Gereja Bukanlah Gedungnya (Efesus 2:18-22) — Pdt. Gusti Menoh

Pdt. Gusti Menoh

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Dalam ilmu hukum internasional, ada istilah statelessness, yang menjunjuk pada mereka yang tidak jelas statusnya sebagai warga dari suatu negara-bangsa. Umumnya mereka adalah para pengungsi/pelarian dari suatu negara yang lain. Namun tak jarang, mereka yang disebut statelessness adalah juga orang-orang yang tidak diakui dan diterima secara politis di suatu negara. Mereka lahir dan besar di situ, tapi selalu dipandang non-pribumi, pendatang, orang asing, dan karenanya tidak memiliki hak-hak yang sama dengan warga asli di suatu tempat.

Orang-orang keturunan China di tanah air, atau orang-orang Timor Leste di sekitar kita, walaupun di KTP tertulis warga Indonesia, tapi selalu diperlakukan sebagai orang asing/pendatang. Orang-orang Sabu di Timor, atau orang-orang Timor di Sabu, selalu dipandang sebagai pendatang/orang asing, sehingga kadang-kadang mengalami diskriminasi. Sikap semacam ini menjadi sebuah kecenderungan umum di Efesus. Surat Efesus ditulis untuk juga menangani pertentangan tersebut, sekaligus memberi pemahaman yang benar tentang kesatuan di dalam Kristus.

Penjelasan Teks

Surat Efesus tidak dialamatkan kepada jemaat tertentu yang sedang dalam masalah khusus. Surat ini lebih menanggapi suatu kecenderungan umum di dunia Yunani saat itu, tidak terkecuali orang Kristen, yaitu tendensi kepada individualisme rohani, pembentukan kelompok-kelompok kecil yang hanya terbuka bagi orang-orang yang sehaluan. Oleh karena itu, surat Efesus menekankan persatuan. Bila dalam bidang politik negara Roma mempersatukan dunia, maka gereja pun mempersatukan semua orang yang percaya kepada Kristus. Penulis Efesus melihat dalam masyarakat Yunani-Romawi yang dilingkupi negara Roma sejumlah jemaat Kristen yang terpencar-pencar. Semua Jemaat itu memuja Tuhan sorgawi, Yesus Kristus. Itu berarti ada kesatuan dasariah, Kristus menjadi batu penjuru seluruh jemaat. Namun, jemaat yang berlatar belakang Yahudi cenderung merasa diri lebih istimewa dari mereka yang lain, sehingga terjadi semacam ada tembok pemisah diantara jemaat. Penulis mengurai beberapa hal dalam bacaan tadi dan memberi pemahaman baru.

Pertama, mereka yang berlatar belakang Yahudi menjadikan sunat sebagai penanda keistimewaan mereka, yang membatasi mereka dengan yang tak bersunat. Mereka yang tidak disunat, dianggap jauh dari Allah, dan tidak mendapat bagian dalam janji-janji Allah. Sedangkan orang-orang Yahudi merasa diri paling dekat dengan Allah dan mendapat bagian dalam janji-janji Allah. Dalam konteks itulah penulis menekankan bahwa keterpisahan itu sudah dijembatani oleh Kristus. Dengan datangnya Kristus ke dunia, tidak ada lagi pemisahan antara orang Yahudi dan non-Yahudi. Orang-orang non-Yahudi bukan lagi orang asing, orang jauh, pendatang. Mereka sudah menjadi kawan sewarga dari orang-orang kudus, satu keluarga Allah di dalam Kristus (ay.18-19). Sebab baik orang Yahudi maupun non-Yahudi telah dipersatukan di dalam satu tubuh serta dibawa untuk menikmati perdamaian dengan Allah. Dengan kata lain, penebusan Kristus bukan hanya menyelesaikan perseteruan diantara manusia karena berbagai perbedaan, tetapi juga menyatukan semuanya di dalam kasih dan perdamaian penuh.

Kedua, oleh karena Kristus yang menjadi dasar kesatuan jemaat, maka Ia disebut batu penjuru. Gereja bukan gedung, tetapi warga jemaatnya. Dan Kristus adalah batu penjuru gereja-Nya. Batu penjuru adalah bagian dari pondasi, sebuah batu yang paling kokoh dan berfungsi untuk memastikan ketepatan dan kekokohan seluruh bangunan. Pondasi sudah diletakkan, di mana Kristus menjadi batu penjuru. Artinya sebuah gereja mesti menjadikan Kristus sebagai dasar keberadaan dan pelayanannya. Gereja mesti sadar bahwa ia ada karena Kristus dan untuk Kristus, bukan yang lain. Disebutkan pula bahwa persekutuan orang-orang kudus itu dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, tetapi Kristus adalah batu penjurunya. Apa yang dikatakan Paulus ini sesuai dengan janji Tuhan Yesus bahwa Ia akan mendirikan jemaat-Nya di atas Petrus sebagai perwakilan para rasul (Mat. 16:18-19). Hal ini bisa dipahami demikian: bahwa melalui pemberitaan dan kesaksian para rasul dan para nabi-lah orang-orang menjadi percaya kepada Kristus dan disatukan di dalam-Nya.

Ketiga, jemaat sebagai bangunan yang rapi tersusun, menjadi bait Allah yang kudus. Perbedaan seringkali menjadi penyebab berbagai konflik dan perpecahan. Tetapi di dalam Kristus, semua bagian disusun menjadi rapi, kokoh dan utuh. Kesatuan di dalam gereja, diantara warga jemaat harus lebih kuat dari jenis-jenis persatuan lain di luar, karena di dalam gereja, yang mengikat mereka adalah Kristus. Bahkan mereka adalah orang-orang yang dikuduskan, untuk hidup kudus. Artinya warga gereja adalah orang-orang yang ditebus sehingga mesti hidup sebagai orang-orang baik dan benar. Mereka berbeda dari orang-orang dunia yang masih terus hidup dalam dosa.

Keempat, Proses pembangunan jemaat masih akan terus berlangsung. Jemaat sendiri adalah bangunan bait Allah, tempat kediaman Allah. Kehidupan jemaat mesti terus membuktikan bahwa diri mereka adalah bait Allah, tempat Allah berdiam. Sehingga melalui kehidupan dan kesaksian mereka, Kristus diterima dan dipercaya sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Catatan aplikatif

Pertama, Kristus telah menyatukan orang-orang percaya di dalam kasih dan perdamaian. Maka sebagai gereja kita sudah seharusnya saling menerima dan senantiasa hidup dalam persatuan. Kita mungkin berbeda pendidikan, kelas sosial, suku, etnis, budaya, warna kulit, jenis kelamin, usia, tetapi hendaklah hal-hal itu tidak menjadi tembok pemisah diantara kita, karena sesungguhnya kita ini satu keluarga Allah di dalam Tuhan Yesus. Mereka yang datang di daerah kita, mesti kita terima sebagai saudara di dalam Kristus. Kita tidak boleh memperlakukan para pendatang sebagai orang asing.

Kedua, agar persekutuan kita kokoh, jadikan Kristus sebagai batu penjuru keberadaan kita. Gereja ada dan berdiri dan melayani bukan karena uang, kekayaan, kepintaran, pengalaman, kekuasaan, tetapi karena Kristus. Maka marilah seluruh pelayanan dan ibadah kita dijalankan dalam kesadaran bahwa Kristuslah dasarnya, dan hanya demi Kristuslah kita beribadah dan melayani.

Ketiga, sebagai gereja kita mesti memastikan bahwa diri kita adalah orang-orang yang telah dikuduskan. Maka mari kita berupaya untuk hidup sebagai orang-orang kudus yang berkenan kepada Allah. Ini tidak berarti kita merasa paling suci dari orang lain, melainkan ada usaha sungguh-sungguh untuk berperilaku sebagai orang-orang beriman. Keempat, mari kita pastikan bahwa diri kita menjadi kediaman Allah. Artinya dalam seluruh hati kita, Allah bertakhta di dalamnya, berkuasa atas hidup kita, agar nampak sikap-sikap yang menunjukkan bahwa Allah ada dalam diri kita. Kehidupan kita mesti menjadi kesaksian tentang Kristus, karena Allah menetap dalam hati kita. Amin.