GEREJA JANGAN JADI SPONSOR WISATA ROHANI

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, “Gereja jangan menjadi sponsor kegiatan yang tak mampu dijangkau warga gereja. Itu keberatan saya dengan sejumlah perjalanan wisata rohani dsb., karena rata-rata warga GMIT tidak bisa menjangkau ongkos perjalanan seperti itu.”

Pernyataan tersebut disampaikan Pdt. Dr. John Campbell Nelson selaku salah satu pemateri dalam pembahasan sub tema GMIT 2018 “Bersama Kristus kita Hidupi Spiritualitas Ugahari demi Keadilan Terhadap Sesama dan Alam Lingkungan” yang berlangsung di aula kantor MS GMIT, Selasa, 14/11-2017.

Menurut utusan gereja United Church of Christ (UCC) USA, yang sudah melayani di GMIT lebih dari 30 tahun ini,  pendeta boleh berwisata rohani namun sebaiknya tidak dijadikan program jemaat.

“Kalau ada pendeta yang hemat uang dan mau pergi bersyukurlah, tapi itu jangan menjadi program gereja. Program gereja harus ugahari (sederhana). Harus ditujukan pada warga GMIT rata-rata. Bukan mengistimewakan para pendeta,” ujarnya.

Mengacu pada sub tema GMIT 2018 Pdt. John mengajukan beberapa pendasaran teologis.

Pertama, Pernyataan Tuhan Yesus, “Jual segala milikmu…dan ikutlah Aku!” Pernyataan Yesus ini tidak bermakna bahwa harta milik tidak baik tetapi ia bisa menjadi halangan untuk ikut Yesus. Berdasarkan pengalaman sebagai misionaris di Indonesia bagian Timur, menurutnya ancaman terbesar bagi gereja saat ini adalah kekayaan.

“Banyak gereja kita makin makmur dan di dalam kemakmuran mereka terancam untuk hilang rohnya. Tuhan Yesus bilang orang tidak bisa melayani Tuhan dan mamon sekaligus, tetapi kita masih coba-coba. Malah ada yang coba pasang topeng Yesus pada mamon dan apa yang terjadi, gereja menjadi golongan menengah, orang miskin makin jauh. Kita mulai makin terikat pada kuasa politik setempat dan wajah gereja makin diganti dengan semacam perusahaan agama. Ada beberapa gereja yang saya rasa sudah bukan lagi gereja karena hal itu. Itu yang mesti kita jaga. Keindahan dari keugaraharan adalah obat yang paling bagus untuk melawan marabahaya itu.”

Kedua, tema keugaharian merupakan tema yang hampir dilupakan oleh gereja-gereja reformasi padahal para reformator gereja terutama Luther, gigih menentang perilaku sebagian klerus yang hidup mewah pada zamannya.

“Luther melihat bahwa bersama dengan janji untuk hidup selibat, janji untuk hidup sederhana itu sudah diabaikan oleh kaum klerus. Salah satu protes yang ia utarakan adalah pemanfaatan gereja sebagai sarana untuk menghimpun kekayaan. Dalam suara reformasi yang dia lontarkan justru keugaharian yang dia tekankan. Jangan jadi orang seperti fakir miskin yang asketis yang benci dunia tapi jangan juga jadi uskup-uskup yang kumpul harta dan hidup mewah. Hiduplah seperti rakyat kebanyakan. Hidup secara ugahari.”

Belajar dari pengalamannya bertahun-tahun tinggal di Lelobatan-TTS, Pdt. John mengisahkan sikap ugahari yang ditunjukkan seorang warga desa yang tidak mau menjual buah-buah jeruk dengan sistem ijon. Alasan warga desa sebagaimana penuturan Pdt. John, “Kalau saya jual, saya memberi apa pada tamu yang datang?”

Berdasar pengalaman tersebut Pdt. John menyimpulkan bahwa kesederhanaan memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk hidup berbagi. “Kalau kita hidup sederhana kita ada lebih banyak untuk memberi. Kita bukan hanya menjadi konsumen tapi kita punya sesuatu untuk memberi. Jadi, nikmat dari sikap ugahari adalah kita bisa bersahabat, berkomunikasi dan bersekutu dengan orang yang sederhana juga.

Sebagai bentuk penerapan dari tradisi reformasi Pdt. John meminta agar gereja jangan sekali-kali memakai uang sebagai motivasi untuk pelayanan.

Senada dengan itu, Pdt. Dr. Mesakh Dethan dalam materinya juga mengkritisi jemaat-jemaat GMIT yang berlomba memarkir jutaan hingga milyaran uang di bank-bank dan mengabaikan pelayanan kepada kaum miskin.

“Orang tidak perlu menimbun makanan dan kekayaan karena kuatir hari esok. Gereja juga tidak perlu menimbun “makanan dan kekayaan (menimbun uang kolekte di berbagai bank-bank) karena kekuatiran hari esok. Karena demi kekuatiran hari esok banyak gereja yang dipandang mampu justru menutup mata terhadap beban pelayanan gereja-gereja yang kurang mampu.”

Sementara itu, pemateri lainnya Pdt. Dr. Lintje Pellu, menekankan tugas dan panggilan gereja untuk merawat alam.

“Kapasitas ekologi dan ekosistem kita terbatas. Adanya kerakusan-kerasukan untuk mendapatkan lebih dari yang dibutuhkan tidak sebanding dengan daya dukung ekologis. Tanah menjadi terbatas, pohon-pohon ditebang untuk mengasilkan kertas-kertas dsb.-nya, dan segala sesuatu yang kita butuhkan membuat alam terkuras secara masif. Karena itu, gereja harus memberi respon, paling tidak gereja turut mencegah sebelum terjadi secara masiv,” kata penjagar pada pasca sarjana Fakultas Teologi UKAW-Kupang ini.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *