Lindungi Anak Untuk Masa Depan (Khotbah, Keluaran 2:1-10)

Lindungi Anak Untuk Masa Depan*

Kelahiran seorang anak adalah peristiwa bahagia yang dinanti-nantikan setiap keluarga Ibrani. Itulah yang dialami Amran dan Yokhebet. Pasangan suami-istri dari keturunan suku Lewi ini telah dikarunia Tuhan sepasang putra dan putri masing-masing bernama Harun dan Miryam. Kini, sang ibu mengandung lagi dan menanti kelahiran anak ketiga. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kabar bahwa raja Mesir mengeluarkan perintah untuk membunuh semua bayi laki-laki orang Ibrani. “Lemparkanlah segala anak laki-laki yang lahir bagi orang Ibrani ke dalam sungai Nil, tetapi segala anak perempuan biarkanlah hidup.” Demikian bunyi perintah Firaun. Perintah ini sangat bertentangan dengan iman orang Ibrani. Iman orang Ibrani mengajarkan bahwa anak laki-laki adalah milik pusaka Tuhan. Mereka adalah pewaris tanah perjanjian yang telah dijanjikan kepada Abraham, Ishak dan Yakub, leluhur Amran dan Yokhebet.

Perintah Firaun tersebut memperhadapkan kedua suami istri ini pada keputusan yang dilematis. Menggugurkan janin atau menunggu sampai waktu melahirkan. Kalau nanti anak yang dilahirkan perempuan tentu ia lolos dari ancaman kematian. Akan tetapi bagaimana bila anak yang dilahirkan laki-laki? Semoga Tuhan mengaruniakan anak perempuan. Harap mereka. Namun di luar dugaan, ketiba tiba waktu melahirkan Tuhan menghendaki lain. Yokhebet melahirkan seorang bayi laki-laki. Wajah bayi laki-laki mungil itu amat rupawan. Rasa bahagia bercampur sedih memenuhi hati suami-istri ini. Rumah mereka tak lagi aman. Sewaktu-waktu tentara Firaun akan merenggut anak mereka dan membunuhnya. Itulah salah satu episode kisah tragis dalam sejarah bani Israel yang terjadi pada 3.500 tahun lalu, ketika bangsa Israel ditindas di Mesir.

Pada zaman modern perintah pembunuhan yang dikeluarkan oleh Firaun disebut genosida. Genosida menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras. Dalam sejarah bangsa Yahudi, tragedi ini nyaris terulang pada zaman Ahasweros. Kisahnya ditulis dalam kitab Ester. Tahun 1940-an kejahatan genosida menimpa bangsa Yahudi di Jerman atas perintah Adolf Hitler. Korbannya diperkirakan mencapai 6 juta jiwa nyawa melayang.

Pada pasal 1, dijelaskan bahwa genosida itu dilatarbelakangi oleh ketakutan Firaun yang melihat ledakan penduduk bangsa Ibrani yang luar biasa. Ada yang menggolongkan ketakutan Firaun ini sebagai gangguan pikiran yang dalam psikologi modern disebut Paranoid. Paranoid (bahasa Yunani Kuno: παράνοια, paranoia) adalah gangguan mental yang diderita seseorang yang meyakini bahwa orang lain ingin membahayakan dirinya. Gangguan kejiwaan ini sangat berbahaya bila menjangkiti orang-orang yang memegang kekuasaan. Karena bila mereka mengidap kelainan ini, maka bisa dipastikan akan banyak kebijakan-kebijakan irasional yang mengacaukan tatanan sosial kehidupan masyarakat seperti pembatasan hak berpendapat dan berserikat. Semua orang yang kritis atau berbicara dan bertindak berbeda dari keinginan rezim penguasa adalah musuh. Tak peduli walaupun itu adalah teman, sahabat bahkan anggota keluarganya. Dalam Perjanjian Baru, Herodes Agung, adalah salah satu penguasa yang diduga menderita paranoid. Ia memerintahkan semua bayi laki-laki dibunuh setelah ia ditemui orang-orang majus yang mengatakan bahwa seorang raja Yahudi telah lahir.

Genosida yang dilakukan oleh Firaun tidak main-main. Ia mengerahkan aparat negara untuk membasmi kaum Ibrani. Tugas ini diserahkan kepada para bidan sebagai eksekutor. Mereka diberi kewenangan untuk membunuh setiap bayi apabila menolong persalinan ibu-ibu orang Ibrani/Israel. Terhadap perintah Firaun itu, rupanya ada dua bidan yang secara diam-diam menolak. Sifra dan Pua, demikian nama dua bidan Mesir yang baik hati itu. Keduanya dengan gagah berani melakukan apa yang pada masa sekarang disebut pembangkangan sipil.

Pembangkangan sipil merupakan salah satu dari berbagai cara yang dilakukan rakyat untuk memberontak kepada penguasa terhadap apa yang mereka anggap sebagai hukum yang tidak adil. Cara ini telah digunakan dalam berbagai gerakan perlawanan tanpa kekerasan di India yang di pimpin oleh Mahatma Gandhi, atau hal yang sama dilakukan oleh Rosa Park, gadis kulit hitam yang menolak memberikan kursi yang didudukinya dalam bus kepada orang kulit putih pada masa penerapan sistem apartheid di Amerika. Sosok lainnya adalah Martin Luther King yang menentang diskriminasi ras.

Yang menarik dalam teks ini adalah pelaku pembangkangan sipil dalam cerita genosida yang terjadi pada sekitar 1500 SM atau sekitar 3500 tahun yang lalu itu adalah kaum perempuan yang di pasal 1:15 menyebut nama mereka Sifra dan Pua. Kedua bidan itu secara kreatif membungkus pembangkangan mereka dengan jawaban yang cerdas; (19) Jawab bidan-bidan itu kepada Firaun; “Sebab perempuan Ibrani tidak sama dengan perempuan Mesir, melainkan mereka kuat; sebelum bidan datang mereka telah bersalin.”

Membaca jawaban bidan Sifra dan Pua, saya teringat kasus Bidan Dewi Bahren yang membuka praktik di Bonipoi, Kota Kupang. Ia ditangkap aparat kepolisian tahun 2016 karena terbukti melakukan praktik aborsi. Di pengadilan, jaksa menuntut tersangka dengan hukuman 9 tahun, namun hakim hanya memutus 3 bulan penjara. Itulah ironi hukum di negara kita. Nyawa manusia hanya setara 3 bulan penjara. Padahal Sifra dan Pua mempertaruhkan nyawa mereka demi menyelamatkan kehidupan.

Jawaban Sifra dan Pua itu selanjutnya membuat Firaun murka yang akibatnya sangat mengerikan seperti dicatat pada ayat 22, “Lalu Firaun memberi perintah kepada seluruh rakyatnya: lemparkanlah segala anak laki-laki yang lahir bagi orang Ibrani ke dalam sungai Nil, tetapi segala anak perempuan biarkanlah hidup.”

Firaun tidak hanya memakai para bidan sebagai eksekutor, tapi dia perintahkan semua orang, semua rakyat Mesir jadi eksekutor. Bisa dibayangkan dampak dari perintah membabi buta macam itu. Tapi, heran juga, perintah yang sama mengatakan, “Tetapi segala anak perempuan biarkanlah hidup.” Kenapa anak perempuan dibiarkan hidup? Bukan karena Firaun masih punya hati baik kepada kaum perempuan Ibrani. Bukan. Melainkan supaya ia tidak kehilangan tenaga kerja paksa. Kalau semua laki-laki Ibrani sudah punah, perempuanlah yang ganti kerja rodi. Lama-lama perempuan-perempuan Ibrani mati perlahan-lahan dan kaum keturunan Ibrani akan lenyap dari sejarah. Bukan main kejamnya Firaun yang satu ini. Dia lupa bahwa, ditangan bangsa Ibrani yang adalah pekerja rodi itu, roda perekonomian Mesir itu bergerak.

Ini persis tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Data 2017 menyebut jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia mencapai 2,7 juta. Meski tidak paham ekonomi, saya yakin, haqul yakin, kalau 2,7 juta TKI itu oleh pemerintah Indonesia ditarik pulang secara tiba-tiba, perekonomian Malaysia akan lumpuh. Sektor informal mereka merayap. Perusahaan-perusahaan sawit Malaysia akan gulung tikar. Itulah alasan ketika Musa meminta ijin membawa orang Israel keluar, Firaun menolak. Kenapa? Karena fondasi ekonomi Mesir pasti anjlok kalau seluruh tenaga kerja yang sudah tinggal selama 400 tahun itu pergi begitu saja. Siapa yang mau kerja. Orang Mesir tidak tahu dan tidak punya keterampilan kerja sebab selama 4 abad lamanya mereka dimanja oleh sistem kerja paksa. Mereka hanya tahu beres. Yang kerja banting tulang membangun peradaban Mesir adalah orang-orang Ibrani.

Untuk memaksa Firaun membebaskan bangsa Israel Tuhan Allah menurunkan 10 bencana. Mulai dari air berubah menjadi darah hingga kematian anak-anak sulung barulah Firaun melepas seluruh tenaga kerjanya. Mungkin 10 tulah itu merupakan bencana paling mengerikan dalam sejarah Mesir kuno.

Selain bidan Sifra dan Pua, masih ada lagi beberapa perempuan yang melakukan pembangkangan, yakni, Yokhebet, ibu Musa, Miryam kakak Musa dan Putri Firaun dan para dayang-dayangnya. Mereka berani menentang perintah Firaun yang juga berarti menantang maut demi seorang anak laki-laki, seperti dalam bacaan tadi. Yokhebet dan suaminya secara diam-diam menyembunyikan bayinya sampai pada batas usia yang dirasa tidak bisa lagi disembunyikan. Bayi laki-laki itu lalu dimasukan dalam sebuah peti dan dilepas mengapung di sungai Nil dalam pengawasan sang kakak perempuan, Miryam. Drama selanjutnya, Putri Firaun datang dan menemukan bayi itu, dst-nya. Pada akhirnya bayi yang diberi mana Musa itu diangkat menjadi bagian dari keluarga istana. Statusnya sebagai anak budak berubah menjadi anak raja.

Pengakuan atau kredo, perempuan sebagai penolong laki-laki dalam kitab Kejadian 1 dan 2 terulang kembali dalam keluaran pasal 1 dan 2. Bahwa Tuhan Allah menghadirkan para perempuan sebagai penolong di tengah ancaman kematian kaum laki-laki.

Hal Ketiga, Dalam kaitan dengan bulan keluarga, tema yang disodorkan adalah Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Perlindungan Anak. Sejumlah fakta tentang persolan anak di Indonesia bisa dinonton melalau video berikut. https://www.youtube.com/watch?v=Yuat-j-16dg

Terakhir, saya berbagi cerita tentang kegelisahan saya sebagai ayah dari seorang anak perempuan berusia 2,5 tahun.  Beberapa minggu lalu saya mengantarnya ke sekolah minggu di salah satu gereja di Kota Kupang. Sambil temani dia, saya mengamati proses ibadahnya. Anak-anak yang datang, berkumpul dalam ruang kebaktian. Ibadah berlangsung seperti biasanya dimana anak-anak bernyanyi dan berdoa. Pas pemberitaan firman mereka berbagi kelas, menyebar dalam ruang kebaktian itu. Anak-anak yang kecil usia Paud/TK duduk di lantai yang kotor dan berdebu karena baru saja digunakan orang dewasa yang baru selesai kebaktian. Sementara anak-anak yang usia SD duduk di bangku-bangku berjarak 3-4 meter antara satu kelompok kelas dengan kelas yang lain.

Saya termenung melihat kondisi yang demikian. Ada gereja di kota dengan pendapatan sebulan mencapai lebih dari 50 juta, dengan APBJ setahun sebesar 1 Milyar, tetapi alokasi anggaran untuk sekolah minggu/pelayanan anak dan remajanya hanya 5 juta setahun atau 0,5 %. Dan guru-gurunya adalah anak-anak SMA. Bayangkan, di sekolah formal, anak-anak diajar oleh guru-guru sarjana, sementara di sekolah minggu mereka masih di ajar oleh sesama anak (-+ 18 tahun) yang tidak atau belum tamat SMA juga. Kalau di kampung-kampung dengan segala keterbatasan sumber daya dan dana kondisi ini bisa dipahami. Ini terjadi di jantung Kota Kupang di tahun 2018. Pendidikan Kristen macam apa yang bisa diharapkan menjadi banteng iman bagi anak menghadapi dunia yang penuh tantangan ini? Saya sulit membayangkan apa yang terjadi dengan fondasi iman generasi penerus gereja dimasa mendatang, kalau pendidikan iman yang dipraktikan gereja hari ini wajahnya seperti yang anak perempuan saya alami hari ini.

Padahal menurut kesaksian Alkitab 3500 tahun yang lalu, Musa anak Yokhebet sudah mengenyam pendidikan level istana. Hari ini, tahun 2018 zaman milenial, zaman digital, metode mengajar kita masih manual. Tidak menarik dan membosankan bagi generasi milenial. Lagi pula ruang-ruang belajar untuk anak-anak di gereja tidak sama sekali menunjukan keberpihakan gereja. Bagaimana gereja bicara tentang pendidikan ramah anak bila gereja sebagai institusi tidak menyiapkan fasilitas itu. Saya lihat Puskesmas di Pasir Panjang, ada pojok ramah anak yang dilengkapi dengan fasilitas mainan dan poster-poster edukatif anak. Mungkin jemaat-jemaat yang belum punya program ramah anak perlu belajar hal-hal ini.

Cerita berikutnya, minggu lalu saya diajak BPP pendidikan Sinode GMIT meliput penyaluran dana pendidikan untuk sekolah-sekolah GMIT di Kabupaten Alor. Kami singgah salah satu SD GMIT yang sedang dipersiapkan menjadi sekolah model. Saya mewawancarai salah satu guru Majelis Pendidikan Kristen (MPK) yang tempatkan di sana. Apa tantangan yang dihadapi terkait profil sekolah model yang mau dibuat disekolah itu. Dia jawab apa? Kekerasan guru terhadap anak. Ia bercerita bahwa menurut guru-guru, anak-anak di sekolah ini nakal, tidak bisa diam, mereka suka loncat ke sana ke mari. Jadi pendekatan kekerasan dipakai supaya anak-anak bisa dikendalikan. Padahal menurutnya, setelah ia amati sebenarnya anak-anak tidak nakal. Hanya saja memang anak-anak NTT dipengaruhi faktor alamnya yang menantang, sehingga kemampuan kinestetiknya lebih dominan. Karena itu mereka suka bergerak.

Jadi apa yang anda lakukan? Dia menjawab, “Saya mengajar dengan menggunakan metode bergerak. Kalau pelajaran tentang tumbuhan misalnya, saya bawa mereka ke pohon-pohon di halaman sekolah.”

Kisah tentang Musa yang lolos dari upaya genosida 3.500 tahun lalu memberi pelajaran berharga bahwa ancaman terhadap keselamatan anak-anak masih terus berlangsung sampai hari ini. Mungkin bukan genosida, namun kejahatan digital semisal cyber crimesedang mengintai anak-anak kita. Kejahatan jenis ini bahkan menerobos masuk hingga ruang-ruang privat yang sulit terdeteksi oleh orang tua melalui penggunaan gadget yang tidak terkontrol. Sebagaimana Yokhebet, Miryam dan putri Firaun melindungi Musa kecil dari kekejaman Firaun, demikian pula para orang tua dan dan gereja masa kini memiliki tanggungjawab melindungi anak-anak dari aneka kejahatan baik konvensional maupun cyber. ***

*Renungan oleh Pdt. Wanto Menda, Kominfo Sinode GMIT.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *