SUASANA HARU DAN RISAU WARNAI DIES NATALIS FAKULTAS TEOLOGI UKAW KE-46

Tidak seperti perayaan-perayaan Dies Natalis tahun-tahun sebelumnya, pada ulang tahun ke-46 Fakultas Teologi (FT) Universitas Kristen Artha Wacana-Kupang (UKAW)-Kupang berlangsung dalam suasana perasaan campur aduk.  Sukacita karena penyertaan Tuhan yang nyata selama 46 tahun nampak di raut wajah, namun di saat yang sama rasa haru dan risau menyelimuti perasaan seluruh civitas akademika FT lantaran adanya desas-desus penggusuran terkait rencana  tata ruang lokasi UKAW sebagai konsekwensi dari integrasi FT ke dalam UKAW.

Rencana Pengembangan Ancaman bagi Hilangnya Nilai Sejarah

Dalam rencana induk pengembangan (master plan) yang dikeluarkan pihak pengurus yayasan UKAW tampak rencana penggusuran meliputi sejumlah bangunan baik ruang kuliah, asrama dan rumah-rumah dosen. Bangunan-bangunan tersebut akan diganti dengan gedung-gedung baru. Terkait penataan tata ruang (site plan)baru tersebut, pihak FT merespon negatif, mengingat latar belakang sejarah termasuk bangunan-bangunan yang sudah berusia hampir 50 tahun yang telah didirikan dengan susah payah oleh dua gereja pendiri bersama mitra –mitra gereja di Belanda, Irlandia dan Jerman.

Mengacu pada usia yang sisa 4 tahun menuju usia emas 50 tahun tersebut alasan FT mempertahankan ciri dan bentuk bangunan-bangunan yang ada serta nilai-nilai yang melekat pada sejarah keberadaan FT bisa dipahami. Pasalnya, UU no 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya Republik Indonesia menyatakan bahwa bangunan yang memiliki usia 50 tahun atau lebih dan memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan atau kebudayaan dapat diusulkan sebagai cagar budaya yang perlu dilindungi.

Napak Tilas Singkat FT

Guna mengingat perjalanan sejarah dan sebagai wujud cinta akan almamater yang telah melahirkan ribuan pendeta bahkan UKAW dengan 6 fakultas saat ini, panitia membuat video dokumenter yang mengisahkan sejarah pendirian mulai dari Akademi Theologi, STT hingga menjadi Fakultas (pendirian universitas).

Dalam video tersebut tergambar proses menuju fakultas didasarkan pada visi lembaga ini untuk menjadi berkat  bagi masyarakat bukan hanya melalui pendidikan teologi yang melahirkan pendeta-pendeta tetapi juga menyiapkan sumber daya manusia di bidang-bidang lainnya.

Upaya pengembangan STT menjadi universitas dibicarakan dalam persidangan sinode dari dua gereja pendiri GMIT dan GKS antara tahun 1980-1984. Pada persidangan sinode GKS tahun 1984, GKS memberi persetujuan pendirian unversitas dengan dua syarat: Pertama,pengembangan menjadi Universitas tidak boleh merugikan FT dan, Kedua, otonomi FT harus dipertahankan jika tidak, harus dikembalikan pada kedudukan yang semula yakni STT.

Pdt. Dr. Andreas Yewangoe yang juga salah satu saksi sejarah berdirinya lembaga pendidikan ini dalam video tersebut dengan nada tegas mengatakan, “Ketika itu ada percakapan yang intens antara GKS dan GMIT. Mereka bersekutu membuat MoU sebagai tanda kerja sama antara kedua gereja. Hal itu jangan dianggap enteng, karena tanpa MoU itu tidak gampang GMIT dan GKS bisa bekerja sama.”

Pernyataan Yewangoe tersebut memberi sinyal betapa pentingnya peran dua gereja pendiri di masa lalu dan sekarang, terutama saat ini ketika rencana pengembangan universitas menimbulkan silang pendapat antara fakultas teologi, rektorat dan yayasan UKAW.

Respon Rektorat dan MS GMIT

Rektor UKAW Frankie Salean, MP dalam sambutannya  mengaku bahwa mengacu pada latar belakang sejarah pendiriannya memang tidak mudah mendesain masa depan FT, namun setidaknya ada 3 hal yang perlu dipertimbangkan oleh FT yakni: Pertama,kebutuhan gereja akan tenaga pelayan makin terbatas  sehingga akibatnya  dalam 5 tahun terakhir penerimaan mahasiswa dibatasi. Kedua,masih bisakah mempertahankan fakultas teologi sebagai seminarium seperti yang sekarang ataukah menjadikannya sebagai sebuah fakultas yang tidak hanya sebagai seminarium tetapi mendesain kurikulum sedemikian rupa yang dapat menjawab tantangan jaman. Ketiga, tidak terlepas dari tuntutan sebagai sebuah unit FT patut tunduk pada sejumlah persyaratan dan standar penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Sementara itu Ketua Majelis sinode GMIT Pdt. Dr. Mery L.Y. Kolimon dalam sambutannya selain mengucapkan selamat HUT kepada FT, Ia menegaskan bahwa usia 46 tahun merupakan usia yang matang karena itu ia berharap di usia produktif itu FT terus berkontribusi  menghasilkan  pikiran-pikiran teologi kontektual  bagi NTT, Indonesia, Asia bahkan dunia. Namun Pdt. Mery menyayangkan bila diusia sematang ini FT masih bergumul dengan urusan-urusan internal. Ketua Sinode mengharapkan pola-pola relasi antara gereja pendiri, FT, yayasan dan rektorat terbangun secara positif, kritis dan konstruktif guna saling memberdayakan.

“GMIT mendukung dan tetap pada komitmen FT sebagai seminarium namun pada saat yang sama kita perlu sungguh-sungguh merenungkan pola-pola relasi yang tepat supaya kita benar-benar mengintegrasikan energi yang ada agar kita dapat melayani dengan lebih berdaya guna.”

Quo Vadis FT?

Apapun yang akan menjadi keputusan kelak menyangkut keberadaan FT, dialog kritis konstruktif antara gereja pendiri, FT, yayasan dan rektorat mutlak dibutuhkan agar rencana pengembangan yang bernilai positif tersebut jangan sampai mengabaikan nilai-nilai sejarah dan hakekat fakultas teologi sebagai seminarium. Sejarah itu ibarat akar, tanpa akar kita akan mati ditelan sejarah. Mengabaikan sejarah sama dengan merencanakan kehancuran di masa depan. Presiden pertama Ir. Soekarno, sudah mengingatkan hal ini di awal kemerdekaan: Jangan sekali-kali melupakan sejarah (JASMERAH). Sejarah itu seperti kaca spion. Ia dibutuhkan supaya kita mawas diri terhadap ancaman dari belakang tapi pada saat yang sama kita tetap menatap ke depan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *