Matius 25:14-30 – Pdt. Dr. Adriana Dukabain-Tunliu

Apakah Anda Melakukan Hal yang Anda Sanggup Lakukan,  di Mana Anda Ada, dengan Apa yang Anda Punya?
Jesus sekali waktu bercerita tentang seorang tuan tanah kaya yang sedang bersiap-siap untuk suatu perjalanan jauh. Dia memanggil 3 hamba-nya dan membagi uangnya di antara mereka, masing-masing menurut kemampuan mereka. Kepada hambanya yang pertama dia beri 5 talenta, berarti sejumla uang, kepada yg kedua 2 talenta, dan kepada yg ketiga 1 talenta.
Mengapa begitu? Saya tidak tahu. Kita semua setara di mata Allah. UUD Negara kita, bahkan menjamin penghargaan atas hak asasi yg sama. Dalam Pemilu suara kita semua sama. Tapi waktu datang kepada kemampuan kita, kita semua adalah berbeda sebeda-bedanya. Allah semata-mata tidak membuat kita semua sama. Ada beberapa orang yngg bisa menghandle 5 talenta; ada juga yg bisa menghandle hanya 1. Ada beberapa orang yg punya kemampuan intellectual yg luar biasa, dan beberapa yang di bawah garis rata-rata. Ada orang yg punya kemampuan untuk memproyeksikan dan mengartikulasikan pikiran atau ide-ide mereka, dan ada juga yang tidak bisa. Ada beberapa yang punya kecakapan fisik dan terlihat menarik, dan ada beberapa yang tidak.
Hal yg paling penting untuk diingat ialah bahwa tiap hamba diberi sesuatu. Tidak satu pun yang dibiarkan menganggur, sonde ada yg hanya dapa bagian namkak. Anda mungkin bukan orang dengan 5 talenta, tapi anda punya beberapa talenta. Kita semua ada pung sesuatu. Dan anda tahu sesuatu.

Saya kira ada banyak orang yang punya satu atau beberapa talenta dari pada yang 5 talenta. Tapi ada beberapa yang kelihatannya punya semua, there are some people who seem to have it all. Sy tidak menyangkal itu. Tapi sebagian besar dari kita hanya hamba dengan 1 atau 2 talenta.
Tuan tanah itu berangkat. Waktu dia kembali dia panggil ketiga hambanya dan minta mereka kasi pertanggungjawaban. Kelihatannya hamba dengan 5 talenta sudah investasi talentanya dengan baik dan bisa mengembalikan talenta itu dengan tambahan 5 talenta lagi, kambali 100%. Hamba dengan 2 talenta berhasil kas double dia pung talenta ju. “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yg baik dan setia.”
Tapi bagaimana dengan hamba dengan 1 talenta? Dia datang menghadap dan bilang: “Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam.” Butuh courage tersendiri untuk bisa kas kaluar kata-kata yang seperti itu. Abis omong bagitu ju itu hamba kas pulang baptua pung modal yang dia tarima. Tuan tana mara, pake kata-kata seperti “malas” dan “jahat.” Dengan mara dia ame kambali itu talent dan kasi kepada hamba yg su punya 10.
Sangat menarik untuk dicatat bahwa dalam pasal 25 dari Injil Matius ada 3 perumpamaan yang diceritakan berturut-turut: perumpamaan tentang 10 pengiring pengantin (ayat.1-13), perumpamaan ttg talenta (Ayat.14-30), dan perumpamaan tentang domba dan kambing (ayat.31-46). Pada dasarnya ada 1 frase yang sama digunakan dalam masing-masing perumpamaan ini: “setelah waktu yang lama.” Pengantin laki-laki datang setelah waktu yang lama. Pemilik tanah kembali setelah waktu yang lama. Penghakiman datang setelah waktu yang lama. Mungkin ini cara Matius mengatakan kepada pendengarnya: tuan kita mungkin tunda kedatangan kembali, tapi, sementara itu, apa yg kamu lakukan dengan talenta yang telah dipercayakan kepada kamu?

Well, jelas yang jadi star bintang, atau mungkin ada yang mau bilang yang son tau diri dari ini cerita andia hamba dengan 1 talenta. Pertanyaan penting adalah: mengapa dia pilih untuk tdk melakukan apa-apa dengan 1 talenta yang sudah diberikan kepadanya? Kotong hanya dapa tau dia ada pi gali ame lobang di tana ko sambunyi talenta yg dia pung tuan kasi sang dia. Kanapa dia bikin bagitu?Mengapa dia pilih untuk tdk melakukan apa-apa dengan 1 talenta yg sudah diberikan kepadanya? Alkitab tidak mencatat jawaban atas pertanyaan ini. Dan saya kira kita sengaja diberi kesempatan untuk berspekulasi. Dan itulah yg saya mau lakukan sekarang. Berspekulasi tentang kelambanan hamba ketiga.

Pertama, dia mungkin tidak buat apa-apa deng itu talenta tagal dia takut gagal he feared failure.Bagaimana dia mengatakan hal itu? Ayat 25 “aku takut” dan aku pergi sembunyikan talentaku itu. Takut lakukan hal yg sala, dia pili ut son bikin apa-apa sama skali. Ini mungkin orang yang karja dengan baik di bawah pengawasan, tapi sekarang dia dibiarkan sendiri dan dia ketakutan. Kita mungkin lihat ini orang dengan hina/jijik/benci krn dia sembunyi talenta dari tuannya itu di dalam tanah. Tapi penghinaan kita atau cibiran itu keliru. Ini dianggap sebagai cara tradisional simpan doipada masa itu. Hamba ini jadi pengusaha konservatif yg baik. Dia tidak akan mempertaruhkan uang orang lain dengan investasi dlm usaha-usaha yang spekulatif.
Sepertinya makin tambah usia, kita jadi makin konservatif. Ada orang pernah berkata, “jika Anda tidak liberal waktu muda, Anda tidak punya hati. Jika Anda tidak konservatif waktu Anda sudah berusia, Anda tidak punya otak.” Mungkin hamba ini adalah orang yang berusia. Dia cenderung ingin bermain aman dan tidak out on a limb [lim] dia tidak mau masuk dlm situasi yg berbahaya atau yang compromised; dia hindari situasi yang rentan. Dia ingin bermain aman dan apa yg salah dengan itu? Sederhananya, Anda tidak bisa mencintai jika Anda tidak bersedia ambil resiko. Apa resiko dari mengasihi? Coba sa, sapa tau dibalas. Tapi bukan itu yg utama. Sebagai umat Allah, kita dipanggil untuk jadi orang berani.

Ibu, bapak, saudara-i, jika Yesus suda main aman, kita tidak akan duduk sama-sama di sini.

Mungkin alasan kedua, kenapa hamba dengan 1 talenta tidak buat apa-apa dengan talentanya ialah dia main “ande kata” if only. Andai kata saya dikasi talenta yang diperoleh dua teman yg laen, maka saya juga bisa capai sesuatu.
Kita juga suka itu permainan. Ande kata saya punya yang itu pendeta satu pung kemampuan, b mau “memberdayakan” b pung jemaat. Ande kata b pung kalasis deng jamaat dong ada pung doi lebe banya sa, kotong pasti maju. Ande kata kotong pung jemaat dong lebe supportive kotong pasti son kala saing ju. Ande kata waktu itu b yg kana pili ko pimpin ini gareja besar, mungkin kotong son bagini-bagini sa. Ande kata itu waktu dong mo dengar sang beta sa, mangkali ini, itu, bagini, bagitu di ini gareja.

Ibu, bapak, saudara-i, ini permaninan berbahaya karna itu talalu gampang buat kita lolos off the hook.
Saya suka cerita tentang seorang perempuan umur 30an tahun. Dia tu babu tukang pel lantai. Dia kalo pergi ke bioskop nonton film, dia suka hela napas bilang, “Ande kata b pung muka ke dia sa, …” Dia dengar penyanyi terkenal dong pu suara dan mengelu, “Ande kata b dapa dia pung suara sa, …” Satu kali ada orang yg kasi dia buku satu judul “The Magic of Believing.” Perempuan itu berenti membanding-bandingkan dirinya deng artis dan penyanyi dong. Dia berenti mengelu soal apa yang dia son punya dan mulai konsentrasi pada apa yang dia benar-benar punya. Dia inverntarisir soal dirinya dan ingat bahwa waktu SMA dia punya reputasi sebagai anak perempuan sangat pandai melawak. Dia mulai ubah liabilitas, kekurangannya jadi asset. Waktu dia di puncak careernya Phyllis Dillermenghasilkan lebih dari $1 juta/ tahun. Taon 60an jumlah itu sangat besar. Diller tidak cantik dan suaranya juga serak, tapi dia bisa buat orang tertawa.
Ibu, bapak, saudara-saudariku, mungkin Tuhan Allah mengatakan hal yang sama kepada kita. Mungkin waktu kita mengeluh bahwa kita harap kita punya lebih banyak, ande kata kita seperti orang lain selain diri kita sendiri, ande kata, ande kata, ande kata sa … TA mengatakan kepada kita: “Pakai apa yang sudah Aku berikan kepadamu. Berhenti mengelu tentang apa yang Anda tidak miliki dan mulai berkonsentrasi pada apa yang Anda benar-benar miliki.”
Kita bisa memperkuat gereja tercinta ini dengan bersikap reaktif terhadap konteks kita yang sedang berubah. Saya dengar-dengar sejak tahun yang lalu kita dalam Sidang MS sudah bersepakat untuk menginventarisir apa talenta gereja sebagai satu lembaga, tapi juga talenta-talenta individu warga jemaat. Hal yang baik sekali. Mari kita mulai membuka diri bahwa di gereja ini ada macam-macam talenta yang belum ditemukan dan diberi kesempatan untuk berkembang. Betul ada hal yang belum sempat terekam dalam data kita, tapi kenapa tdk berani coba – asal ingat agendanya hanya satu: memperkuat GMIT, bukan justru merongrong dari dalam.
Kelambanan hamba ketiga juga mungkin, ini alasan yang ketiga, mungkin dia pikir: Well, talenta kecil saya ini tidak akan buat perbedaan apa pun. This one little talent of mine won’t make any difference anyway. Banyak orang yg ada pikir bagitu sakarang.

Saya suka cerita, karena itu ijin share satu carita lai: Sir Michael Costa, satu konduktor abad 19th yang terkenal, mengadakan latihan. Waktu koor besar itu bernyanyi, diiringi oleh sejumlah instrument, pemain piccolo satu suling berukuran kecil, sekitar galas tinggi ini pemain pikir dia pung contribution tidak akan bawa pengaru apa-apa di tenga kumpulan instruments yang banyak itu, dia barenti barmaen. Tiba2, sir Michael Costa pemimpin besar itu barenti dan teriak: “Yang maen piccolo mana e?”

Suara dari satu instrumen kecil itu diperlukan bagi keharmonisan dan sang konduktor kehilangan ketika itu putus. What’s the point? Satu sisi bagi konduktor tidak ada instrument yang tidak significant dalam satu orchestra. Kadang-kadang yang paling kecil dan tampaknya paling tidak penting bisa buat kontribusi terbesar dan jika itu tampaknya tidak buat perbedaan besar untuk penonton pada umumnya, seorang konduktor segera tahu!
Kotong pung gareja ini besar dalam jumlah, potensi dan sangat majemuk. Anggotanya sangat berbeda, ukuran yang berbeda, bentuk yang berbeda, catatan yang berbeda, peran yang berbeda untuk dimainkan. Tapi seperti pemain piccolo dlm orkes sir Michael tadi, kita kerap dalam kekuasaan kita sendiri putuskan bahwa kontribusi kita tidak signifikan. Kontribusi kita tidak mungkin bikin perubahan apa pun. Dan kita berenti, berenti melakukan apa yang sudah dipercayakan kepada kita untuk dilakukan. Tapi sang Conductor Agung, Kepala Gereja kontribusi kita crucial.
Kita yang hadir dalam ruang sidang ini adalah pemimpin di berbagai level pelayanan GMIT. Pernahkan kita berhenti dan mengajak semua jemaat untuk melihat ke dalam diri sendiri “sapa yg su barenti berperan tagal dia pikir dia pung paran son ada pangaru, ato ju tagal dia pung kemampuan sadiki sa jadi dapa paran ju yg kici-kici, trus kotong lia dia sabla mata sa?”Banyak warga kita yg mulai ondor tagal ini hal ju; bolom lai ada yg pikir dong sama sakali son dikasi kesempatan, maen orang itu-itu sa. Kotong ju bisa.

Ibu, bapak, saudara-saudariku, kenyataan ini pedih tapi kita harus jujur lihat dan periksa diri ada yang lebe menarik di luar kandang ini. Support ut warga gereja agar mereka tidak sembunyikan talenta mereka”.

Dunia kita sedang berubah dengan cepat. Kita butuh banyak talenta i.e. berbagai kemampuan yang diperlukan dalam upaya mewujudkan damai sejahtera, atau paling tidak sonde tertinggal. Saya percaya GMIT punya banyak potensi: ada beberapa anggota yang bisa menghandle 5 talenta; ada juga yg bisa menghandle 2 ada juga yg biar hanya 1, ma ada. Puji Tuhan.

Karena itu adalah keharusan untuk dengan sengaja menciptakan atau kalau sudah ada memaksimalkan fungsi-fungi support bagi warga kita agar tidak sembunyikan talenta mereka. Jangan biarkan dalih “jadi berkat” bagi orang lain justu menggerogoti diri kita sendiri…

Belajar dari cerita Alkitab hari ini, saya ingin kita pulang ke dalam berbagai peran kita, terutama di dalam dan lewat lembaga gereja ini, dengan usaha untuk jawab pertanyaan ini: Apakah Saya Melakukan Hal yang Saya Sanggup Lakukan, di Mana Saya Ada, dengan Apa yg Saya Punya?

Tidak mudah tapi paling tidak mari kita coba jawab. Tuhan kiranya menolong kita

Dikhotbahkan pada Penutupan Persidangan Majelis Sinode GMIT XXXVII Tahap 1, Sabtu, 26 April 2014 di Lantai 3 Kantor Sinode GMIT.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *