SEHELAI RUMPUT SEGAR

SEHELAI RUMPUT SEGAR

Dr. Andar Ismail

Berbinar-binar mata Nasrudin menatapi keledai yang tertambat di halaman istana. Keledai itu kuat dan tegap. Kata orang ini keledai paling bagus di seluruh kerajaan. Inilah keledai yang akan dijadikan hadiah bagi pemenang lomba. Lombanya akan segera diumumkan raja. Betapa Nasrudin ingin menjadi pemenang lomba itu.

Terompet pun berbunyi. Raja bermaklumat, “Aku kecewa bahwa minat baca buku masih rendah. Oleh sebab itu aku ingin agar keledaiku ini diajar membaca buku, sehingga orang yang malas baca buku jadi malu melihat keledai pun mau baca buku. Ini lombanya. Peserta lomba yang dalam satu bulan berhasil mengajar keledai ini membaca buku akan kuhadiahkan keledai ini. Akan tetapi, jika orang itu gagal ia akan dihukum kerha paksa selama satu tahun. Nah, siapa yang mau ikut lomba ini?”

Nasrudin dan ratusan orang lainnya di halaman istana tertunduk lesu. Siapa gerangan yang bisa mengajar keledai membaca? Mustahil!

Tiba-tiba Nasrudin memecah kesunyian. Katanya, “Daulat Tuanku Baginda. Sahaya ikut lomba!”

Semua orang mencibirkan bibir. “Dasar Nasrudin bego! Mustahillah mengajar keledai membaca! Rasakan kerja paksa sepanjang tahun nanti!”

Sambil menarik tali keledai ituNasrudian Nasrudin berjalan pulang. Mendekati rumah barulah ia sadar, “Apa yang harus kulakukan untuk membuat keledai ini mau mebaca buku? Istriku saja tidak mau baca buku, apalagi keledai.”

Siapa Nasrudin? Ia adalah tokoh separuh fiktif separuh faktual dalam ribuan cerita dari abad ke-14. Para pengarangnya tidak diketahui. Belasan negara mulai dari Turki, terus ke Kazakstan sampai provinsi Sin Kiang di Tiongkok mengklain Nasrudian sebagai warisan budaya susastra mereka. Tiap cerita itu merupakan parodi dan satire yang mengandung sebuah kritik soaial. Pelaku utamanya Nasrudian yang dungu dan lugu, namun memegang kartu kebenaran (lih. “Lugu Bak Nasrudin” di Selamat Berkiprah).

Tidak ada cerita Nasrudin yang autentik semua cerita itu telah dimanupulasi oleh pengadopsi cerita sesuai dengan tujuan instruksionalnnya masing-masing, karena disebuah cerita bisa terdapat belasan tema yang berbeda.

Sebentar akan kita lihat bahwa karangan ini bukan hanya bertema minat baca buku, melainkan juga bertema bagaimana membuat orang jadi berminat baca buku.

Masih tentang minat baca, pernah Eka Darmaputera dan saya mengadakan tiga survei kecil untuk sekitar 40 pendeta, 40 pengurus komisi/badan pembantu dan 60 penatua pada tempat dan kesempatan yang berbeda. Tugas survei berbunyi, “Dari 10 isu ini, pilih 5 isu yang menjadi agenda Luther dan Calvin dalam reformasi Gereja.” Hasil survei menunjukan bahwa isu “Pembenaran oleh Iman” dipilih oleh semua responden. Isu “otoritas Alkitab” oleh banyak responden. Demikian juga isu “Sakramen”. Akan tetapi isu “Peran Buku untuk Iman” tidak dipilih ooleh satu orang pun.

Angka berbicara. Dari sekitar 40 pendeta tidak ada seorang pun yang tahu bahwa pengadaan  buku dan peningkatan minat baca buku umat merupakan salah satu agenda Reformasi Gereja yang diperjuangkan.

Padahal Luther memberikan begitu banyak waktu dan energi untuk mendorong umat membaca. Langkah pertama Luther adalah membuka akses umat untuk membaca Alkitab. Pada zaman itu Alkitab hanya bisa dibaca oleh rohaniawan sebab bahasanya adalah Latin. Siang malam selama beberapa bulan Luther menerjemahkan Perjan jian Baru ke dalam bahasa nasional. Lalu ia dan kawan-kawan menulis buku-buku rohani untuk umat.

Kepada para penulis itu Luther mewanti-wanti, “Jangan pakai bahasa Jerman-mu, tetapi pakailah bahasa Jerman umat. Pakai bahasa yang hidup dan jelas sehingga ibu-ibu di pasar pun bisa mengerti dan suka membaca tulisanmu!”

Ketika Gereja Protestan semakin mewujud, Luther pun giat menatar para pendeta dan mendorong merek auntuk tiap hari membaca buku. Akan tetapi, Luther frustrasi melihat betapa lambannya para pendeta itu. Luther mengomel, “Ada pendeta yang pada dasarnya malas … mereka tidak berminat untuk membeli buku … walaupun memilikinya, mereka malas membacanya!”

Sementara itu, Gereja Katolik pun lebih memperhatikan peran buku. Di tengah, gencar-gencarnya gerekan Reformasi Luther, pada tahun 1540, berdirilah Oerdo Jesuit atas prakarsa Ignatius Loyola. Ordo ini banyak melakukan kaderisasi para calon cendekiawan melalui literatur.

Bukan hanya, Luther yang mengomeli kemalasan baca buku. Yesus pun mengomel. Injil Matius mencatat bahwa Yesus pernah lima kali jengkel kepada para pemuka agama karena para pemuka agama itu belum baca apa yang seyogyanya mereka baca. Omel Yesus, “Tidakkah kamu baca …” (12:5). Juga, “Tidakkah kamu baca bahwa …” (19:4). Juga, “Belum pernahkah kamu baca … “ (21:16). Pada kesempatan lain juga, “Belum pernahkah kamu baca dalam …” (21:42). Juga, “Tidakkah kamu baca apa yang …” (22:31).

Luther mengomel. Yesus mengomel. Raja kita pun mengomel. Oleh sebab itu, raja ingin agar ada orang bisa mengajar keledainya membaca buku. Raja ingin menyindir orang yang malas baca buku. Raja ingin berkata, “Lihat, keledai saja mau baca buku, masakan Anda Cuma main internetan!”

Maka, pada hari terakhir lomba itu halaman istana sudah dikerumuni orang. Semua orang ingin melihat apa yang terjadi dengan Nasrudin.

Dengan langkah gugup Nasrudin menuntun keledai itu ke tengah lapangan. Lalu seorang pesuruh istana meletakkan sebuah buku di atas meja. Tebalnya sekitar 100 halaman. Bisakah buku itu dibaca oleh keledai?

Terompet berbunyi. Raja memberi aba-aba, “Mulai!”

Keledai itu mengendus-ngendus buku dan menggoyang-goyangkan lidahnya. Lalu dengan lidahnya yang terjulur panjang ia mulai mebalik halaman pertama. Lalu halaman kedua. Lalu halaman ketiga. Halaman demi halaman dijilatnya dan dibalikkannya. Pada tiap halaman ia berhenti sejenak untuk manatap apa yang terdapat di situ. Lalu halaman berikut lagi. Sampailah ia pada halaman terakhir. Lalu ia meringkik nyaring! Hadirin bersorak girang sambil bertepuk tangan.

Raja terpana dan berdecak kagum. Lalu ia bertakrif, “Aku menyatakan Nasrudin adalah pemenang. Ia berhak menerima keledai ini!”

Nasrudin membungkuk, “Sahaya hatur syukur, Tuanku Baginda.” Ia pun cepat-cepat pergi.

Akan tetapi, tiba-tiba raja bersabda, “Nasrudin! Tunggu dulu! Coca ceritakan apa rahasiamu sehingga keledai ini mau mebaca buku?”

Nasrudin terkejut. Dengan tergagap ia menjawab, “Daulat Tuanku Baginda. Sahaya belajar dari tetangga saya. Tetangga sahaya itu tiap pagi pukul 04.00 sudah mulai menulis buku. Ia bekerja keras. Orangnya serius. Mukanya cemberut. Sifatnya eksen …!”

Raja langsung mebentak, “Aku tidak peduli tampang tetanggamu itu macam apa. Aku ingin tahu apa rahasianya sehingga keledai mau membaca buku!”

Nasrudin bertakzim, “Sahaya hunjuk ampun, Tuanku Baginda. Maksud sahaya begini. Tetangga sahaya itu di STT Jakarta mengajar ilmu Memadukan Rumput Segar dalam Bahan Ajar. Ia mempraktikkan ilmu itu dengan cara menulis buku Seri Selamat. Di tiap halaman bukunya ia memadukan sehelai rumput segar. Oleh sebab itu, Seri Selamat banyak pembacanya. Itulah juga yang sahaya lakukan dengan keledai ini. Sahaya meletakkan sehelai rumput segar di tiap halaman buku sebagai makanannya tiap hari sehingga keledai ini rajin membaca buku sebab ia ingin makan. Tuanku Baginda, tidak ada rahasia apa-apa. Hanya itu, hanya sehelai rumput segar!”

*dikutip dari buku “Seri Selamat: Selamat Membarui”  hal. 42-46

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *