Praksis Beribadah Yang Memerdekakan dalam Konteks Pedesaan – Pdt. Hendrikus Nayuf, M.Th, M.Min

 

Menurut John Stott (2008:20) ibadahadalah kewajiban gereja yang pertama dan utama. Sebagai kewajiban yang pertama dan utama, maka Stott menegaskanagar kita memberi perhatian yang besar. Bentuk perhatian yang diharapkan adalahtotalitas kita dalam memaknai ibadah sebagai sentral kekristenan. Dalam konteksini ibadah tidak dimaknai dari aspek ritual formal yang berorientasi padapelayanan firman, sakramen, pastoral dan kegiatan gerejawi lainnya yang telahdiprogramkan. Tetapi ibadah dalam konteks ini adalah totalitas hidup kita. BagiStott, defenisi ibadah yang menggambarkan totalitas hidup kita adalah “bermegahdalam nama-Nya yang kudus,” (Mz. 105:3). Karena itu, Stott menyatakan ibadahsejati adalah ibadah alkitabiah, artinya ibadah itu merupakan tanggapanterhadap pewahyuan alkitabiah; hal kedua yang ditekankan Stott adalah ibadahyang kolektif (2008:22,23).

Dalam konteks  ibadah sebagaimana dikemukakan oleh JhonStott di atas, terdapat beberapa kendala yang berasal dari konteksnyamasing-masing. Konteks desa yang saya angkat sebagai pokok permenungan memilikiproblematikanya sendiri yang tentunya merupakan salah satu kendala untukmewujudkan ajakan Jhon Stott di atas. Konteks pergumulan di desa saat ini,sudah mulai bergeser dari isu animisme ke isu individualisme. Percakapan wargadesa akhir-akhir ini tidak lagi berada pada tataran pengalaman metafisik,tetapi lebih pada pengalaman perjumpaan dengan dunia lain melalui mediakomunikasi. Dampak yang paling serius adalah makna kolektifitas itu telahtergantikan oleh konsep kalkulasi untung – rugi kehadiran seseorang dalamkegiatan peribadahan tersebut. Persekutuan jemaat yang menjadi salah satu poinpenting dalam tri panggilan gereja dimaknai sebagai wadah konsolidasi belaka.Makna persekutuan  yang seharusnyadidasarkan pada spirit belarasa tereduksi oleh sikap bersekutu “kanak-kanak”, “kita mencari bersama-sama,bermain bersama-sama, tetapi saat susah, saat menangis, kita tanggungmasing-masing.”

Mengacu padaargumentasi Jhon Stott tentang ibadah sebagai totalitas hidup kita dan kontekspergumulan warga jemaat di daerah pedesaan, maka pertanyaan penting yang perludijawab adalah, “Bagaimana gerejamenghadirkan praksis ibadah yangmenghidupkan?” Jawaban atas pertanyaan ini semestinya didasarkan atas kasusyang dihadapi.

Dalam konteks tulisanini, maka yang perlu dilakukan adalah menghadirkan ibadah yang berdimensigumul-juang warga desa. Warga desa saat ini berada dalam titik jenuh menghadapikenyataan hidup yang stagnan bahkan cenderung menurun kualitasnya. Warga desaberada pada kolektifitas yang semu. Di sinilah, gereja perlu merumuskan sebuahbentuk ibadah yang tidak hanya rohaniah – moralis, tetapi lebih pada ibadahyang menghidupi warga desa.

Sudah saatnya, penataibadah “menurunkan” pelayanan firman dari mimbar, lalu membawanya ketengah-tengah tanah yang longsor lalu merumuskan alternatif pencegahan; pelayanfirman perlu berjalan di atas pematang sawah atau bermandikan kotoran ternak.Dan, atau pergi dan menemui mereka yang sementara batuk yang tak tahu kapanakan sembuh. Ke sana bukan untuk membantu mereka batuk, tetapi paling tidakmengetahui bahwa ada warga jemaat yang sementara batuk dan dia butuh obatbatuk.

Sudah saatnyapelayanan firman tidak sekedar sebuah formulasi yang mengarahkan warga jemaatuntuk “menghayalkan” surga yang abstrak. Tetapi, berusaha untuk menghadirkansurga dalam suasana kehidupan sehari-hari. Ibadah di pedesaan perlu dibebaskandari cerita-cerita tentang kasih. Tetapi harus melakukan kasih itu dalamtindakan. Kasih perlu dijabarkan dalam realitas yang total. Kasih harusdijabarkan kepada segenap warga dengan tidak melihat latar belakang seseorang.

Penjabaran kasihperlu dijadikan sebagai acuan dasar dalam ibadah pedesaan. Di sinilah intipraksis ibadah dalam konteks pedesaan. Mereka perlu direfresh untuk memaknai inti ajaran Kristen yakni kasih. Kasihyang tidak sekedar retorika simbolik, tetapi kasih yang menyapa, memaafkan,menyembuhkan dan memberi pengharapan baru. Inti permenungan ibadah dalamkonteks pedesaan adalah dari solidaritas ke konvergansi (saling menerima); darimerasa kasihan ke empati (turut bergumul); dari kebiasan hanya berdoa saja ke berdoa dan bekerja.

Ketika sesama warga salingmenerima, turut bergumul sebagai wujud berdoa dan bekerja, maka saat itulahkemerdekaan kristiani dalam beribadah terwujud. Kemerdekaan kristiani dalamberibadah adalah “kebebasan” ekpresi diri dalam bentuk yang otentik. Tidak ada“tipuan kamera. Tidak ada “rekayasa teknologi”. Tidak ada formalisme. Semuanyamengalir mengikuti nasihat Injil dalam beribadah. •••

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *