KORUPSI Tindakan Terang-terangan Dalam Kegelapan!!!

KORUPSI

Tindakan Terang-terangan Dalam Kegelapan!!!

Butir-butir Refleksi Seorang Pemimpi

Pdt. Dr. Nocolas J. Woly

 

  1. Salah satu bentuk ketakutan di dunia adalah “takut gelap”. Tetapi anehnya adalah bahwa salah satukecenderungan manusia yang paling diminati dalam hidupnya adalah“kegelapan dan kuasanya”. Sekurang-kurangnya terdapat tiga bentuk dari kecenderungan itu: perbuatan dalam gelap, menggelapkan sesuatu, dan penggunaan kuasa-kuasa kegelapan.
  2. Kalau kita hendak terang-terangan berbicara mengenai korupsi, nampaknya kita sedang bebicara mengenai sesuatu yang gelap. Untuk menguak korupsi supaya ia menjadi terang adalah salah satu perbuatan yang paling sulit, atau mungkin dapat dikategorikan sebagai perbuatan paling aneh. Mengapa paling aneh? Karena sejarah bangsa kita telah membuktikan bahwa fenomena korupsi di negeri ini adalah sebuah Fenomena kegelapan yang terang-terangan. Maksudnya adalah bahwa korupsi telah menjadi sebuah jaringan yang kasat mata (terang), tetapi yang tali-temalinya sangat rumit untuk diurai (gelap).
  3. Tidak sebuah agama pun yang tidak mengidentifikasi korupsi sebagai sebuah “dosa”. Kalau dosa dipahami sebagai produk kuasa-kuasa kegelapan yang anti Allah Sang Mahaterang, maka dapatkah kita sepakat untuk menegaskan bahwa korupsi adalah salah satu produk kuasa kegelapan yang anti Allah?
  4. Mengapa korupsi bisa dikategorikan sebagai “dosa”? Saya menjawab pertanyaan ini dengan melihat makna leksikal kata korupsi. Kita memperoleh kata “korupsi” dari bahasa Belanda (corruptie), yang berasal dari bahasa Latin “corruptio”. Kata kerja “corrumpere” berarti: membusukkan, merusakkan, menggoyahkan, memperlemah, memutarbalikan, menyogok, menggoda, menjudi, memalsukan, memperkosa. Orang yang melakukan semua hal ini disebut “corruptor” (corruptoris). Perempuan penggoda, dalam bahasa Latin, disebut “corruptrix” (corruptisis).
  5. Pengertian korupsi. Saya tidak perlu menyajikan pengertian berdasarkan peraturan perundang-undangan, karena hal itu tentu akan disampaikan oleh pembicara lain sesuai bidang keahliannya. Berdasarkan pikiran pada butir-butir di atas, saya pertama-tama mengartikan korupsi sebagai “pola tingkah laku yang merupakan produk sikap batin yang menjadikan uang dan harta sebagai standart kebenaran dan kekuasaan”. Dengan definisi ini saya hendak menegaskan bahwa korupsi adalah tingkah laku menyimpang yang lahir dari sikap batin mendewakan uang dan harta. Mengapa menyimpang? Karena hal menjadikan uang dan harta Sebagai standart nilai untuk kebenaran dan kekuasaan merupakan pemutarbaikan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan bermartabat. Di dalam tindakan korupsi, sang koruptor telah menjadikan sesamanya sebagai “alat” untuk pemuas nafsu keserakahannya. Bagi sang koruptor, yang disebutnya kebenaran dan kekuasaan adalah segala sesuatu ynag harus melayani keserakahanya.
  6. Nah, kalau uang dan harta adalah standart kebenaran dan kekuasaan, maka sudah barang pasti bahwa untuk mencapai maksud itu berlakulah pola tingkah laku ala Machiavelli “tujuan menghalalkan cara”. Cara apapun akan dilakukan untuk mendapatkan uang dan harta, yang pada gilirannya akan merugikan orang lain, dimana kerugian itu secara kwalitatif tidak bisa dipulihkan dalam waktu yang relative singkat.
  7. Korupsi dan kuasa. Berdasarkan pengertian di atas, kita dapat menegaskan bahwa hal terjadinya korupsi itu selalu berkaitan dengan “kuasa”. Hampir dapat pastikan bahwa di mana ada kuasa, termasuk di wilayah-wilayah yang dianggap sakral sekalipun, di situ pasti selalu ada kemungkinan terjadinya ketiga kecenderungan yang paling diminati manusia, sebagaimana telah dicatat di atas, yaitu perbuatan gelap, menggelapkan sesuatu dan penggunaan kuasa-kuasa kegelapan. Di mana ada kuasa , di sanalah pula selalu ada kemungkinan untuk menyalahgunakan kekuasaan, atau “salah urus” kekuasaan. Mengapa? Karena kekuasaan sangat mungkin dipakai untuk hal-hal yang berkaitan dengan “pembusukan, pengrusakan, pemutarbalikan, penyogokan, penggodaan, pemalsuan, pencemaran dan pemerkosaan”. Pada gilirannya kita dapat menegaskan bahwa korupsi merupakan sebuah model “abusive power” (kuasa yang merusak karena disalahgunakan). Dan karena korupsi terjadi dalam lingkaran “orang-orang berkuasa”, maka korupsi adalah sebuah fenomena “abusive leadership” (kepemimpinan yang merusak karena disalah gunakan). Kuasa dan kepemimpinan pada dirinya tidaklah berkarakter merusak, walaupun dikatakan bahwa “power tends to corrupt”, tetapi nilai-nilai yang dianut dalam berkuasa dan memimpinlah yang menjadikan keduanya berkarakter “abusive”.
  8. Korupsi politik. Seorang etikus Amerika, Robert Fullinwider, mengatakan bahwa secara ideal hal berpolitik itu merupakan salah satu upaya “pembersihan penyakit-penyakit sosial”. Mengapa? Karena lewat kegiatan berpolitik kita bersama-sama berusaha untuk mengupayakan kesejahteraan yang memuaskan semua komponen masyarakat. Nah, untuk maksud itu maka semua penghalang dalam mencapai tujuan itu haruslah disingkirkan dalam arti itulah sebuah partai politik harus memiliki ideologi yang berkarakter membersihkan atau meratakan jalan ke arah pencapaian kesejahteraan umum. Karena itu, fullinwider selanjutnya mengatakan bahwa pada prinsipnya para politikus adalah “garbage collectors” (para pemulung), sehingga suasana bermasyarakat ditandai oleh kebersihan metode dan model pengupayaan pencapaian kesejahteraan. Namun sayang sekali, dalam prakteknya apa yang ditegaskan Fullinwider tidak selamanya menjadi kenyataan. Yang kita sering saksikan adalah bahwa para poitikus justru menjadi “garbage creators” (pencipta sampah). Apakah kita berani menegaskan bahwaberduyun-duyunnya orang sibuk ke dalam dunia perpolitikan di Indonesia karena di sana terdapat aroma korupsi yang menggiurkan?
  9. Korupsi dan moral. Korupsi merupakan fenomena “tangan-tangan kotor”. Secara spiritual, korupsi juga adalah “absive spiritual”, roh yang merusak.Korupsi merupakan fenomena “kemerostoan ahklak”, karena di dalam dunia perkorupsian, tidak ada tempat untuk “pertimbangan moral”. Korupsi  terjadi karena sesesorang atau sekelompok orang mengalami kerusakan moral (morally corrupt). Menarik perhatian untuk mengaitkan hal ini dengan tesis Machiavelli yang terkenal bahwa dalam suatu situasi khusus secara politis dapat dibenarkan untuk melanggar norma-norma moral tertentu jika memang tidak ada jalan lain. Sayangnya, banyak orang bertindak lebih dari Machiavelli, yaitu bahwa pelanggaran moral terjadi dalam setiap situasi, yag penting uang dan harta terkumpul, entah dengan cara apapun. Ini bukan Machiavelli lagi, entah apa!!!
  10. Beriman sambil korupsi: Bisakah? Para koruptor adalah orang-orang berpribadi keping rangkap. Satu keping kepribadiannya menunjuk pada fakta bahwa ia memang orang beragama, karena itu ia tetap rajin dan setia menyelenggarakan kewajiban-kewajiban keagamaannya, ketika itu ia adalah orang yang ber-Tuhan, yang apakah ia “takut Tuhan”, tidaklah jelas! Tetapi dalam kepingan kepribadiannya yang lain, ia sama sekali tidak terpengaruh oleh pesan-pesan keagamaan yang didengarnya dalam ritual-ritual keagamaannya. Bisakah kegelapan dikawinkan dengan terang? Kalau bisa, maka benarlah kalau korupsi adalah fenomena yang paling aneh. Memang “orang beragama” bisa menjadi “koruptor”, tetapi “orang beriman” mustahil menjadi koruptor. Mengapa? Karena orang beragama memang adalah orang yang taat menjalankan kewajiban-kewajiban keagamaannya. Tetapi apakah kewajiban-kewajiban keagamaan itu berpengaruh pada sikap batin dan pola tingkah lakunya, masih merupakan pertanyaan. Sedangakan “orang beriman” adalah orang yang “berjalan di dalam terang” karena ia bersahabat dengan Sang Maha Terang yang Agung. Orang beriman adalah orang yang memiliki hati nurani yang diterangi oleh terang Ilahi. Karena itu pada dasarnya orang beriman sulit menjadi koruptor!!
  11. Sebagai seorang “pemimpi” yang sangat yakin bahwa masih banyak warga Negara Indonesia, masih banyal putra-putri NTT yang beriman, yaitu orang-orang yang mengalami “persekutuan dengan Tuhan dalam terang”, yang berpendirian bahwa korupsi adalah produk pekerjan Setan si raja kegelapan !!!

 

Terima kasih, Tuhan memebrkati.

 

Disampaikan pada acara

Diskusi Terbatas masalah Korupsi di NTT

Yang diselenggarakan oleh Lembaga Bhakti Flobamora,

Dengan tema “Membedah Korupsi di NTT: Suatu catatan kritis di awal tahun”,

Kupang, 6 Januari 2012

 

**Disampaikan pula pada Seminar “Gereja dan Korupsi”

yang diselenggarakan oleh Fakultas Teologi UKAW Kupang,

5 Desember 2012.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *