Nats Pembimbing : Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. (Matius 6:33)
Ibu, bapak dan saudara-saudara yang bersekutu dalam nama Tuhan Yesus. Perkenankan saya memulai khotbah ini dengan menggutip khotbah seorang pendeta senior hampir satu tahun lalu, beberapa jam sebelum saya mengatas-namai 1.3 juta warga GMIT mengetuk palu menutup persidangan raya ke-33 sinode kami:
“Jejak kaki datangnya pembawa kabar baik indah. Indah kedatangannya. Tetapi juga indah kepergiannya. Tidak hanya itu, bekas tapakan kaki yang ditinggalkan juga indah. Bahkan dia sudah matipun juga bekas tapakan kakinya tetap indah. Dalam mitos-mitos tempo dulu, bekas-bekas kaki orang yang terhormat diambil, dikumpulkan, dibawa ke rumah, dibikin masuk museum.”
Kalau kalimat khotbah ini sekarang kita pakai untuk melihat Salomo, raja Israel yang besar itu. Apa yang bisa kita katakan tentang dia? Apakah ada hal dari kisah hidup dan kepemimpinan Salomo yang bisa diambil, dikumpulkan, dibawa ke rumah dan dibikin masuk museum?
Semua kita pasti setuju. Ada banyak dari Salomo yang patut dikenang, dikumpulkan dan disimpan dalam hati sebagai kekayaan iman. Setidak-tidaknya dari bacaan pagi ini. Salomo memulai kepemimpinannya sebagai raja Israel dengan berlutut. Dia seorang raja dengan kekuasaan yang luar biasa besarnya, seperti ditegaskan dalam ayat 1. Tetapi Dia membuat dirinya kecil di hadapan Allah.
Bersama para pegawai, Salomo pergi ke Gibeon, tempat di mana Musa dahulu membuat kemah pertemuan (II Taw. 1:1-13). Di sana salomo berdoa memohon hikmat dari Allah untuk melaksanakan kepemimpinan dalam takut akan Tuhan dan demi kebaikan orang-orang yang dipimpin. Sungguh sebuah teladan.
Berdoa di awal, bersyukur saat memulai sebuah karya atau penugasan. Bukankah itu hal yang patut diteladani? Yesus ssendiri berkata: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mt. 6:33).
Salomo tidak memburu kekayaan, mengejar popularitas dan memuja-muja kekuasaan. Ia tidak menjadikan dirinya BOS besar di hadapan umat dan di hadapan Allah. Dia tampil sebagai seorang pelayanan masyarakat dan abdi Tuhan.
Banyak pemimpin masyarakat, juga organisasi sosial masa kini memiliki komitmen kepemimpinan seperti Salomo. Waktu diberi kepercayaan untuk menduduki satu pos, mereka bikin syukuran, lalu memberi kesaksian di depan umum: jabatan ini pemberian Tuhan. Seribu korban bakaran dibawa ke mesbah Tuhan sebagai wujud ungkapan syukur untuk atas kepercayaan Tuhan dalam bentuk jabatan yang diterima.
Kemarin bersama 10 orang mahasiswa dalam perwalian kami beribadah. Saya ingatkan mereka bahwa kehadiran mereka di UKSW harus diisi dengan baik. Mereka harus meneladani Salomo, mulai menjalani masa baru dengan meminta hikmat Tuhan untuk mampu menimbang persoalan-persoalan kemahasiswaan dengan baik, memilah yang baik dan buruk, benar dan salah, lurus dan bengkok agar tujuan kehadirian mereka di UKSW bisa diraih. Saya juga ingatkan mereka akan 1000 kurban yang sudah orang tua dan saudara-saudara di kampung berikan untuk mendukung studi mereka di sini.
Salomo, raja Israel yang besar itu memulai karir sebagai pemimpin umat Tuhan dengan berdoa. Ia mempersembahkan 1000 kurban bakaran bagi kemuliaan Tuhan. Salomo mulai dengan 1000 kurban. Ini boleh kita sebut sebagai bekas-bekas kaki salomo yang patut diambil, dikumpulkan, dibawa ke rumah, dibikin masuk museum.
Jemaat GPIB Tamansari Salatiga yang bersekutu dalam nama Tuhan Yesus. Salomo mulai dengan 1000 kurban bakaran. Tahukah saudara-saudara bagaimana Salomo mengakhiri masa kepemimpinannya? Apakah ada bekas-bekas kaki cerita hidup Salomo di akhir karirnya sebagai pemimpin Israel yang dapat diambil, dikumpulkan, dibawa ke rumah, dibikin masuk museum?
Salomo mulai dengan 1000 kurban bakaran. Menurut I Raja-Raja 11:3 Salomo mempunyai tujuh ratus isteri dari kaum bangsawan dan tiga ratus gundik; isteri-isterinya itu menarik hatinya dari pada TUHAN. Salomo mengoleksi 1000 orang perempuan yang dia jadikan istri. Ini membuat hatinya berpaling dari Tuhan.
Dalam I Raja-Raja 11:4-7 dikatakan begini: “Sebab pada waktu Salomo sudah tua, isteri-isterinya itu mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain, sehingga ia tidak dengan sepenuh hati berpaut kepada TUHAN, Allahnya, seperti Daud, ayahnya. Demikianlah Salomo mengikuti Asytoret, dewi orang Sidon, dan mengikuti Milkom, dewa kejijikan sembahan orang Amon, dan Salomo melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, dan ia tidak dengan sepenuh hati mengikuti TUHAN, seperti Daud, ayahnya. Pada waktu itu Salomo mendirikan bukit pengorbanan bagi Kamos, dewa kejijikan sembahan orang Moab, di gunung di sebelah timur Yerusalem dan bagi Molokh, dewa kejijikan sembahan bani Amon.
Seribu korban bakaran Salomo naikan kepada Tuhan sebagai wujud syukur di awal karir kepemimpinannya. Dan di akhir masa pemerintahannya, Salomo memiliki 1000 orang istri yang membelokkan hatinya dari Allah, sehingga ia melakukan berbagai-bagai kejahatan di mata TUHAN.
1000 doa waktu menerima penugasan dan jabatan. 1000 dosa terkuak waktu akan mengakhiri karir sebagai pemimpin. Sungguh ironis dan kontradiktif. Tidak ada kebaikan dan kebenaran dari tindakan Salomo di akhir masa kepemimpinannya yang dapat diambil, dikumpulkan, dibawa ke rumah, dibikin masuk museum. Ini sungguh menyedihkan.
Aib yang ditinggalkan Salomo sepertinya masih terus mewarnai kisah hidup para pemimpin masa kini. Banyak yang mulai dengan 1000 syukuran, sumpah setia dan natzar. Syukuran itu terdengar sebagai kabar baik, yang menawarkan pembaharuan dan selamat bagi orang-orang yang dipimpin.
Sayangnya syukuran, janji, sumpah dan natzar itu tidak lagi terdengar dan hilang begitu sang pemimpin memutar roda pemerintahan dan kekuasaan. Karena keenakan dengan fasilitas dan popularitas mereka LUPA bersyukur. Kalau ada mutasi, mulai berdebar-debar. Tidak ada syukuran waktu dimutasi. Yang keluar dari mulut hanyalah umpatan. Ini bukan sikap seorang pemimpin yang berkenan kepada Tuhan.
Orang bisa mengatakan: PILKADA itu beda dengan PILKABE. PILKADA itu kalau jadi, LUPA. Banyak pemimpin yang kalau sudah jadi, lupa akan nilai-nilai, akan janji-janji. Mereka lupa rakyat dan juga lupa Tuhan. Mereka melakukan hal-hal yang jahat dan tidak berkenan.
Mereka tidak lagi memiliki hati yang disalibkan sebagaimana dikatakan oleh pendeta Jepang: Kosuke Koyama. Hati yang disalibkan itu hanya jadi semboyan di awal masa kepemimpinan. Kisah hidup Salomo menunjukan hal itu. Ia mulai dengan 1000 kurban bakaran dan mengakhirinya dengan 1000 orang istri. Ini memang bukti bahwa Salomo piawai dalam membangun negosiasi tetapi dia gagal menjaga kekudusan hidup.
Seorang pemimpin bisa saja berhasil membangun infra-struktur ekonomi, pendidikan, hukum, politik, dst. Tetapi jika ia tidak menjadi teladan kekudusan, maka sukses yang ia capai mungkin akan tercatat dalam The Guiness Book of Records.Tetapi seorang pemimpin yang dalam seluruh aktivitasnya tetap mengingat Tuhan dan memanggil rakyatnya untuk terus berharap kepada Allah, namanya pasti tercatat juga dalam buku kehidupan di surga yang ada pada Allah.
Jemaat yang bersekutu dalam nama Tuhan. Jejak kaki datangnya seorang pemimpin baru itu indah. Indah kedatangannya. Tetapi juga indah kepergiannya. Tidak hanya itu, bekas tapakan kaki yang ditinggalkan juga indah. Bahkan dia sudah matipun juga bekas tapakan kakinya tetap indah. Dalam mitos-mitos tempo dulu, bekas-bekas kaki orang yang terhormat diambil, dikumpulkan, dibawa ke rumah, dibikin masuk museum.
Marilah kita belajar untuk menjadi pemimpin yang baik dari awal sampai akhir dengan bercontoh pada Yesus yang menganut prinsip kepemimpinan berikut: “Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan (Lk 22:25).” Tuhan memberkati kita. (Pdt. Dr. Eben Nuban Timo)