Gerakan kebangunan rohani yang terjadi di Timor sejak tahun 1960-an dan sesudahnya menimbulkan dampak yang sungguh luar biasa bagi perkembangan pelayanan di GMIT. Dalam buku “Benih Yang Tumbuh XI” Dr. Frank Cooley menjelaskan bahwa pada waktu itu di wilayah-wilayah pelayanan GMIT terjadi gerakan penginjilan oleh kelompok kaum awam yang kegiatan mereka ditandai dengan pembakaran dan penghancuran benda-benda yang dianggap keramat serta disusul pula dengan adanya mujizat-mujizat penyembuhan.
Pengaruh pengajaran dan tindakan penghancuran perkakas budaya oleh tim penginjilan itu berdampak sangat luas bagi pemahaman mengenai sikap terhadap segala warisan nenek moyang pada saat itu dan masa-masa sesudahnya. Banyak benda-benda pusaka milik leluhur dianggap berasal dari setan dan karena itu harus dimusnahkan. Benda-benda itulah yang menjadi biang dari aneka sakit penyakit dan malapetaka lainnya.
Tidak heran bila pada kurun waktu tahun 60 hingga 80-an, terjadi penghancuran massal terhadap benda-benda pusaka yang sudah berusia ratusan tahun. Hanya sedikit dari benda-benda bernilai sejarah tinggi itu yang lolos dari pembakaran dan penghancuran. Naiobe, adalah salah satu jemaat GMIT yang masih menyimpan benda-benda bernilai sejarah itu.
KOLEKSI BENDA KUNO DI JEMAAT TALITAKUMI NAIOBE
Jemaat GMIT Talikumi Naiobe, di klasis Kupang Tengah, merupakan salah satu jemaat yang masih menyimpan dengan baik beberapa benda antik yang lolos dari pemusnahan pada masa itu.
Untuk sampai ke sini, dibutuhkan waktu sekitar 1, 5 jam dari Kupang. Kerena letaknya berbatasan dengan Klasis Amarasi Barat maka menuju ke kampung Naiobe bisa melewati 2 arah: dari Selatan melalui Tunbaun atau dari arah utara melalui Bendungan Tilong dan Tanah Merah.
Tahun 2013 saya melayani sebagai pendeta di jemaat ini yang saat itu masih berstatus sebagai mata jemaat dari jemaat wilayah Bokong. Jemaat wilayah Bokong meliputi 5 mata jemaat yakni: Imanuel Bokong sebagai jemaat pusat, Elim Puan, Hosana Naiotel, Mekon dan Talitakumi Naiobe.
Karena topografi wilayah ini berbukit-bukit maka sebagian warga di sini tinggal di ketinggian dan sebagian lagi di lembah yang dikelilingi oleh kaliyang berkelok-kelok. Karena itu bila hendak mengunjungi kampung-kampung di sini mau tidak mau harus melintasi kali berkali-kali. Belum lagi infra struktur jalan menuju kampung-kampung di wilayah ini juga belum tersentuh pembangunan sejak Indonesia merdeka sehingga wilayah ini agak terisolasi meski hanya berjarak kurang lebih 25 kilometer dari Kota Kupang.
Sekali waktu saya membuka sebuah lemari tua dalam konsistori. Debu tebal menutupi sejumlah tumpukan berkas pada laci-laci lemari. Ada beberapa eksemplar laporan persidangan sinode dan tata gereja tahun 1980-an serta berkas-berkas lain seperti dokumen surat baptis tahun 50-an (?) bergambar ikan berukuran setengah kuarto berbahan kertas bible paper yang sangat tipis tapi tahan air. Isian formulirnya tentu saja dalam ejaan tempoe doloe.
Pada laci yang lain, mata saya tertuju pada lusinan peralatan makan seperti mangkuk, sendok dan lusinan piring antik berbagai ukuran dan motif, parang dan beberapa barang dari bahan perak. Ada juga sejumlah uang perak keluaran tahun 1800-an-1900-an, muti, habas dan dua gelang emas sebesar jempol kaki orang dewasa dengan mata yang berhias motif bunga dengan tambahan motif telapak tangan dan burung terbang.
Piring dan mangkuk antik dengan gambar motif berwarna biru menarik perhatian saya. Sebuah piring berukuran diameter 25 cm, bergambar taman dengan latar belakang gedung berarsitektur gotik, tampak dua perempuan berbusana Eropa abad pertengahan berjalan di depan diikuti seorang perempuan menunggang seekor unta. Namun, pada sisi belakang piring terdapat cap bertuliskan “ORIENTAL”. Kata ini tentu berarti buatan Cina.
Piring satunya lagi berukuran diameter 21 cm dengan warna motif biru. Sisi dalam bergambar beberapa orang berpakaian bangsawan merawat 2 ekor kuda dengan latar belakang bangunan bergaya gotik dengan ciri khas kubah dan menara yang menjulang tinggi. Pada sisi belakang terdapat cap bertuliskan “DAMASKUS”. Apakah ini berarti piring ini buatan Turki?
Piring lainnya lagi bergambar kuil-kuil Cina. Dengan latar perahu bercadik. Lainnya lagi bergambar kereta beroda dua yang ditarik kuda. Ada seseorang bersorban duduk di atas kereta dengan seorang pengiring di sampingnya. Karena dilatari bangunan mirip Taj Mahal di India, saya menduga lukisan pada piring ini dipengaruhi budaya Islam-Hindu dan bisa jadi ada kaitan dengan piring yang berasal dari Turki tadi. Ada juga piring yang berukuran lebih besar dengan motif berwarna coklat bergambar durian dan nenas dan bagian pinggir bergambar kuil-kuil.
Ada juga mangkuk bermotif bunga berwarna coklat. Pada bagian belakang bertuliskan tahun pembuatan 1836. Pada bagian bawah tahun pembuatan terdapat tulisan dalam huruf Sansekerta.
Tidak hanya itu, masih ada lagi belasan piring dan mangkuk ukuran kecil yang bergambar matahari (?) dan lainnya lagi abstrak. Ada juga piring warna putih yang dikenal dengan nama “retak seribu”. Hasil googling yang saya temukan, benda-benda antik ini buatan negeri tirai Bambu (Cina).
Menurut majelis jemaat setempat, benda-benda ini merupakan pemberian dari sejumlah keluarga antara tahun 1960-an hingga 1980-an yang tidak mau menyimpannya karena takut mendapat melapetaka. Ada juga yang membawanya ke gereja karena petunjuk doa dari kelompok doa mengatakan bahwa benda-benda pusaka leluhur itu mendatangkan sial dan berbagai penyakit.
Bisa jadi jemaat Talitakumi bukan satu-satunya jemaat GMIT yang masih menyimpan dengan baik benda-benda antik ataupun dokumen-dokumen tua lainnya. Inilah salah satu kekayaan sejarah masa lalu yang sarat makna. Saksi bisu dari pertemuan lintas budaya leluhur orang Timor, Rote, Sabu, Alor, Flores dst, dengan pedagang-pedagang asing pada ratusan tahun lalu yang patut dirawat dan diwariskan. (wanto menda)