TABIS 8 PENDETA KETUA SINODE GMIT AJAK PERKUAT ANALISIS SOSIAL

SINODEGMIT.OR.ID-KUPANG, Minggu 4/9-2016,Delapan orang vikaris perempuan ditahbiskan dalam jabatan pendeta GMIT. Mereka adalah: Ester Naisanu, M.Si, Sarlina Hana Ano, S.Th, Sri Refalina Lalang-Puling, S.Th, Veybye Heylssye Ton, S.Th, Leni Anoni Mboeik, S.Th, Nensy Berbelina Maak, S.Th, Meti Delviana Kleing, S.Th, dan Wasti Ester Sesfaot, S.Th. Dengan tambahan 8 orang pendeta itu, jumlah pendeta GMIT saat ini berjumlah 1.297 orang yang terdiri dari 475 orang pendeta laki-laki dan 822 orang pendeta perempuan yang melayani di lebih dari 2000 jemaat dan mata Jemaat GMIT yang menyebar di seluruh wilayah NTT, Sumbawa dan Batam, minus pulau Sumba.

“Pendeta adalah jabatan pelayanan. Sebagai pejabat pelayan orientasi kita bukan status, posisi, kedudukan dan kekuasaan. Orientasi kita adalah melayani. Melayani dan memberi diri bagi orang lain,”demikian kata Pdt. Maria Ephipania Bire-Manuain, STh.,saat memimpin kebaktian pentahbisan 8 orang vikaris ke dalam jabatan pendeta GMIT yang berlangsung di jemaat Anugerah Naikoten-Kupang. Dengan merujuk kitab Nehemia 2:11-20 dengan perikop “Tekad untuk Membangun kembali Tembok Yerusalem”ia mengajak umat dan terutama pendeta yang ditahbis untuk belajar melayani seperti Nehemia. Nehemia sebagai juru minum raja, kata Pdt. Maria, menikmati hidup yang nyaman di kerajaan Persia. Namun demikian ia tidak melupakan saudara-saudara sebangsanya di Yerusalem. Ia tidak sekadar menunjukan keprihatinannya dari jauh, tapi ia sendiri pergi ke Yerusalem dan melihat langsung reruntuhan tembok kota Yerusalem. Selanjutnya, ia menggerakkan seluruh umat untuk terlibat dalam pembangunan kembali tembok kota Yerusalem. Ia tidak bekerja sendiri. Itulah makna kepemimpinan hamba.

Ketua Sinode GMIT, Pdt. Dr. Mery L.Y. Kolimon, dalam suara gembala memaparkan sejumlah persoalan yang menjadi pergumulan di NTT dan khususnya jemaat-jemaat GMIT seperti masalah kemanusiaan, sosial, dan lingkungan hidup yang membutuhkan perhatian gereja. Berdasarkan pengalamannya mengunjungi jemaat-jemaat di pedalaman Pdt. Mery menyaksikan betapa pendeta-pendeta perempuan yang jumlahnya lebih dari 60% membuktikan kesetiaan yang patut diapresiasi. “Saya mendapati teman-teman pendeta perempuan di tempat-tempat yang sangat sulit seperti Amfoang Utara, khususnya jemaat-jemaat yang pada musim hujan tidak bisa kemana-mana, kiri-kanan, muka-belakang, semua dikepung air tetapi pendeta perempuan setia melayani di sana,” kisah Pdt. Mery disambut tepuk tangan jemaat. Akan tetapi, tambahnya pendeta perempuan punya kekurangan dalam analisis sosial. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh budaya patriarki yang menempatkan perempuan dalam urusan-urusan domestik keluarga, akibatnya ketika kita menjadi pelayan gereja, kita juga lebih berfokus melaksanakan urusan-urusan domestik gereja dan lalai membaca masyarakat dan tantangan-tantangannya, agar mampu mengajak jemaat berteologi dan memberikan tanggapan eklesiologis dan aksi pastoral di ruang-ruang publik berhadapan dengan masalah-masalah seperti perdagangan orang, gizi buruk, angka kematian ibu dan bayi yang tinggi, kerusakan lingkungan hidup dan sebagainya.

Ditengah godaan menikmati zona nyaman, ketua sinode GMIT memperingatkan para pendeta baru supaya jangan jadi pendeta week end dan berharap ke-8 pendeta baru dapat memberikan yang terbaik dari kependetaan mereka untuk jemaat dan masyarakat di mana mereka akan melayani.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *