasis agama, mengusung ideologi agama menggantikan Pancasila, menolak memberi hormat pada bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, suka mengkafirkan orang lain, menolak pendapat dan keyakinan (agama) yang berbeda dari mereka, melakukan razia di tempat-tempat hiburan, dan lain sebagainya.

Selain perjuangan pada aras ideologi dan konstitusi, radikalisme juga menjelma menjadi teror dan kekerasan. Sejak reformasi, bangsa ini tidak pernah lepas dari berbagai ancaman kekerasan dan terorisme yang diprakarsai oleh kaum radikal. Akibatnya, hampir tiap tahun terjadi bom bunuh diri di tanah air yang memakan banyak korban. Yang paling mengejutkan adalah tindakan penusukan terhadap mantan Menkopolhukam Wiranto, pada tanggal 10 Oktober yang lalu. Peristiwa ini mengagetkan karena bagaimana mungkin seorang pejabat tertinggi bidang keamanan (Menteri kordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan) bisa jeboldari pengamanan aparat keamanan. Penusukan terhadap Menkopolhukam dapat diartikan sebagai jebolnya pertahanan keamanan negara oleh kaum radikal. Mereka seakan berhasil menghancurkan pilar-pilar keamanan bangsa. Inilah yang membuat pemerintah makin was-was dengan bahaya radikalisme yang kian merajalela dan menjadikannya musuh negara.

Radikalisme sudah menyusup ke berbagai kalangan, orang dewasa maupun anak kecil, kaya maupun miskin, rakyat biasa maupun pejabat, ASN bahkan anggota TNI. Mantan Menhan Ryamizard Racudu menyebut ada 3% prajurit TNI terpapar radikalisme. Mereka tidak lagi Pancasilais. Seorang mantan panglima TNI mengatakan, “dulu, ancaman radikalisme terhadap konstitusi dan pancasila ada di luar pemerintah, seperti DI/NII. Tapi sekarang, garis keras (radikal) sudah masuk ke dalam pemerintahan, termasuk parlemen, dan menjadi jauh lebih berbahaya dari sebelumnya”.

Kondisi ini membuat Presiden gerah dan memberi perintah langsung kepada Menkopolhukam, menag, mendagri, menhan, untuk membersihkan negara ini dari radikalisme. Sebab Negara sepertinya sudah dalam situasi darurat radikalisme. Dan apa yang dianggap sebagai musuh negara ini bukan sesuatu yang enteng. Radikalisme sungguh-sungguh berbahaya, sebab ia menyusup secara halus dalam pikiran dan mengejewantah dalam tindakan kekerasan dan teror yang mematikan. Dan siapa pun dapat terkena dampak radikalisme, terutama para pejabat negara karena radikalisme menganggap negara sebagai musuh yang menghalangi niatnya untuk mendirikan sistem pemerintahan berdasarkan ideologi radikal keagamaan. Daruratnya radikalisme ini membuat pemerintah tidak mau main-main dalam penangangannya, karena pemerintah tidak ingin bangsa dan negara ini hancur seperti sejumlah negara Timur Tengah yang terpapar radikalisme.

Mengatasi Radikalisme

Persoalan radikalisme bukan hal sederhana. Radikalisme merupakan persoalan yang sangat kompleks. Ia berkaitan dengan ajaran (agama), ideologi, politik, budaya, kepentingan, pendidikan, dan lain sebagainya. Maka penanganannya pun harus multidimensi. Pertama, dari agama-agama sendiri. Agama-agama perlu mengembangkan hermeneutik yang kritis dan melibatkan disiplin ilmu lain. Agama-agama perlu membersihkan diri dari cara pandang radikal, sempit dan intoleran. Mereka perlu mengembangkan tafsiran-tafsiran yang inklusif dan humanis. Antar agama pun perlu dialog dan kerja sama sehingga terjadi saling pengertian dan saling menghormati. Agama-agama harus mampu mendiagnosa benih-benih radikalisme yang nampak melalui khotbah, sikap dan relasi agar segera ditangani. Lebih jauh, agama-agama harus menjadi garda terdepan dalam mengajarkan kemanusiaan, keterbukaan, toleransi, dan sikap saling menghormati. Langkah-langkah ini menolong agama untuk tidak jatuh pada radikalisme dan eksklusivisme.

Kedua, dari Negara. Negara harus memperkuat ketahanan nasionalnya. Pengaruh dari luar harus dibendung dengan cara-cara yang cepat dan cermat. Ajaran-ajaran radikal harus segera ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Tidak boleh ada pembiaran. Artinya negara harus menegaskan diri sebagai negara hukum, yang berdiri netral dari berbagai doktrin agama-agama, dan tidak boleh ragu menindak kaum radikal. Lebih dari itu, negara harus terus mengajarkan kepada warganya tentang pendidikan kewargaan, tentang hidup berbangsa dan bernegara berdasar Pancasila dan UUD 1945. Ketaatan kepada Negara berlaku mutlak. ASN, POLRI, dan TNI harus diperkuat kecintaan dan komitmennya pada NKRI agar mereka menjadi garda depan pemberantasan radikalisme.

Ketiga, melalui Pendidikan. Sistem pendidikan di Indonesia harus dirombak. Hal-hal yang bersifat dogmatis dan eksklusif harus dibongkar. Keterbukaan dan sikap kritis harus menjadi roh dari sistem pendidikan Indonesia, baik pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi. Segala bentuk intoleransi di dalam sistem pendidikan Indonesia harus ditumpas, demi keutuhan jati diri Bangsa Indonesia. Keempat, pentingnya keteladanan para politisi. Para pimpinan politik di Indonesia harus memberi keteladanan sikap terbuka. Mereka harus bersikap tegas menumpas segala bentuk ajaran radikal yang ada di Indonesia. Mereka juga harus menjadi teladan keterbukaan dan sikap profesional di dalam kerja-kerja mereka sehari-hari. Para politisi dan partai politik tidak boleh menjadi peternak politik yg memanfaatkan radikalisme sebagai kendaraan politiknya dalam setiap momen pemilihan.

Catatan akhir

Benih-benih radikalisme ada dalam setiap agama. Ajaran-ajaran fundamentalistik agama-agama berpotensi melahirkan radikalisme. Oleh karena itu, setiap agama terpanggil untuk mengembangkan hermeneutik yang kritis dan terbuka atas teks-teks kitab sucinya agar umat tidak terjebak pada radikalisme. Agama-agama pun terpanggil untuk setia mengajarkan kebaikan dan kasih persaudaraan yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan toleransi. Bila ini dilakukan, agama-agama sudah turut mencegah lahirnya benih-benih radikalisme di tanah air.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *