Bahasa Sebagai Alat Pemulihan dan Pembaruan

Bahasa Sebagai Alat Pemulihan dan Pembaruan

 (Pdt. Dr. Mery Kolimon)

(Minggu, 07 Mei 2017)

Bacaan Alkitab: Kej. 11:1-9

Bapa ibu, kaum muda, anak-anak yang Tuhan Yesus kasihi. Shalom. Saya merasa berbahagi pagi ini bisa berbakti bersama di jemaat Karmel Fatululi. Sebenarnya tahun lalu ketika ada sidang majelis klasis saya hadir, tetapi pada saat yang sama waktu itu ada kedukaan karena mertua meninggal, maka saya tak bisa hadir dalam acara yang istimewa bagi jemaat itu. Jadi perjumpaan pagi ini sekaligus bayar hutang kepada Karmel. Sekali lagi shalom, salam damai sejahtera untuk saudara-saudaraku di Karmel.

Telah menjadi keputusan sinodal kita di GMIT, bahwa bulan Mei dirayakan sebagai Bulan Bahasa dan Budaya. Namun selama ini kita tidak cukup memberi perhatian pada bulan bahasa dan budaya ini. Sejak tahun ini, kita secara sengaja menarik perhatian jemaat-jemaat GMIT kepada kebutuhan untuk sungguh berefleksi mengenai apa kehendak Tuhan bagi bahasa dan budaya kita. Kita orang Kristen tetapi kita juga orang Timor, Alor, Rote, Sabu, Sumba, Flores, Jawa, Bali, dst. Sebagai orang Rote kita punya bahasa Thie, Dengka, Lole, dll. Sebagai orang Alor, kita punya bahasa Klon, Abui, Kui, dan masih banyak lagi.

Tema perayaan Bulan Bahasa dan Budaya GMIT tahun 2017 ini adalah “Bahasa dan Budaya  sebagai Sarana Pembaharuan”. Menghadapi berbagai tantangan, manusia mempertahankan kehidupan dengan mengembangkan bahasa dan budaya agar dapat hidup dalam keutuhan dan keseimbangan. Bahasa dan budaya juga membentuk identitas, baik secara pribadi maupun komunitas, karena itu perlu dirawat secara kritis sebagai kekuatan dan kebanggaan yang mengakar pada sejarah setempat.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita semakin menyadari kompleksitas permasalahan hidup di zaman ini. Dan kita patut bersyukur bahwa pada kita ada begitu banyak ragam bahasa dan budaya, termasuk ragam budaya setempat (budaya lokal), yang dapat dipelajari dan dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup. Berhadapan dengan arus modernisasi yang seringkali tidak ramah terhadap budaya lokal, tema ini mengandung semangat untuk menyukuri dan mengelola keragaman budaya untuk pembaharuan diri, gereja masyarakat, dan alam.

Selama ini, di banyak jemaat GMIT, ekspresi budaya justru tampak pada bulan Oktober yang merupakan bulan keluarga GMIT. Padahal kita punya bulan Mei sebagai Bulan Bahasa dan Budaya, sehingga pelayanan bernuansa etnik mestinya berlangsung pada bulan Mei. Akibatnya kebutuhan untuk sungguh-sungguh berefleksi tentang keluarga menjadi tidak cukup maksimal diperhatikan.

Secara khusus pada kebaktian Minggu pertama di Bulan Mei ini kita akan berefleksi tentang bahasa. Minggu depan kita akan merenungkan makna tarian dan nyanyian dalam pelayanan gereja. Di sepanjang bulan Mei ini beberapa tema telah disiapkan untuk kita renungkan dan hidupi bersama. Kami meminta tim liturgi di tiap jemaat untuk mempersiapkan bahan-bahan ini dengan sungguh-sungguh bersama unsur-unsur dalam jemaat.

Bapa, ini, saudara-saudaraku, di Indonesia ini kita memiliki banyak sekali bahasa. Menurut data, kita memiliki 746 bahasa daerah di seluruh Indonesia. Itu sebabnya kita bersyukur selain memiliki bahasa-bahasa derah masing-masing, kita memiliki bahasa yang menyatukan kita, bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Kalau kita tidak memiliki bahasa persatuan, barangkali kita sulit memahami satu sama lain dan bukan tidak mungkin terjadi ketersinggungan, salah paham, dst. Meskipun begitu kita mesti berhati-hati dengan upaya penyeragaman bahasa yang membuat kita mengabaikan keragaman bahasa karunia Tuhan.

Dalam kebutuhan berefleksi tentang makna bahasa, hari ini kita membaca dan merenungkan teks Alkitab, Kejadian 11:1-9, tentang Menara Babel. Menurut Kitab Kejadian, setelah banjir besar yang menewaskan umat manusia yang telah memberontak, hanya Nuh dan keluarganya yang selamat. Keturunan Nuh itu kemudian berkembang menjadi bangsa yang sangat besar. Ada banyak hal yang sangat menarik dari bacaan ini yang bisa kita gali untuk mendapatkan pelajaran iman supaya kita dapat menata diri pribadi dan gereja kita lebih baik. Namun terkait tema kebaktian hari ini, saya hanya akan memfokuskan renungan kita pada beberapa hal.

Yang pertama adalah pentingnya melibatkan Tuhan dalam perencanaan. Dalam semua ikhtiar kita membangun hidup ini, baik sebagai pribadi, rumah tangga, dan gereja, dan bangsa, libatkan Tuhan. Dalam Kejadian 1;28 Tuhan berfirman “penuhilah bumi’ = menyebarlah, jangan tinggal hanya di satu tempat. Tetapi yang terjadi di Babel, justeru sebaliknya, manusia hendak membangun suatu titik kekuatan dan menolak menyebar ke seluruh bumi. Rencana umat di Babel bertentangan dengan perintah dan kehendak Allah bagi mereka. Menyebarlah berarti bersedia keluar dari zona nyaman, dan bergaul mengakrabi lingkungan yang baru, hidup bersama dengan orang lain dari latar belakang yang berbeda. Orang Alor jangan hanya bergaul dengan orang Alor saja. Jangan membangun sentimen-sentimen primordial etnis dan agama yang merugikan hidup bersama. Menyebarlah, berbaurlah, hiduplah bersama dalam perbedaan dan kerukunan. Jangan menganggap agamamu dan sukumu saja yang benar, lalu mengkafirkan yang lain.

Kita bisa saja bertanya, mengapa umat yang hendak bersatu Tuhan tidak berkenan. Bukankah persatuan dan kesatuan itu penting?  Ya, persatuan dan kesatuan itu penting, tetapi kita mesti kritis terhadap persatuan yang tidak melayani kehendak Tuhan. Jangan sampai atas nama persatuan lalu kita menindas atau mendiskriminasi mereka yang berbeda pendapat. Jangan atas nama persatuan dan kesatuan, lalu kita mengabaikan perbedaan talenta dan karunia dalam persekutuan kita. Jangan karena alasan mayoritas dan minoritas lalu kita mendiskriminasikan mereka yang pendapatnya berbeda atau jumlahnya lebih kecil di antara kita. Dalam situasi bangsa yang sekarang ini, kita lihat ada kelompok-kelompok radikal yang hendak menafikan keragaman Indonesia. Berbeda-beta tetapi satu hendak diubah menjadi yang berbeda-beda harus tunduk pada tirani mayoritas. Ini menjadi ancaman serius bagi masa depan Indonesia. Indonesia adalah rumah bersama dari berbagai suku bangsa dan bahasa, etnis dan agama. Di depan hukum nilai semua anak bangsa apapun bahasa dan budaya, agama dan etnisitasnya itu sama. Jangan melakukan diskriminasi kepada siapapun karena alasan agamanya.

Kedua, tentang motivasi pembangunan. Di GMIT sekarang, jemaat-jemaat berlomba-lomba membangun gedung gereja mereka, di kota dan di desa. Berkali-kali kami pergi untuk menghadiri kebaktian penahbisan rumah ibadah. Yang cukup membanggakan hati adalah bahwa bahkan di daerah yang sangat sulit terjangkau, kita mendapati geung-gedung gereja dan pastori yang indah. Dalam segala keterbatasan dan berkat yang Tuhan berikan, jemaat memberi sungguh-sungguh untuk membangun rumah demi kemuliaan nama Tuhan. Saudara-saudaraku, membangun itu tidak masalah, namun motivasi di balik pembangunan yang harus dikritisi. Peristiwa Babel merupakan sebuah kritik terhadap program pembangunan kerajaan di Israel atau sebagai komentar negatif tentang sejarah orang-orang Babel. Bacaan ini merupakan sebuah teguran keras terhadap sikap sombong dari negara-negara seperti itu di dunia. Kalau membangun GMIT, kalau membangun jemaat Karmel Fatululi, bangunlah itu demi kemuliaan Tuhan dan untuk terlibat bersama Allah dalam karya keselamatanNya bagi dunia. Jangan membangun untuk mencari nama, atau mencari puji-pujian yang sia-sia. Persekutuan kita mesti kritis terhadap dirinya sendiri. Gereja tidak boleh melayani diri sendiri: membesarkan diri dan bukan memuliakan Tuhan, supaya orang puji bilang we dong hebat. Kalau kita memusatkan semua hal pada kemuliaan diri, Allah dapat mengacaukannya. Kata Babel berkaitan dengan kata kerja Ibrani balal (“bingung” tidak mengerti lagi, kacau-balau. Kata ini kemudian dibentuk sebagai permainan kata Babel (dalam bahasa Inggris itu akan mendekati “babble” “celoteh”.

Hal ketiga adalah tentang keragaman bahasa. Ada penelitian dari UNICEF (Badan PBB untuk urusan pendidikan dan kesehatan) yang menunjukkan bahwa setiap tahun  ada 10 bahasa di dunia mengalami kepunahan. Dari 6000 bahasa di dunia, hanya akan ada sekitar 600-3000 yang tetap ada sampai akhir abad ini. Termasuk dari daftar yang terancam punah itu adalah bahasa-bahasa daerah di NTT. Sebab salah satu syarat lestarinya suatu bahasa adalah jika penutur/pemakainya berjumlah 10.000. Suatu hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pemakai bahasa-bahasa daerah di NTT, sekarang di bawah 5000 orang. Bahasa daerah ayah saya, bahasa Klon di Alor Barat Daya, misalnya, sekarang ini memiliki sekitar 5000 penutur. Bagian dari tugas kita di GMIT ini adalah mencari cara agar bahasa daerah ini tidak punah. Kita bersyukur GMIT memiliki Unit Bahasa dan Budaya, yang dalam kerja sama dengan gereja-gereja di Australia dan beberapa mitra di berbagai negara, sedang menerjemahkan Alkitab ke dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Kupang. Saya ingat cerita bahwa ketika bapa Middelkoop, yaitu penginjil asal Belanda yang lama sekali melayani di Timor dan memperkenalkan injil kepada orang Timor, berkhotbah dalam bahasa daerah, orang-orang di gunung di Kapan mengatakan: terima kasih Tuhan, selama ini kami mendengar firman Tuhan dengan telinga kami, hari ini kami mendengar Tuhan Allah berbicara kepada hati kami. Bahasa daerah menyentuh hati manusia. Anak-anak kita tidak boleh hanya bangga berbahasa Inggris dan main piano, tetapi mereka juga harus kita ajar untuk berbangga main gong dan suling, serta berbahasa daerah. Memang tak disangkali bahwa ketika Kekristenan datang ke pulau-pulau kita, adat istiadat lokal dan tradisi masyarakat dipandang sebagai primitive, bahkan kafir. Kebanyakan misionaris Barat cenderung terpola oleh perasaan bahwa budaya Barat/Eropa itu lebih baik sehingga mereka cenderung menolak adat istiadat. Bahkan sampai sekarang ada yang memandang tidak baik kalau kita mendengar cerita rakyat, dsb. Banyak anak-anak sekarang malu berbahasa daerah. Orang tua lebih bangga kalau anaknya bisa berbahasa Inggris. Tetapi tidak sungguh-sunggu membangun kebanggaan pada bahasa daerah. Padahal bahasa daerah adalah bagian dari identitas kita.

Saudara-saudaraku, hal lain yang kita pelajari dari teks ini adalah ketika situasi dunia rusak, maka Allah turun. Allah masuk dalam kehidupan manusia yang rusak, Allah turun tangan. Allah tidak membiarkan manusia hilang dalam keberdosaan mereka.  Pembangunan yang manusia lakukan dan semua upaya kreatif mereka dapat saja memiliki potensi bencana baik bagi manusia sendiri maupun bagi alam ciptaan Allah. Itu sebabnya Allah harus turun. Banyak kali upaya pembangunan yang kita lakukan, yang sebenarnya untuk kebaikan bersama, justeru menjadi lahan korupsi oleh para penguasa, dan akibatnya terjadi peminggiran kepada kelompok-kelompok rentan dalam masyarakat. Tuhan turun tangan mengacaukan bahasa mereka, sehingga mereka tidak dapat lagi berkomunikasi, harus meninggalkan apa yang mereka lakukan, bergerak terpisah dari satu sama lain, dan membangun komunitas bahasa yang terpisah, sehingga mereka akhirnya menyebar. Ketika kita melihat dan mndengar tentang kekerasan, dan ketidakadilan, kita tidak boleh diam. Allah turun tangan. Gereja harus terlibat bersama Allah. Orang-orang Kristen harus terlibat untuk karya kebaikan dalam gereja dan dan masyarakat.

Tahun ini kita merayaan 70 tahun GMIT dan 500 tahun gereja Reformasi. Dalam momen ini, tema pelayanan tahun ini kita berpusat pada pembaharuan dan pemulihan. Bahasa dan keragaman bahasa mesti menjadi alat pemulihan dan pembaharuan. Kita perlu memberi perhatian pada pemulihan bahasa-bahasa derah yang cenderung punah sekarang. Kita juga perlu memakai bahasa sebagai alat pemulihan. Jangan pakai bahasa untuk menghancurkan sesama, tetapi pakailah bahasa untuk menghibur dan menguatkan, memulihkan dan memperbaharui. Bicaralah yang benar dan berintegritas: jangan omong depan lain, di belakang lain. Bahasa mestinya menjadi sarana memuliakan Allah dan memulihkan sesama, bukan untuk saling menyakiti dan menyerang.

Tuhan memberkati kita sekalian.


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *