Jumat Agung Dan Tiga Kelompok Islam – Aan Anshori

Aan Anshori

www.sinodegmit.or.id, Hari ini Jumat Agung di tengah pandemi Corona. Dua ribuan tahun lalu, pada hari yang sama, banyak orang berkumpul menyaksikan seorang manusia menjalani penghukuman yang sangat kejam, sebelum akhirnya diarak dan mati di kayu salib. Disalib adalah simbol penghukuman paling nista, paling dihindari. Hampir tidak ada yang berani ngomong dengan bangga dan riang gembira, “Asyikkk, aku besok disalib,”

Namun demikian, ribuan tahun kemudian, manusia yang disalib tersebut berubah menjadi figur sentral, manifestasi Illah sempurna dengan darah dan dagingnya, dan memiliki miliaran pengikut.
Peristiwa penyaliban Yesus yang menjadi titik sentral keimanan pengikutnya, secara bersamaan juga menjadi poin krusial yang dipersoalkan doktrin mainstream agama sesudahnya, Islam, agamaku. Doktrin tersebut diajarkan bahwa Yesus tidak disalib. Dia diselamatkan Allah dari penghinaan tentara dan komplotannya. Dalam teksnya, AlQuran jelas mengecam siapapun yang membuat plot untuk menghancurkan Yesus.
Hingga hari ini, aku merasa umat Islam terbelah menjadi tiga kuadran menyangkut peristiwa penyaliban Yesus. Pertama, dan ini yang paling dominan, adalah mereka yang tidak bisa menerima Yesus, messenger of God ke-24 dalam galaksi 25 rasul Islam, mati disalib. Kenapa mereka tidak bisa menerima hal itu? Jawabnya simpel; mereka tidak bisa menerima kenyataan ada orang baik yang dilindungi Allah dapat mati setragis dan sehina itu. Cukuplah Ayub saja. “Tidak, itu tidak boleh terjadi. Itu sama artinya Tuhan lemah karena tidak mampu memproteksi kekasihNya. Tuhan kami tidak selemah dan setega itu,”
Cara pandang ini, lebih tepatnya –situasi kebatinan ini, sepenuhnya bersifat arbitrer, sangat personal dan sangat psikologis. Mungkin situasinya mirip seperti Anda yang masih rela menduda/menjanda, ke mana-mana membawa foto mendiang pasangan yang sangat Anda cintai, tak mau menikah lagi karena menganggap pernikahan dengan orang lain adalah pengkhianatan pada mendiang. Anda 100 persen masih meyakini mendiang masih hidup, tidak mati seperti anggapan banyak orang, sebab tidak mungkin Tuhan akan menyengsarakan Anda, umatNya.
Kelompok ini juga aklamatif menolak Yesus sebagai sepenuhnya-Tuhan –dan sepenuhnya-manusia– karena dalam logika sederhana mereka; tidak masuk akal Tuhan menitis pada manusia, apalagi pada ia yang hayatnya berakhir senista itu. “Lu gile ya, masak lu mau nyamain gue, artis, dengan pengemis. Lu menghina gue tauk!”
Sangat mungkin ini imbas pengajaran normatif pada setiap muslim terkait doktrin “shame and honor,” Doktrin ini, pada titik tertentu, sangat kuat dipengaruhi cara pandang Perjanjian Lama. Diksi seperti weak, rejected, unknown, defeated, poor, blind, orphaned, humbled dan dead adalah representasi dari “shame,” yang harus dihindari setiap orang, apalagi disematkan kepada Tuhan.
Itu sebabnya, tatkala Musa berhasil membebaskan bangsa Israel dari Mesir, ia dianggap mampu mengubah “shame,” menjadi “honor,” bagi bangsa tersebut. Kata “honor,” biasanya identik dengan; healed, worthy, beloved, clean, citizen, rich, conquerer, adopted, strenght, resurrected, reconciled, choosen, dan blessed.
Mereka, kelompok pertama, akan sekuat tenaga menghajar siapa saja yang memposisikan Tuhan sejajar dengan manusia “lemah,” cum “mati nista di kayu salib,” seperti Yesus. No way! dalam pandangan mereka.
Mereka bersikeras tak menggubris argumentasi apapun yang mereka pikir ujungnya hanya akan menganulir keyakinan mereka tentang Tuhan dalam narasi “shame and honor,” tadi. Tak terkecuali argumentasi dan logika indah nan mencengangkan Trinitas a la Athanasius.
Bagi mereka, siapapun yang memosisikan Yesus sebagai Tuhan sama saja menabrak doktrin utama keesaan Tuhan yang dibawa Abraham hingga Musa; jangan ada ilah lain di antara kita. Titik. Kelompok intoleran-destruktif dari kalangan Islam yang selama ini rajin menjadi panopticon-keilahian bagi orang Kristen di Indonesia mengikuti doktrin ini, sepenuhnya. Mereka merasa memiliki mandat suci memproteksi kemurnian tuhan (tauhid).
Kelompok kedua, mereka yang meyakini doktrin sebagaimana kelompok satu, namun lebih memilih santai dalam menyikapi perbedaan. Mereka tidak terlalu mau dipusing dengan urusan tersebut. Mereka lebih memilih kerja-kerja oikumenik, dialog karya, ketimbang mendialogkan urusan kematian Yesus dalam landskap teologi Kristen maupun Islam. “Percuma, nggak akan ada habisnya. Lakum dinukum wa liyadin. Kita kerja sosial saja ya. Aku tetap baik sama kamu meskipun aku tidak mengucapkan selamat Natal.”
Baik kelompok satu maupun dua biasanya tidak merasa perlu mlipir untuk mempelajari bagaimana model pemahaman Kristiani atas doktrin Trinitas dan penyaliban Yesus. Kalau pun toh ada yang belajar, kerapkali bertujuan meneguhkan keyakinannya sendiri bahwa Yesus tidaklah disalib; bahwa ia bukan Anak Allah; bahwa Ia bukan Tuhan dan manusia, atau; bahwa penyalibanNya hanyalah kehinaan padaNya –ketimbang bermakna.
Kelompok ketiga, adalah kelompok minoritas. Yakni, mereka yang berupaya serius menemukan “jembatan,” teologis merekonsiliasi fakta historis dan klaim dogmatis di internal umat Islam. Dengan sungguh-sungguh mereka merekonstruksi ulang –sekaligus mendialogkan kembali– teks dan semangat alQuran dalam sirkuit kitab-kitab Abrahamik. Misalnya, dalam teks krusial alQuran, satu-satunya, seputar penyaliban (QS. 5:157), kelompok ini lebih memilih penafsiran; yang diserupakan/disamarkan adalah peristiwanya, bukan Yesus. Itu berarti, kelompok ini meragukan teori stuntman –bahwa yang disalib adalah orang lain yang diserupakan dengan Yesus– yang menjadi doktrin mainstream Islam-Sunni.
Dengan pemahaman antimainstream demikian, maka kelompok ini telah membuka gerbang terciptanya peluang menyisipkan “jembatan,” agar terjadi dialog antara fakta historik dan klaim teologis di internal Islam. Yang paling menantang untuk “direkonsiliasi,” justru seputar klaim keesaan.
Kelompok 1 dan 2 terasa belum mampu membedakan antara Tuhan dan Ketuhanan. Ketuhanan lebih menyerupai sebuah sistem. Cakupannya lebih luas ketimbang tuhan. Tanpa bermaksud menyederhanakan, kira-kira seperti ini; Sri Mulyani adalah Sri Mulyani sepenuhnya. Namun ia juga adalah Presiden Jokowi, sepenuhnya, saat mengumumkan kebijakan fiskal dan moneter. Dengan demikian, presidennya; Jokowi. Kepresidenannya; Sri Mulyani salah satunya. Presiden berbeda dengan kepresidenan, Islam tidak sama dengan keislaman, begitu juga dokter dan kedokteran. Tuhan orang Kristen adalah satu, esa, dengan model berketuhanan unik melalui Trinitas.
Saya berharap tiga kuadran beserta sekelumit penjelasannya ini dapat menjadi terang bagi siapapun yang berkehendak merawat kebhinnekaan Indonesia. Selamat merayakan Paskah, merayakan kemenangan dari penderitaan Gusti Yesus.
*Aan Anshori adalah Kordinator Jaringan islam Antidiskriminasi (JIAD), Penggerak GUSDURian Jombang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *