Kupang, www.sinodegmit.or.id, Bulan Oktober 2016 yang lalu salah satu jemaat di Rote merayakan Perjamuan Kudus sedunia dengan cara unik. Roti dan anggur, unsur utama yang menjadi simbol Tubuh dan Darah Tuhan Yesus dalam kebaktian perjamuan diganti dengan daun marungga rebus dan nira lontar. Tentu saja peristiwal ini memicu polemik. Sejumlah komentar bernada menolak maupun menerima, beredar luas di media sosial menanggapi model perjamuan yang tidak lazim di lingkungan jemaat-jemaat GMIT ini.
Setuju VS Tidak Setuju
Bagi kelompok yang kontra, roti dan anggur memberi makna universal yang mengingatkan orang percaya pada perjamuan malam Tuhan Yesus dan ke-12 murid-Nya sebelum ia ditangkap. Karena itu Roti dan Anggur mengikat umat Kristen sepanjang abad pada momentum sakral tersebut. Sementara kelompok yang pro berpandangan bahwa roti dan anggur merupakan makanan sehari-hari di Palestina dan Eropa yang bisa diganti dengan unsur lain asal jemaat diberi pemahaman tentang substansi perjamuan kudus yakni pengampunan dosa, keselamatan dan anugerah Allah telah datang ke dalam dunia melalui Yesus Kristus. Tanda yang kelihatan dari anugerah Allah tersebut adalah Sakramen Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus.
Kami mengontak Pdt. Iswardi Lay, pelopor perjamuan kontekstual yang kontroversial tersebut. Ia mengaku apa yang ia lakukan bukan yang pertama kali. Di jemaat yang pernah dilayaninya, model perjamuan yang sama telah diujicobakan. Kesannya cukup positif. Jemaat bersukacita mengikuti perjamuan, meski masih ada satu dua orang yang enggan. Tidak ada persoalan teologis karena dalam pelaksanaannya, jauh-jauh hari telah didiskusikan dengan matang bersama majelis jemaat dan jemaat.
Termasuk dalam kelompok yang setuju, Paul Bolla S.Th., mantan jurnalis Pos Kupang, “Saya sepakat dengan semua upaya kontekstualisasi. Itu memang sudah seharusnya menjadi tugas para teolog dan awam untuk membuat semua isi pesan alkitab diterima dan dimengerti dalam budaya aslinya. Pesan dari perubahan perjamuan bukan pada kulit yg tampak: roti/anggur, laru/jagung, moke/ubi, tuak/marungga, tapi substansi pengorbanan Yesus. Jika ada yang masih terikat pada bentuk luar, maka silakan inovasi roti dalam bentuk dan rasa jagung, ubi, marungga, sagu, labu, sorgum, dsb. Demikian juga anggur. Toh selama ini GMIT sudah tolerir peserta perjamuan karena alasan kesehatan alergi anggur cukup pakai air putih.
Pdt. Emeritus Selfina Meza-Tauk, yang cukup lama melayani di pulau Rote, tidak setuju pergantian roti dan anggur dengan marungga dan nira tuak. Ia beralasan, Pertama, belum ada keputusan sinodal yang memperbolehkan pergantian roti dan anggur. Kedua, secara tradisional roti dan anggur telah mengakar dalam pemahaman warga gereja. “Kalau mau bikin kontektualisasi jangan pakai bahan mentah langsung. Sebaiknya marungga diolah terlebih dahulu sedemikian rupa jadi tepung untuk bikin roti, dan nira diproses jadi anggur sehingga makna liturgis dan teologisnya tetap terjaga.”
Berbeda dengan Pdt. Emr. Meza-Tauk, Teolog muda Pdt.Dr. Eben Nuban Timo, yang kini menjadi staf pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, dalam akun FB-nya bercerita, di Rote ia ditanyai pendapatnya soal pergantian roti dan anggur. Ia jawab singkat, “Mengapa tidak? Roti dan Anggur itu ‘kan makanan dan minuman sehari-hari orang Palestina dan Eropa. Kita bukan Palestina atau Eropa. Kita boleh memakai makanan sehari-hari kita untuk melambangkan tubuh dan darah Kristus. Apa salahnya? Tandasnya retoris.
Pdt. Norma Folla, Ketua Majelis Jemaat Moria Liliba yang juga mantan ketua klasis Rote Tengah, menyatakan ketidaksetujuannya. “Saya kira dalam banyak hal kita telah berusaha untuk membuat injil di terima dalam konteks budaya dengan upaya teologia kontekstual, tetapi tidak semua hal bisa di kontekstualkan, karena bisa saja mengaburkan makna sakral dari sakramen. Bagi saya apabila formulasi kalimat perjamuan diubah, maka kita telah mengubah firman Tuhan, sementara alkitab bilang satu noktah saja tidak boleh hilang. Saya setuju buat jamuan kasih di gereja dengan makanan lokal tapi perjamuan kudus tetaplah roti.
William Dedi Mone dari Ende-Flores dan Otniel Liu warga jemaat Batu Karang-kota Kupang bisa memahami upaya kontektualisasi tersebut namun bagi keduanya terasa janggal bila formulasi liturgisnya berbunyi, “Marungga/nira yang dibagi-bagikan ini adalah tanda persekutuan kita dengan tubuh Kristus”atau “Ubi/jagung bose ini adalah menunjuk pada kita bahwa Tubuh Kristus dipecahkan karena kita.”
Supaya formulasi kalimat liturgisnya tidak terdengar janggal, Pdt. Eben Nuban Timo, menjelaskan, dalam proses kontekstualisasi, tidak bisa menggunakan terjemahan lurus. Oleh karena itu, dibutuhkan kearifan untuk menemukan rumusan yang tepat. Misalnya, rumusan “Roti yang kami pecah-pecahkan ini,…dst-nya, diganti dengan “Makanan yang kami bagi-bagikan ini….”
Ditanyai pendapatnya mengenai hal ini, Ketua sinode GMIT Pdt. Dr. Mery L.Y. Kolimon mengakui bahwa secara teologis ia tidak keberatan.“Memang secara pribadi dan sebagai teolog, kata Pdt. Mery, sepanjang telah ada percakapan dengan majelis dan jemaat dan mereka sepakat untuk itu, mengapa tidak? Namun dipihak lain kita (GMIT) bukan gereja kongregasional. GMIT berasas presbiterial sinodal artinya jemaat-jemaat berjalan bersama-sama menurut peraturan-peraturan yang mengatur tentang perjamuan kudus.”
Sidang MS-GMIT 41: Roti dan Anggur Boleh Diganti
Perdebatan dan wacana di sekitar bahan pengganti roti dan anggur akhirnya menemui titik terang. Setelah melalui pembahasan yang mendalam melalui diskusi dan seminar selama beberapa tahun belakangan, akhirnya pada Persidangan Majelis Sinode GMIT ke-41 yang berlangsung pada 21-25 Pebruari 2017 memutuskan penggunaan elemen makanan lokal sebagai pengganti roti dan anggur diperbolehkan dengan catatan hal itu mesti dipercakapkan dengan jemaat dan majelis jemaat. Peraturan tentang hal ini tercantum dalam pasal 7 ayat 2 peraturan pastoral pelayanan sakramen perjamuan kudus yang berbunyi, “Dalam rangka kontekstualisasi atau dalam keadaan tertentu roti dan anggur dapat diganti dengan bahan lain berdasarkan keputusan persidangan jemaat.”