JEMAAT GMIT BENYAMIN OEBUFU RAYAKAN MINGGU SENGSARA BERNUANSA ETNIS

Kupang, www.sinodegmit.or.id,  Liturgi ibadah gereja-gereja mainstream (termasuk GMIT) yang mengutamakan suasana khusuk kerap kali dikritik baik dari luar maupun internal jemaat sebab dianggap kaku, statis dan menjenuhkan. Bisa jadi anggapan itu ada benarnya sebab sudah hampir umum  ibadah-ibadah di jemaat-jemaat GMIT nyaris seluruh unsur liturgi mulai dari votum hingga berkat di borong oleh pendeta dan jemaat hanya duduk dan mendengar.
Namun, suasana ibadah yang terkesan “cool” itu tidak nampak jika beribadah di jemaat GMIT Benyamin Oebufu-Kupang. Jemaat yang dipimpin Pdt. Semuel Pandie dan Pdt. Grace Pandie-Sjioen itu, sejak beberapa tahun terakhir menggunakan liturgi kontekstual dalam setiap ibadah hari minggu. Tidak ada model liturgi yang dipakai berulang-ulang. Setiap minggu disediakan tata ibadah yang baru yang mengakomodir pergumulan jemaat termasuk juga isu-isu nasional. Demikian pula pengisi liturgi. Semua unsur kategorial-fungsional dan jemaat secara umum di rayon-rayon dilibatkan dalam liturgi ibadah. Ada yang bertugas membaca nas pembimbing, doa pengakuan dosa, kantoria, musik perkusi, pembaca narasi, pemeran fragmen, kolektor persembahan, tim multi media, dll. Sedikitnya 20 sampai 30 orang berperan dalam liturgi ibadah setiap minggu. Jumlah itu akan bertambah lagi bila liturgi disiapkan dalam bentuk teatrikal pada ibadah-ibadah khusus.

Karena itu, kadang-kadang ibadah berlangsung lebih dari 2 jam. Namun, jangan salah sangka, durasi waktu yang lama itu tidak membuat  jemaat merasa bosan.  Paling tidak kesan itu muncul saat kami menghadiri kebaktian perayaan minggu sengsara pertama, 26/2-2017. Kebaktian pertama ini dikemas dalam nuansa etnis Sulawesi; Toraja dan Menado. Ruang kebaktian didesain dengan ornamen minggu sengsara dan dilengkapi beberapa properti dari kedua suku. Majelis jemaat yang bertugas pun mengenakan busana etnis. Kebaktian yang biasanya dimulai pukul 07:30, baru berakhir pada pukul 10:00 wita. Namun begitu tak ada jemaat yang mengeluh kelamaan. Semua tampak bersukacita.

Ibadah Minggu sengsara pertama mengambil tema “Roti dan Anggur Persaudaraan”. Tema ini mengacu pada bacaan Markus 14:12-21 yang mengisahkan tentang Perjamuan makan Paskah Yesus dan murid-murid-Nya. Prosesi tidak dimulai dengan arak-arakan presbiter melainkan 13 orang pemeran fragmen perjamuan yang  duduk melingkar di depan mimbar. Tugas mereka adalah menolong jemaat memahami tema ibadah minggu itu melalui lakon yang diperankan. Mereka mengenakan jubah persis seperti dalam film Yesus. Mereka berdialog sekitar suasana perjamuan terakhir Tuhan Yesus. Sambil mengedarkan roti dan anggur, ke-12 murid itu saling berbantah-bantahan tentang siapa murid yang akan menyerahkan guru mereka: Yesus.

Seusai itu muncul dua orang prajurit berkostum merah menari tarian perang diiringi musik perkusi berirama rampak, membuat jemaat ikut ba eki (bhs. Kupang yang berarti berseru dengan suara nyaring). Sambil memegang pedang keduanya saling serang. Bersamaan dengan itu seseorang membaca narasi yang bertema perdamaian. Sesaat kemudian kedua orang itu pun berdamai. Mereka berpelukan dan saling memaafkan, lalu meninggalkan panggung.

Sepeninggal mereka menyusul  prosesi para presbiter yang diiringi dengan  nyanyian jemaat yang digubah dalam bahasa Toraja.  Pelayan diserahi alkitab dan dikenakan topi khas Sulawesi lalu menuju mimbar untuk memimpin kebaktian.

Hal lain yang menarik adalah  pengakuan dosa. Unsur liturgi yang satu ini diberi durasi waktu sekitar 20 menit. Kata Pdt. Semuel Pandie, hal ini dimaksudkan untuk mengasah spiritualitas diri dan membangun relasi mistik dengan Allah. Moment ini diperankan secara teatrikal oleh dua penatua didampingi 3 orang pemuda yang memegang salib dan 3 pemudi memegang lilin. Suasana sangat khusuk. Instrumen nyanyian Taize yang teduh menuntun jemaat sungguh-sungguh berefleksi. Narasi pengakuan dosa diolah begitu rupa sehingga jemaat dapat meresapi laku hidup yang jahat. Bagian ini  menimbulkan pergulatan bathin yang sangat kuat. Tak jarang, ada jemaat yang matanya berlinang  dalam doa pengakuan dosa ini. Nyanyian Taize yang berirama lembut dinyanyikan berulang-ulang dalam 4 suara oleh kantoria dan jemaat hingga menciptakan suasana kontemplasi yang khidmat.

Usai pengakuan dosa, pelayan turun dari mimbar mengambil sebuah lilin ungu dan menuju salah seorang anggota jemaat lalu memberikan lilin kepadanya sambil mengucapkan berita anugerah. Anggota jemaat tersebut mewakili seluruh jemaat diberi kesempatan untuk menuju meja utama, diiringi instrumen musik, meletakkan kembali lilin sebagai tanda dipulihkan oleh Tuhan dan berkomitmen untuk kembali melanjutkan hidup baru dalam terang Tuhan. Bagian ini spontan direspon dengan nyanyian berirama riang dari jemaat dan dilanjutkan dengan nyanyian dari grup musik kulintang yang disambut tepuk tangan meriah.  Tak terasa satu jam telah lewat padahal pemberitaan firman belum tiba.

Khotbah yang disampaikan Pdt. Semuel Pandie cukup komunikatif. Sesekali ia bertanya pada jemaat dengan menyebut nama mereka.  Konsep-konsep teologis disampaikan dalam bahasa yang sederhana dan lugas. Nilai-nilai budaya Toraja seperti persaudaraan dan kebersamaan diitegrasikan dalam khotbah dengan baik. Sesekali khotbah diselai humor yang membuat jemaat terbahak.

Pada bagian persembahan, anak-anak dari kedua suku dengan pakaian khas Menado-Toraja bertugas mengumpulkan kolekte. Sebuah narasi pendek tentang kekayaan alam tanah Toraja dan Menado mengiring petugas membawa hasil pangan berupa kelapa, ubi, pisang, cengkeh, pala, panganan kue dan daging rica-rica dihantar ke meja persembahan.

Kebaktian diakhiri dengan nyanyian pengutusan dan berkat dengan iringan musik perkusi oleh para pemuda yang disambut koa’  a’uhuhu..a’uhuhu…oleh jemaat. (koa’: bhs. Rote yang berarti berseru dengan nyaring).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *