KOMNAS HAM GANDENG GMIT PERANGI PERDAGANGAN ORANG DI NTT

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Meningkatnya kasus perdagangan orang di NTT mendorong Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI bekerja sama dengan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) guna memerangi tindak kejahatan ini. Pembicaraan mengenai rencana kerja sama dua lembaga ini berlangsung kemarin, Selasa (1/5) di kantor sinode GMIT.

Johan Effendi, Kepala Biro Penegakan HAM Komnas HAM RI, mengatakan upaya kerjasama dengan gereja dipandang penting oleh karena independensi dan kepercayaan masyarakat kepada lembaga ini masih kuat.

“Gereja punya independensi dan trust. Atas dasar ini saya tawarkan kita kerja sama dan angkat isu perdagangan orang dan buruh migran sebagai isu bersama. Komnas HAM tidak terlalu penting menunggu Pemerintah Daerah setujui atau tidak, yang penting kita melakukan upaya dari sisi kemanusian tanpa harus disetujui pihak yang punya kewenagan di sini.”

Langkah Komnas HAM dalam memantau kasus perdagangan orang di NTT kata Johan, mengingat kasus kematian korban perdagangan orang sangat tinggi namun pemerintah pusat maupun daerah terkesan menganggap enteng persoalan ini. Karena itu melalui pertemuan ini Komnas HAM ingin mendengar dan meminta masukan dari gereja.

“Kami pilih NTT karena dari informasi media dan laporan yang masuk ke kami sepertinya tidak ada progres dalam penanganannya. Kasus yang muncul timbul tenggalam. Minggu ini muncul, minggu depan hilang, lalu muncul lagi, hilang lagi, terus menerus begitu. Padahal, terkait kematian korban perdagangan orang, bagi Komnas HAM ini pelanggaran hak yang paling dasar. Kerena ini menyangkut hak hidup yang tidak boleh dirampas oleh siapapun. Atas dasar itu Komnas HAM sangat concern dengan pembenahan-pembenahan terkait kebijakan dan perlakuan yang tidak manusiwi yang dilakukan oleh oknum maupun  akibat kebijakan pemerintah.”

Johan mengaku meski pihaknya tidak punya kewenangan melakukan eksekusi seperti KPK namun ia berharap kerja sama dengan masyarakat sipil di NTT menjadi kekuatan untuk menekan pihak-pihak terkait untuk membenahi persoalan human traficking.

Ketua MS GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon dalam pertemuan ini mempertanyakan posisi negara dalam menjamin hak-hak asasi warganya yang bekerja di luar negeri. Termasuk di dalamnya anak-anak TKI yang tidak punya dokumen.

“Bagaimana mekanisme negara kita menjamin hak-hak asasi dari warganya yang bekerja di luar negeri? Terlepas dari status dokukemnya legal atau ilegal tapi mereka manusia Indonesia. Bagaimana memastikan mereka terlindungi dari praktik-praktik perbudakan yang bahkan mematikan mereka. Mereka. Juga mengenai hak dari anak-anak mereka yang cenderung menjadi stateless,  karena mereka tinggal di hutan-hutan (perkebunan sawit, dll. red.).”

Menanggapi pertanyaan ini Johan mengatakan kewenangan sesunguhnya ada pada Kementrian Luar Negeri. Ia menambahkan bahwa ada kesulitan yang dihadapi pemerintah oleh karena hukum yang berlaku untuk warga negara di luar negeri adalah hukum negara setempat. Sehingga kewenangan Komnas HAM hanya sebatas berkoordinasi dengan Komnas HAM di negara itu.

Pdt. Mery juga meminta perhatian Komnas HAM terkait nasib anak-anak buruh migran yang rentan kekerasan karena ditinggalkan orang tuanya di kampung. Selain itu ia juga menyinggung pemalsuan identitas TKI oleh pihak terkait.

“Kami mohon Komnas HAM tolong kami terkait pemalsuan identitas. Pemalsuan nama, alamat dan umur yang paling serius. Banyak anak yang umur 14-15 diubah menjadi  23-24 tahun. Bukan hanya itu,  agama pun diubah, karena katanya masuk ke Malaysia lebih mudah kalau beragama Islam. Sehingga sejumlah korban meninggal yang dipulangkan, jenasahnya dikafani. Bagi kami ini pelanggaran terhadap identitas.”

Lia Wetangterah, dari Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) pada kesempatan ini menuding PPTKIS (Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta) sebagai salah satu biang dari sejumlah masalah TKI di NTT selain undang-undang yang tidak cukup menjamin perlindungan.

“Titik persoalan ada pada Undang-undang 39 yang direvisi menjadi UU 8/2017 yang menempatkan buruh migran di sektor rumah tangga menjadi sektor informal. Akibatnya adalah mereka berangkat harus melalui PPTKIS. Padahal justru penjahatnya di situ. Kenapa? Dalam beberapa kasus, paspor yang bersangkutan asli tapi identitasnya seperti nama, umur, alamat dipalsukan. Pertanyaannya adalah  Bagaimana bisa TKI/TKW yang rata-rata tidak tamat SD dan SMP, bisa membuat paspor asli tapi identitas palsu. Siapa yang buat?”

Ia juga menuding proses perekrutan ilegal yang dilakukan oleh PPTKIS yang berstatus legal.

“Ada 70-an PPTKIS di NTT. Papan namanya legal, ada ijin operasionalnya, tapi proses perekrutanya yang ilegal. Bahayanya adalah undang-undang memberi ruang untuk proses perekrutan tanpa uang. Nanti gaji dipotong selama 6-12 bulan bekerja. Apa yang terjadi? Ketika calon tenaga kerja dibawa dari rumah, ada biaya-biaya yang mesti dibayar seperti uang oko mama (ongkos pamit dari orang tua.red.), biaya transport dari kampung ke kota Kupang, pembuatan paspor dan biaya keberangkatan ke Malaysia. Itu menjadi hutang di PPTKIS, sehingga sekali anak itu sampai di kota Kupang segala macam cara dibuat supaya anak itu tidak lepas. Sebab kalau anak itu lepas mereka pasti rugi. Ini jebakan yang paling berbahaya,” ungkap Lia.

Johan mengatakan mekanisme kerja sama antar dua lembaga ini akan segera dibuat setelah hasil pertemuan ini disampaikan kepada pimpinan Komnas HAM di Jakarta. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *