Ku Temukan Kristus Di Dalam Salibku (Bagian 4) – Matius 27:51-56

Kepala pasukan dan prajurit-prajuritnya yang menjaga Yesus menjadi sangat takut ketika mereka melihat gempa bumi dan apa yang telah terjadi, lalu berkata: “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah.” (Matius 27:54)

Pernah seorang penjaga rel kereta api menjaga di satu pos persimpangan jalur kereta api. Jalur yang pertama adalah jalur aktif yang selalu dilewati kereta api. Jalur kedua sudah tidak aktif. Dari jauh, ia melihat anak laki-lakinya yang berusia empat tahun berjalan di atas jalur rel yang sudah tidak aktif, menuju ke arahnya. Sementara di jalur pertama, yang masih aktif, sekelompok anak kecil sedang bermain dengan serunya. Pada saat ia hendak menjemput anaknya, ia mendengar bunyi kereta api yang mendekat dengan kecepatan tinggi. Ia harus mengambil keputusan dengan cepat untuk memindahkan tuas penel yang menutup dan membuka jalur rel untuk dilewati oleh kereta api. Ia punya dua pilihan, pertama membiarkan kereta api melaju di jalurnya dan menabrak sekelompok anak yang sedang bermain, atau kedua, memindahkan panel tuas ke arah jalur di mana anaknya sedang berjalan.

Penjaga rel segera mengambil keputusan. Ia memindahkan tuas. Kereta api melaju dengan cepat ke arah anak laki-lakinya dan menabraknya di depan matanya. Anak-anak di jalur yang pertama terus asyik bermain. Ia juga sempat melihat orang-orang yang ada dalam kereta sedang asyik dengan kesibukannya. Tak ada yang tahu betapa seorang ayah telah mengorbankan anaknya sendiri.

Sahabat Kristus, Allah Bapa telah melakukan pengorbanan yang besar dengan membiarkan Anak Tunggal-Nya menderita dan mati di kayu salib. Pernahkah kita membayangkan betapa terlukanya Allah, ketika Ia harus diam memandang Anak Tunggal-Nya menangis memohon pengasihan-Nya di Taman Getsemani? Pernahkah kita membayangkan betapa sakit hati Allah saat melihat Anak-Nya disiksa oleh manusia yang diciptakan-Nya? Pernahkah kita membayangkan betapa hancurnya hati Allah ketika Ia mendengar Anak-Nya berteriak pedih dalam derita, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”

Setiap orangtua yang mengasihi anaknya, lebih memilih ia yang harus menderita dibanding melihat anaknya menderita. Orangtua manapun lebih memilih untuk berkorban menggantikan derita anaknya. Tidak ada orangtua yang tega melihat anaknya harus menderita. Tapi Allah lebih memilih untuk membiarkan Anak-Nya dikorbankan dan menanggung derita. Bukan karena Allah tidak mengasihi Anak-Nya namun karena itulah satu-satunya jalan yang harus Allah pilih supaya kita diselamatkan.

Kalau Allah bisa membiarkan Anak Tunggal-Nya menderita bagi kita, itu adalah tanda betapa besar kasih-Nya bagi kita. Tanda bahwa Ia tidak akan meninggalkan kita untuk binasa sendirian. Bukankah Ia rela Anak-Nya menderita bagi kita? (Leny Mansopu)

Wise Words : Aku banyak meragukan kasih manusia tapi tak akan pernah meragukan kasih Allah. Ia rela mati untukku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *