Foto: Makam Yufrinda Selan dikunjungi Ketua MS-GMIT dan peserta Simposium Teologi Nasional, di Tupan-TTS, Minggu, 28/05.
TUPAN-TTS, WWW.SINODEGMIT.OR.ID, Minggu, 28/05-2017 sehari jelang putusan Pengadilan Negeri kelas 1A Kupang terkait kasus trafficking atas nama Yufrinda Selan, korban meninggal tahun 2016, Ketua Majelis Sinode GMIT Pdt. Dr. Mery Kolimon melakukan kunjungan pastoral dengan menemui orang tua korban di kampung Tupan, kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Turut hadir dalam kunjungan ini peserta simposium teologi nasional dari berbagai daerah seperti: Jakarta, Ambon, Makasar, Tentena dan NTT.
Kunjungan ini bermaksud memberi dukungan moril dan penguatan iman kepada keluarga yang sedang menanti keadilan hukum bagi para pelaku perdagangan orang. Sebelumnya Rabu, 24/05 tujuh orang dari 16 pelaku telah divonis rata-rata separuh dari tuntutan jaksa. Sebut saja Edu Leneng, kepala mafia perdagangan orang di wilayah NTT yang dituntut 10 tahun oleh jaksa, hanya di vonis 5 tahun oleh hakim. Sementara Diana Aman aktor intelektual dan penyandang dana dalam bisnis biadab yang besok menghadapi vonis telah kabur entah ke mana. Vonis ringan ini bagi keluarga korban tidak memenuhi rasa keadilan.
Ayah Korban, Metusalak Selan berbagi cerita dengan Ketua MS-GMIT.
Metusalak Selan, ayah korban mengaku sangat kecewa dengan vonis hakim. “Saya sangat kecewa dengan vonis hakim karena tidak adil. Karena itu saya tidak akan berhenti berjuang. Saya berharap terus didampingi oleh sinode GMIT dan LSM-LSM yang bersama kami selama kasus ini untuk terus mencari keadilan,”ujarnya.
Terkait vonis ringan hakim tersebut Pdt Dr. Mery Kolimon turut prihatin. Ia menuding hakim “masuk angin” dalam putusannya. “Vonis tersebut mencerminkan ketidakadilan. Bagaimana mungkin mereka jelas-jelas pelaku tapi divonis ringan? Kita semua tahu hakim masuk angin. Pengalaman kita dengan dua korban meninggal kasus Medan, sampai hari ini pelakunya hilang. Sekarang, lagi-lagi Diana Aman juga hilang. Bagaimana negara bisa begitu? Negara belum sungguh-sungguh berpihak kepada korban,” ujarnya kesal.
Ia berharap pengadilan masih bisa memberi keadilan meski realitas pengadilan hari ini sangat memprihatinkan. Karena itu menurutnya, tidak heran bila masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri karena tidak lagi percaya pada lembaga pengadilan di Indonesia.
Menanti vonis terhadap ke-9 pelaku pada Senin besok, 29/05 Ketua Majelis Sinode GMIT berdasarkan pengalaman sebelumnya merasa pesimis kendati masih berharap vonis yang lebih adil. Karena itu ia mendorong para pendamping dan keluarga korban untuk membuat kampanye lebih besar agar menjadi perhatian publik. “Penting sekali para pendamping dan keluarga korban membuat kampanye lebih besar supaya menjadi perhatian publik dan kita kawal bersama. Tanpa efek jera, proses-proses pengadilan yang seperti itu akan menyuburkan perdagangan orang di NTT. Sebab orang akan pikkir ya kalau hanya 3 tahun hukuman, dipotong lagi masa tahanan dan di dalam waktu selanjutnya ia dapat lagi potongan, hampir tidak ada artinya. Padahal ada manusia yang mati akibat kejahatan kemanusiaan itu. Jadi mengecewakan sekali keputusan kemarin itu.”
Pdt. Emy Sahertian, ketua Badan Pembantu Pelayanan (BPP) Advokasi Hukum dan Perdamanian MS-GMIT yang mendampingi keluarga korban memastikan telah mengirim surat somasi kepada pengadilan dengan tembusan ke semua pihak terkait. Ia memandang pengadilan hanya bermain dagelan sebab fakta pengadilan dan vonis hakim tidak sinkron. Ia menduga ada permainan dibalik vonis ringan ini. ***