Pdt. Andar Ismail dalam salah satu buku: “Selamat Berbakti” merumuskan 3 prinsip/kaidah dalam liturgy: Pertama, keutuhan, artinya setiap unsur selaras satu dengan yang lain. Kedua, timbal-balik, maksudnya setiap mata acara ibadah perlu tersusun dengan irama gilir-ganti, timbal-balik atau sahut menyahut. Dan Ketiga, keseimbangan, artinya unsur yang satu tidak lebih dominan dari yang lain. Melalui kaidah-kaidah ini jemaat ditolong agar mempersiapkan ibadah tidak dadakan atau asal-asalan. Tidak terkesan menyanyi tiada henti, doa tidak berkepanjangan atau khotbah mendominasi panjangnya kebaktian.
Liturgi dalam Konteks GMIT
Dalam konteks GMIT, upaya pengembangan liturgy rasanya belum serius digumuli. Hingga di usia 70 tahun ini, GMIT masih mengadopsi model-model liturgy gereja induknya di Belanda yang telah berusia ratusan tahun lalu bahkan mungkin di Belanda sudah usang dan tidak dipakai lagi. Karena kesamaan ini Prof. Abineno sampai menyebut GMIT sebagai kampung Belanda di Timor. Akibatnya pola liturgy yang digunakan GMIT terkesan monoton dan pendeta sentris. Ketiadaan inovasi yang mengakomodir identitas dan kekayaan budaya lokal dalam liturgy juga menimbulkan gap antara ibadah ritual dan ibadah karya dalam jemaat.
Lantas, apa yang perlu dilakukan guna menjembatani gap tersebut? Untuk kesekian kalinya redaksi Berita GMIT mengulas apa yang telah dimulai oleh jemaat GMIT Benyamin Oebufu-Kupang. Setidaknya, jemaat yang dipimpin Pdt. Samuel Pandie dan Pdt.Grace Pandie-Sjioen ini memberi ruang yang cukup bagi pengembangan liturgy kontekstual melalui UPP Bengkel Liturgi yang bertugas menangani secara khusus liturgy setiap minggu.
Memberi Bobot Pada Pengakuan Dosa
Jika pada umumnya khotbah dianggap sebagai satu-satunya yang penting dalam ibadah, – karena itu ada orang yang berasumsi datang terlambat pun tidak apa-apa asal masih sempat mendengar khobah – tim liturgy di jemaat ini mencoba memberi bobot yang cukup pada unsur-unsur liturgy (votum-berkat) salah satunya “Pengakuan Dosa”. Dari segi durasi waktu unsur ini hampir sama porsinya dengan khotbah yakni 15-25 menit. Apa yang yang dipertunjukan dalam durasi waktu yang cukup panjang ini?
Semua jemaat GMIT sudah lazim bahkan sampai hafal formulasi Pengakuan Dosa: “Ya, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Murah kami mengaku di hadapan-Mu bahwa kami telah berbuat dosa dalam pikiran, perkataan dan perbuatan kami. Karena itu kami mohon…”. Pengakuan yang dibacakan ini hanya membutuhkan satu menit. Apakah satu menit itu cukup bagi jemaat untuk mengutarakan pergumulan batin yang bisa jadi dikejar-kejar rasa bersalah karena melakukan dosa? Dan apakah durasi waktu yang sangat singkat itu cukup bagi jemaat mengaku dosanya secara konkret satu per satu? Tentu tidak cukup waktu.
Praktik Liturgi
Itulah sebabnya, tim liturgy memberi alokasi waktu yang cukup agar jemaat sungguh-sungguh dihantar berkontemplasi menuangkan perasaan dan isi hati kepada Tuhan dengan tidak terburu-buru. Setiap minggu terdapat agenda doa pengakuan dosa baik dosa-dosa pribadi maupun dosa-dosa sosial seperti: Relasi relasi keluarga, kekerasan rumah tangga, kekerasan anak, tindakan kriminal, persoalan di tempat kerja, perdagangan orang, kurupsi, perusakan lingkungan, carut-marut politik, hukum yang tidak adil dsb-nya. Pengakuan dosa disampaikan dalam bentuk narasi oleh dua atau 3 orang petugas secara teatrikal. Masing-masing mewakili satu-dua pokok doa. Pada bagian tertentu ada sela yang diisi dengan nyanyian jemaat berupa nyanyian Taize yang diulang-ulang. Seiring dengan itu, 3 kelompok anak muda muncul dan mengarak tiga buah salib. Mereka berdiri di depan mimbar dan berjalan menuju tempat duduk jemaat sebagai simbol Kristus yang datang dan menawarkan diri menyambut setiap insan dengan segala beban dosanya untuk dipulihkan.
Suasana khusuk dan hening sangat terasa dalam moment pengakuan dosa ini. Jemaat seolah merasakan sapaan Tuhan. Tersentuh bila satu persatu dosa yang terucap dari mulut narrator mengena pada diri sendiri. Dan, tak terasa butiran bening mengalir dari sudut mata setiap pribadi yang merasakan sentuhan dan pemulihan dari Tuhan Yesus.
Usai itu, ketiga kelompok pembawa salib kembali ke depan mimbar sambil menghadap ke jemaat. Narator yang mewakili jemaat menyampaikan keluh-kesah dan dosa-dosa sambil berlutut di depan salib, melanjutkan doa dengan kata-kata yang menyentuh setiap pergumulan yang dialami jemaat. Emosi narator tampak terekspresi dalam setiap kata yang diucapkan. Gestur, mimik, irama dan nada suara puistis dilakonkan dengan sangat baik.
Selepas itu, pendeta turun dari mimbar, mengambil lilin yang telah dinyalakan dan berjalan menuju ke bangku jemaat, menyampaikan “Berita Anugerah” dan memberikan lilin kepada salah satu orang, lantas mengajaknya menuju mimbar dan meletakkan kembali lilin sebagai tanda kesediaan untuk hidup baru dalam terang kasih Allah. Kesediaan untuk menjalani hidup baru tersebut disambut dengan nyanyian-nyanyian mazmur yang berirama riang secara responsoris.
Usai kebaktian kami meminta komentar jemaat. Bapak Anton Bire Doko (61) mengaku sangat terkesan dengan model ibadah yang tidak mimbar sentris. “Saya sangat terkesan dengan ibadah etnis di jemaat ini karena sangat menggugah hati dan iman saya. Semua unsur dalam liturgy memberi ruang bagi budaya lokal untuk bisa dihubungkan dengan alkitab. Ini sangat bagus untuk dilestarikan dan menguatkan iman kami dalam melanjutkan hidup kami sehari-hari.”
Hal senada juga disampaikan Ibu Marta Amelia Baun, “Ibadah ini terutama pada bagian pengakuan dosa sangat menyentuh hati saya dan memberi penguatan bagi saya pribadi untuk merubah diri saya sendiri dan untuk terus hidup dalam anugerah Tuhan.”