MENILIK KEBUTUHAN JEMAAT DI PERSIDANGAN GEREJA

BOKING, www.sinodegmit.or.id, Jumat, 24/11-2017 Klasis Amanatun Timur menyelenggarakan persidangan Majelis Klasis ke-6. Persidangan yang berlangsung selama 3 hari di jemaat Imanuel Boking ini di buka oleh ketua Majelis Sinode (MS) GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon.

Dalam sambutannya Ketua MS GMIT meminta perhatian seluruh Ketua Majelis Jemaat dan Ketua Mejelis Klasis agar memperhatikan dengan sungguh-sungguh Haluan Kebijaksanaan Umum Pelayanan (HKUP) GMIT 2015-2019 yang menjadi acuan dalam perencanaan program-program pelayanan setiap tahun di lingkup sinode, klasis dan jemaat.

“Kami meminta para pendeta untuk memberi perhatian pada HKUP 2015-2019 dan melihat bagaimana keputusan-keputusan itu bisa diimplementasikan ke dalam program pelayanan tahunan di lingkup jemaat dan klasis, karena ukuran keberhasilan Majelis Klasis, Majelis Jemaat juga Majelis Sinode adalah sejauhmana HKUP diimplementasikan dalam program-program pelayanan tahunan. Sungguh disayangkan kalau Majelis klasis dan Majelis Jemaat tidak baca HKUP,” ujar Pdt. Mery.

Persidangan gereja di setiap lingkup, kata Pdt. Mery, merupakan ruang untuk melakukan evaluasi terhadap program-program yang belum dan telah dilaksanakan serta merencanakan program-program pelayanan tahun berikutnya dengan mengacu pada hasil evaluasi pelayanan sebelumnya.

Saat menyampaikan materi tentang sub tema 2018, “Bersama Kristus kita Hidupi Spiritualitas Ugahari demi Keadilan Terhadap Sesama dan Alam Lingkungan”Ketua MS GMIT memaparkan sejumlah isu yang sedang digumuli GMIT saat ini. Salah satunya adalah isu lingkungan. Dari data yang dipublikasikan di berbagai media, kata Pdt. Mery, menunjukan bahwa wilayah berdampak kekeringan  di NTT terus meluas dari tahun ke tahun.

Menyikapi ancaman dimaksud, Pdt. Mery meminta segenap jemaat GMIT menjadikan “Gerakan Tanam Air” sebagai program wajib di setiap lingkup baik jemaat, klasis maupun sinode.

Selain itu, ia juga meminta masyarakat untuk menghentikan budaya tebas bakar yang sangat merusak lingkungan serta mendatangkan bencana longsor.  Ia bahkan mengibaratkan tindakan tebas bakar sebagai tindakan membakar tubuh Allah.

“Saya sedih sekali melihat perbukitan-perbukitan sepanjang perjalanan dari Amanuban hingga Amanatun Timur yang digunduli dan dibakar untuk membuat kebun. Kita (GMIT) sedang ada dalam bulan lingkungan tapi kita potong dan bakar pohon di kebun-kebun tanpa ampun. Padahal sebelum masuk Kristen, leluhur kita mau potong pohon saja mereka memberi rasa hormat kepada alam. Sekarang setelah jadi orang kristen, kita potong dan bakar hutan tanpa rasa bersalah. Membakar bumi adalah membakar tubuh Allah. Membakar kebun Allah. Tuhan menciptakan bumi ini sangat baik (Ibr: tov) tapi kasihan, abis itu kita bakar bikin rusak. Pohon-pohon besar di mata-mata air  kita sensor rata tanah. Oleh karena itu, bersama pemerintah kita perlu cari cara untuk mengurangi bahkan menghentikan budaya tebas bakar,” kata Pdt. Mery.

Lebih lanjut Ketua MS GMIT juga menyinggung isu kemiskinan, pendidikan (sekolah-sekolah GMIT), human trafficking, gizi buruk dan stunting (bayi lahir dengan tinggi badan tidak normal akibat kurang gizi). Yang terakhir ini kata Pdt. Mery, provinsi NTT, khususnya kabupaten Timor-Tengah Selatan merupakan yang tertinggi di Indonesia.

Oleh karena itu, sebagai bentuk tanggungjawab gereja terhadap keempat isu yang saling terkait satu dengan yang lain tersebut, GMIT, kata Pdt Mery, telah menandatangani nota kesepahaman dengan Kementerian Desa pada bulan Oktober lalu agar gereja ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan desa demi memastikan dana desa dimanfaatkan secara tepat bagi  meningkatkan kesejahteraan hidup warga NTT.

“Penandatangan Mou antara GMIT dan kementerian desa itu dimaksudkan  supaya para pendeta dan presbiter serta jemaat di desa terlibat dalam perencanaan di desa, sehingga dana 1 milyar yang digelontorkan pemerintah ke desa-desa dimanfaatkan untuk menjawab persoalan-persoalan real yang ada di desa,” kata Pdt. Mery.

Menyikapi aneka isu tersebut, Ketua MS GMIT meminta para pendeta dan presbiter agar membuat analisis sosial dan merumuskannya dalam bentuk program-program di persidangan-persidangan klasis dan jemaat.

Persidangan Majelis Klasis Amanatun Timur diawali dengan kebaktian pembukaan yang dipimpin Pdt. Dominggus Dodego. Klasis Amanatun Timur memiliki 14 jemaat dan 68 mata jemaat dengan tenaga pendeta sebanyak 11 pendeta dan 5 vikaris. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *