SUARA GEMBALA PEMAKAMAN PDT.DR. J.A. TELNONI (oleh: Pdt. Dr. Mery L.Y. Kolimon)

Keluarga besar Telnoni-Funay yang kami kasihi, mama Eny, adik Alda, dan adik Patrick yang paling kehilangan di kedukaan ini, keluarga besar Fakultas Teologi, Pascasarjana dan segenap civitas akademika UKAW yang berduka, jemaat Ebenhaeser Oeba, dan seluruh hadirin yang menyatu dalam rasa duka dan kehilangan.

Kita berkumpul siang ini di sini, memang dalam duka oleh karena kehilangan, tetapi di atas semuanya kita berkumpul terutama untuk mensyukuri hidup seorang abdi Tuhan yang Dia perkenankan menjadi sahabat sepelayanan kita di Gereja Masehi Injili di Timor. Waktu bagi bapa Alex telah tiba, dia telah kembali ke rumah Bapa.

Halaman face book penuh ungkapan duka dari banyak sahabat. Murid-murid beliau para pendeta GMIT yang melayani di tempat-tempat yang dekat dan jauh bersaksi tentang kebaikan Tuhan melalui hambaNya ini. Ucapan duka, kasih, dan hormat juga datang dari kawan2 di Gereja Kristen Sumba dan IPTL di Timor Leste. Kawan2 alumni STT Jakarta di seluruh Indonesia, bahkan di berbagai negara mengenang sahabat seperjuangan mereka di Kampus Proklamasi. Semalam saya menerima email dari Ibu Middelkoop di Belanda meminta saya menyampaikan kabar duka kepada Mama Eny dan anak2, serta semua keluarga besar.

Gereja-gereja di Indonesia bersyukur untuk seorang teolog Perjanjian Lama dari Tanah Timor. Dia pergi, namun pikiran-pikirannya tetap hidup melalui buku-buku yang telah dia tulis untuk memperkaya khasanah pemikiran teologis di Indonesia.

Minggu lalu ketika suami saya dan saya mengunjungi beliau di Rumah Sakit Siloam, adik Alda menjaga bapa, dan mama Eny diopname di ruang sebelah. Sepanjang percakapan itu beliau hanya mau berbicara kepadaku dalam bahasa Timor. Saya sangat terenyuh. Bahkan di ranjang sakit, dia tetap seorang teolog. Dia berkata kepada saya, ibumu adalah sepupuku. Ayahmu teman masa mudaku. Mereka sudah pergi ke rumah Bapa. Dan kami semua generasi kami akan mendahului kamu ke tempat itu. Kalian adalah kolekte kami, ho le na hai fua tulu, rawat gereja kita dengan baik. Mendengar itu, saya menangis. Itulah kata-kata terakhir yang beliau titipkan. Rawat gereja kita dengan baik (mpaloil hiti’ klei nok alekot).

Saya juga belajar dari akhir hidup beliau, bapa Aleks sangat mengasihi mama Eny. Setelah adik Alda memberi tahu bahwa mama Eny ada di kamar sebelah, bapa Aleks meminta kami untuk pergi ke kamar sebelah. Mnao hem kios ho baba’. Dalam sakit yang menderanya, beliau tetap memikirkan isteri terkasih. Pergi lihat tantemu di kamar sebelah. Seperti Yesus berkata kepada Yohanes, lihatlah ibumu. Bapa Aleks memberi pelajaran tentang mengasihi pasangan hidup dengan utuh, dengan penuh. Di ranjang sakit, bapa Telnoni tidak hanya berpikir tentang diri sendiri, tetapi selalu mengingat isteri terkasih. Kemesraan itu tidak diumbar, tetapi kasih dan ketulusan dibuktikan, bahkan ketika di lembah kekelaman sekalipun.

Saya mulai menjadi mahasiswa teologi pada tahun 1990. Saat itu ibu saya mengantar saya ke Fakultas Teologi untuk mendaftar. Pak Telnoni, yang adalah sepupu jauh ibuku, berkata kepada mama: “Jangan antar dia. Pulang saja. Dia sudah dewasa. Biarkan dia mandiri”.

Setelah saya pulang studi dari Belanda dan ditempatkan di FTh, kami meneruskan bersama perintisan pengembangan Program Pascasarja. Beliau ketua dan saya sekretaris PPs. Saya yang mantan murid, lalu menjadi kawan sekerjanya. Beliau sudah jauh berpengalaman, namun saya diperlakukan sungguh sebagai kawan sekerja, bukan junior yang perlu didikte, apalagi bawahan yang disuruh-suruh. Selanjutnya setelah ijin PPs terbit, saya dipercayakan oleh Rektor sebagai Direktur, dan kemudian beliau menjadi salah satu ketua program studi. Saya sungguh merasa tidak ada yang berubah dalam kualitas relasi kami. Relasi kami itu tetap relasi persahabatan, tidak ada post-power syndrome. Beliau matang dalam mengelola dinamika relasi kerja, relasi persaudaraan, dan relasi kekeluargaan menjadi utuh. Itu juga sebuah keteguhan spiritualitas, kematangan iman yang terbuka untuk tetap bersahabat, walau kami tak selalu sepaham.

Saya belajar selama masa bekerja sama itu banyak hal dari beliau. Ketika kami menghadapi turbulensi dalam dinamika internal di kampus, maupun dengan pihak-pihak lain, beliau selalu mengingatkan kami pada kuasa doa. Jangan pikul beban pelayanan ini sendiri. Kita datang ke Fakultas Teologi karena Tuhan suruh kita datang ke sini. Kalau kita hadapi masalah, mari kita minta Tuhan menolong kita, karena pekerjaan ini milikNya. Kita berdoa sama-sama, lalu masing-masing bawa natsar ke gereja. Bicara dengan Tuhan Sang Pemilik Pelayanan, nyatakan isi hati kita kepadaNya.

Beliau mengajarkan kami juga untuk peduli pada alam. Dengan bangga beliau bercerita, sebagai mahasiswa angkatan2 awal dari AThK, kampus Oesapa cukup gersang, hanya dengan pohon lontar dan kom. Pak Aleks dan kawan2 angkatan menanam kawasan itu dengan berbagai tanaman yang membuat kampus itu sekarang rindang. Beliau tekun membuat anakan matoa, dan bertanya berkali2 kapan kau ke Niki2, bawalah untuk keluarga di sana. Kapan pergi ke Alor, bawalah dan tanam di sana. Pohon2 itu akan selalu mengingatkan kita pada teolog yang tidak hanya menulis tentang langit baru dan bumi baru terkait tafsir kitab kejadian, tetapi juga mendorong kita semua bekerja untuk langit baru dan bumi baru di Timor, di NTT melalui pohon-pohon yang tumbuh hijau dan buah-buah bergizi yang dapat menyumbang bagi kehidupan baru, kehidupan berkualitas di tanah ini.

Hari ini, kita akan membaringkannya dalam pelukan Tanah Timor, tanah yang dicintainya ini, negeri para leluluhrnya. Jiwanya telah bersatu dengan para kudus di Rumah Bapa. Dan suatu saat kita semua akan bersatu dalam sukacita besar memuji Sang Khalik di Rumah Yang Kudus.

Rasul Paulus menulis dalam Filipi 1:21, hidup bagiku adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Jika kita ditanya apa kata yang berhubungan dengan kematian, dan jika kita cukup bersahabat dengan Filipi 1:21, saya kira kata keuntungan tidak akan ada dalam pikiran kita. Kita melihat kematian sebagai sebuah kehilangan besar, bukan sebuah keuntungan. Memang kalau orang sakit sudah sangat parah, kita mengatakan kematian adalah adalah berkat, sebab itu melepaskan orang itu dari rasa sakit. Namun umumnya kita melihat kematian sebagai sebuah hal yang tragis, dan kita akan melakukan apa saja untuk bisa terus hidup selama itu mungkin. Namun bagi orang percaya, demikian rasul Paulus, mati adalah keuntungan. Mengapa? Sebab melalui kematian kita bersatu dengan Kristus, Penyelamat kita. Maut tidak lagi menakutkan, sebab Dia sendiri telah masuk kepada kematian itu dan menang atas kuasa maut. Dalam iman seperti itu, kita percaya Bapa Aleks telah bertemu Kristus TuhanNya, dan kita semua masih diberi waktu untuk hidup dalam dunia ini, berbuah-buah bagi kemuliaan Kristus, sampai waktunya tiba, kita mendapat keuntungan itu, bersatu dengan Tuhan kita di RumahNya Baka.

Ma Enny, adik Alda, dan adik Patrick, pagi ini saya menemukan sebuah puisi yang saya terjemahkan secara bebas demikian.

AKU BEBAS

 

Janganlah tangisi aku, sebab kini aku bebas

Aku kini mengikuti jalan yang Tuhan tentukan bagiku

Aku memegang tanganNya ketika ku dengar Ia memanggilku

Aku berpaling dan meninggalkan semuanya

Aku tak bisa tinggal lagi bahkan untuk seharipun . . .

untuk tertawa, mencinta, bekerja atau  untuk bermain

 

Pekerjaan yang belum terselesaikan biarlah tetap tinggal begitu

Aku telah menemukan suatu tempat yang dekat denganku

 

Jika pergiku menyebabkan lubang menganga

Isilah itu dengan kegembiraan

Persahabatan yang dibagi, sebuah tawa, sebuah ciuman

Ah . . . hal-hal indah itu akan ku kenang.

 

Janganlah terbeban dengan penderitaan

Ku mengharapkan matahar bersinar bagimu besok pagi

 

Hidupku sendiri telah penuh

Aku telah dilimpahi banyak karunia

Kawan-kawan yg baik,

waktu yang baik

Kekasih untuk disentuh

 

Mungkin waktuku di dunia terasa terlalu pendek

Jangan ukur itu dengan dukamu

Teguhkan hatimu dan berbagilah denganku

Allah menginginkanku sekarang

Dia telah membebaskanku.

 

Hadirin sekalian, Tuhan menghibur kita semua di kedukaan ini. Tuhan memberkati kita.

Kupang, 7 September 2016

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *