RATUSAN PEREMPUAN GMIT KLASIS KOTA KUPANG IKUT JAMBORE

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Sebanyak 378 orang perempuan yang berasal dari perutusan 28 jemaat di Kota Kupang, menjadi peserta dalam jambore II perempuan GMIT klasis Kota Kupang. Kegiatan dua tahunan yang bertujuan memperkuat persekutuan dan meningkatkan wawasan kaum perempuan ini di buka oleh Ketua Majelis Klasis Kota Kupang, Pdt. E. V. Manu-Nalle, S.Th, Kamis, 22/06-2017 di Bumi Perkemahan STIKES CHMK Oematnunu-Kupang Barat.

Dalam sambutannya ia mengajak kaum perempuan GMIT untuk berada di garda terdepan dalam mengatasi aneka masalah sosial seperti perdagangan orang, narkoba, kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan juga berkembangnya ajaran-ajaran yang bertentangan dengan iman Kristen di wilayah Kota Kupang.

Usai kebaktian pembukaan yang dipimpin Pdt. Jaky Latupeirissa, kegiatan hari pertama ini diisi dengan seminar yang  membedah sub tema “Perempuan Penolong”, dengan menghadirkan 3 panelis yakni Ketua Majelis Sinode GMIT, Pdt.Dr. Mery Kolimon, Prof. Maria A. Noach Ph.D, M.Ed, dan Bobby Liyanto dengan moderator Pdt. Emmy Sahertian, M.Th.

Dalam materinya Prof. Maria A. Noach menjelaskan tentang peran strategis tokoh-tokoh perempuan dalam Alkitab sebagai penolong bagi umat-Nya seperti Debora, Hana, Abigail, Batsyeba, Ester, Maria ibu Yesus, Elizabet dll. Penolong menurut profesor perempuan pertama di NTT ini berarti memiliki sesuatu yang “lebih”. “Kalau satu orang jatuh dalam sungai, harus ada seseorang yang lebih kuat untuk menolongnya. Tanpa kekuatan yang lebih ia tidak bisa menolong. Kita harus berusaha sebagai perempuan  untuk menjadi penolong yang mampu memberi pertolongan pada siapa pun pada waktunya karena kita tidak jalan sendiri tapi Tuhan memberikan tugas kepada kita untuk menjadi seorang penolong yang luar biasa,”jelas Prof. Mia, sapaan akrabnya.

Sementara itu, Pdt. Dr. Mery Kolimon yang mengulas peran perempuan dalam gereja dari perspektif misiologi mengemukakan bahwa ada sejumlah tantangan yang menjadi tanggung jawab kaum perempuan GMIT dalam panca pelayanan gereja (koinonia, marturia, diakonia, liturgia dan oikonomia).

Menurut teolog bergelar doktor pertama di GMIT ini, GMIT telah memperlihatkan beberapa langkah maju terkait peran perempuan dalam gereja. Sebut saja misalnya, saat ini lebih dari 60% pendeta GMIT adalah perempuan. Sesuatu yang di negara-negara maju seperti Jepang bahkan di Belanda, beberapa sinode masih menolak penahbisan pendeta perempuan. Begitu pula keterlibatan kaum perempuan GMIT dalam pelayanan gereja tampak lebih maju dibanding kaum bapak GMIT. Namun, di ranah sosial politik yang lebih luas peran kaum perempuan masih terbatas. Hal ini menurut Pdt. Mery Kolimon, akibat kuatnya faktor patriarkhi.

Lebih jauh Pdt. Mery menjelaskan, “penolong” (Ibrani: ezer) yang punya kaitan erat dengan kata “ebenhaezer” (sampai di sini Tuhan menolong) menurut kitab Kejadian bukan berarti penolong yang lebih rendah tapi menunjuk pada pihak yang kuat, berdaya dan punya kapasitas. Namun, Pdt. Mery mengingatkan bahwa penolong, karena itu tidak lebih tinggi atau lebih rendah melainkan sepadan. Pesan kitab kejadian dengan menempatkan perempuan sebagai penolong tidak mengandung pengertian perempuan lebih tinggi atau lebih rendah melainkan mitra, partner, penolong yang setara.

Lantas, apa peran perempuan dalam panca pelayanan GMIT? Perempuan itu bersekutu dan merawat persekutuan, bersaksi, melayani dan berbagi kasih, beribadah dan menatalayani. Kelima tugas gereja ini setara. Ibadah tidak lebih tinggi dari mengunjungi orang sakit. Fungsi penatua (marturia) tidak lebih tinggi dari fungsi diaken (diakonia).

Selain berbicara luas tentang peran perempuan dalam panca pelayanan GMIT, ketua majelis sinode GMIT juga menyinggung banyak isu yang kini mendera kaum perempuan diantaranya: kesetaraan gender, kekerasan dalam rumah tangga, korupsi, intoleransi, kerusakan alam, penyalahgunaan media sosial, LGBT, HAM, dll.

Terkait isu kerusakan alam, ia menyerukan agar kaum perempuan GMIT membangun persahabatan dengan alam. “Kita bilang bumi itu ibu pertiwi, lalu bagaimana perempuan membangun relasi dengan alam? Salah satunya adalah memanfaatkan pekarangan sebagai kebun obat, sayur, bank kompos dst-nya,” ujarnya.

Dengan mencontohkan sebuah gerakan yang sedang digagas sekelompok pendeta bernama “Pendeta Suka Tani”, Pdt. Mery Kolimon mendorong kaum perempuan untuk melakukan hal yang sama dengan maksud agar orang tidak tercabut dari relasi tanah akibat lebih akrab dengan laptop, gadget, televisi dsb-nya. Menjadi perempuan penolong menurutnya, berarti juga menjadi perempuan yang bersahabat dengan bumi.

Hal lain yang tidak kalah penting diingatkan ketua majelis sinode adalah sikap “beribadah” segelintir orang yang suka berdoa di facebook. “Sekarang perempuan GMIT punya doa gaya baru. Tuhan Yesus bilang kalau berdoa masuklah dalam kamarmu dan berdoalah. Jangan seperti orang-orang munafik yang berdiri di simpang jalan dengan mulut komat-kamit. Kami punya orang munafik zaman sekarang luar biasa. Mereka pergi ke facebook dan berdoa, “ya, Tuhan berkatilah makanan ini”. Bukan masuk ke dalam kamar untuk berdoa tetapi berdoa di FB. Habis berdoa lalu tunggu berapa yang like dan berapa yang coment. Ini berdoa kepada Tuhan atau netizen?” tutur Pdt. Mery yang di sambut tawa oleh peserta jambore.

Selain menggelar seminar, panitia juga mengadakan pengobatan gratis dan sosialisasi penyakit kanker serviks serta aneka perlombaan seperti lomba ja’i, cerita alkitab, CCA, bakiak, daur ulang sampah, fashion show dan memasak pangan lokal. Jambore berlangsung selama 3 hari yang dimulai pada Kamis dan berakhir pada hari ini Sabtu, 24/06-2017.***

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *