KESAKSIAN SEBATANG TUNGGUL POHON:
TINJAUAN ETIS-TEOLOGIS TENTANG PEMBANGUNAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN*
John Campbell-Nelson
Pengantar
Kalau boleh, saya mau mulai dengan sebuah cerita yang mungkin dapat membuka beberapa aspek dari topik kita hari ini. Peristiwa yang kecil ini terjadi beberapa tahun yang lalu di Timor Tengah Selatan:
Di pinggir jalan yang ke luar Kapan menuju Tunua ada sebatang tunggul pohon yang agak aneh. Ia menonjol ke luar dari tanah yang mendasarinya dua meter tingginya, seperti ia berdiri di atas akarnya. Mungkin pohonnya pernah ditebang untuk membuka ladang baru atau untuk kayu api. Yang jelas, sejak ditebang, tanah di sekeliling pohon itu telah dimakan erosi sebanyak dua meter sehingga tinggal batu-batu dan tunggul itu dengan akarnya ditelanjangi . Ia berdiri ibarat mayat nabi, yang walaupun dibunuh tetap memberitakan kemerosotan lingkungan alam.
Pada satu ketika seorang pendeta lewat situ. Mungkin dia dengar teguran sang nabi tunggul itu sehingga dia turun dari mobil dan mengambil tustelnya. Sementara dia mau mengambil foto, seorang petani lewat. Melihat pak pendeta dengan tustelnya, dia memiringkan kepala seolah-olah ingin bertanya, “Koh, kenapa mau foto macam itu?”
“Ini contoh erosi yang cukup gawat, Pak, ” jawab pendeta.
“Ahhh, begitu,” sambut pak petani.
“Beta pernah belajar itu di sekolah. Namanya aau…ilmu bumi. Bapak seorang ahli ilmu bumi. Bikin penelitian, koh?”
Mendengar bahwa kawan bicaranya adalah seorang pendeta, pak petani melanjutkan perjalanannya dengan tambah bingung lagi. Untuk apa seorang hamba Tuhan mau berurusan dengan sebuah tunggul pohon?
Pak pendeta juga rasa bingung. Bagaimana mungkin orang bisa membiarkan tanah yang rnenjadi modal dasar untuk kehidupan mereka tahun demi tahun dimakan erosi sampai habis? Bisa belajar ilmu bumi di sekolah, ikut penyuluhan dari pemerintah, ikut latihan penghijauan tetapi tetap menjadi penonton saja terhadap pemusnahan sumber hidup mereka sendiri?
Dalam cerita ini muncul dua pertanyaan yang perlu dijawab bersama-sama. Pak petani seolah-olah bertanya tentang hubungan agama dan lingkungan alam, sedangkan pak pendeta rnempertanyakan ketidakpedulian rnanusia terhadap bumi yang memangku dan mengasuhnya. Menurut saya “ketidakpedulian” itu justru berhubungan dengan suatu kegagalan atau kealapaan teologia Kristen. Manusia mengelola lingkungan alam bukan semata-mata berdasarkan pertimbangan-pertimbangan praktis dan ekonomis. Ada nilai-nilai dan makna-makna simbolis yang melatarbelakangi tingkah lakunya terhadap lingkungan, dan nilai-nilai itu berakar dalam pandangan dunia yang disediakan oleh agamanya. Tentu orang bisa melanggar nilai-nilai itu, hal yang dalam agama suku dikenakan denda atau menuntut korban dan dalam agama Kristen disebut dosa. Tapi dapat juga terjadi bahwa agama itu sendiri gagal mengungkapkan suatu pandangan tentang alam semesta yang jernih dan konsekwen. Itu yang telah terjadi dengan teologia Kristen Protestan. Dengan demikian, dalam pembahasan selanjutnya kita akan melihat bukan hanya “dosa” pak petani dalam cerita tersebut di atas, tapi juga “dosa” pak pendeta sebagai wakil para teolog Kristen.
Namun ada satu faktor lain yang tidak nampak secara langsung dalam cerita di atas. Sebab ternyata dugaan pendeta bahwa erosi itu terjadi akibat sistem tebas bakar keliru. Kalau diselidiki, erosi di lokasi itu terjadi karena pembangunan jalan. Tanah digundulkan untuk meratakan jalan dan tidak dihijaukan kembali, sedangkan saluran untuk air hujan tidak disediakan. Karena itu, seluruh bukit di mana pohon kita berdiri terbuka untuk erosi. Ternyata yang harus bertanggung jawab atas erosi itu bukanlah pak petani, melainkan pemborong dan pemerintah setempat. Peranan mereka ini mengintrodusir faktor yang ketiga dalam permasalahan kita: kepentingan politis, birokratis, dan “bisnis” belum tentu dikendalikan oleh nilai-nilai budaya ataupun agama. Kalau faktor ketiga ini tidak diperhitungkan, maka analisis kita akan meleset. Dengan demikian, peluang-peluang (serta kendala-kendala) untuk pembangunan berwawasan lingkungan terdapat dalam interaksi di antara tiga faktor: sosial-budaya, etis-teologis, dan politis-ekonomis.
- Akar-Akar Dosa Terhadap Alam Semesta
Kita mulai uraian ini dengan sebuah pengakuan yang sangat mendasar dalam tradisi Yudeo-Kristen.
“Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya dan dunia serta yang diam di dalamnya.” Maz. 24.1
Perspektif ini tidak unik pada kekristenan. Hampir setiap tradisi agama, termasuk agama suku, memiliki suatu ajaran atau mitos tentang penciptaan yang mengakui dunia ini sebagai milik Sang Pencipta. Tapi kalau begitu, mengapa kita tidak konsekwen dengan pengakuan ini? Mengapa kita tidak memperlakukan bumi sebagai milik Tuhan? Jangan lihat jauh-jauh kepada pabrik-pabrik di Jawa yang mengotori udara dengan asap dan sungai-sungai dengan limbah kimia. Hampir setiap lokasi wisata lokal, di mana orang pergi untuk menikmati keindahan alam, dikotori oleh kulit gula-gula, kaleng minuman, atau botol Aqua. Kolam alam atau air terjun atau hutan lindung justru menjadi tempat pembuangan sampah. Tapi kalau alam ini adalah milik Tuhan siapa yang berani mengotorinya? Tentu sebagai teolog saya akan menjawab, “Dosa”. Tapi dosa yang mana? Karena biarpun dalam hati saja, dosa harus disebut-sebut baru orang bisa bertobat. Berikut adalah daftar dosa terhadap lingkungan alam.
Dosa 1: Kesombongan Teknologis
Pada zaman Orde Baru segala hal dikaitkan dengan mantra “Pembangunan,” sehingga perlindungan terhadap alam semesta pun diberi semboyan “Pembangunan yang Berwawasan Lingkungan.” Ungkapan ini tetap dipertahankan dalam subjudul paper ini walaupun sudah terasa agak ketinggalan zaman, sebab menurut pendapat penulis, asumsi-asumsi yang melatarbelakanginya masih menghantui kita sampai sekarang. Istilah itu mengandung suatu kesombongan. Kita baru bisa menyebut alam semesta sebagai “lingkungan” kalau kita memiliki suatu prasangka yang sangat antroposentris — seolah-olah dunia ini hanya semacam panggung untuk kita tampil di muka. (Bayangkan seorang bapak yang menyebutkan keluarga atau rumah tangganya sebagai “lingkungan” — isteri dan anak-anak hanya sebagai perhiasan untuk “menciptakan suasana” bagi dirinya.) Bandingkan sikap itu dengan pernyataan seorang dari suku Dayak yang menjelaskan mengapa dia menolak transmigrasi.”Kami bukan tinggal di dalam hutan: kami adalah hutan” — begitu dia menyadari persatuannya dengan alam semesta.
Pembangunan yang berwawasan lingkungan menunjukkan suatu kesombongan tingkat lanjutan. Patut kita berterima kasih kepada Emil Salim karena beliau telah mengangkat gagasan pembangunan yang berwawasan lingkungan dalam bukunya dengan judul yang sama. Tetapi seharusnya teguran Salim tidak diperlukan kecuali para “pembangun” tidak gila kesombongan: seolah-olah pembangunan adalah sesuatu yang semata-mata dalam tangan manusia, dan manusia boleh memilih apakah dia mau berwawasan lingkungan atau tidak. Kalau bukan alam semesta yang diolah dalam pembangunan, kita pakai apa? Creatio ex nihilo (penciptaan tanpa bahan baku apapun) memang mungkin bagi Tuhan, tapi kalau manusia mau membangun apa-apa dia harus pakai apa yang Allah telah sediakan. Jadi yang kita “bangun” dalam pembangunan tidak lain dari lingkungan hidup kita–yang adalah dunia ciptaan Allah. Pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan adalah mustahil bagi manusia dan merupakan suatu perampasan ketuhanan, seperti dijanjikan sang ular: “kamu akan menjadi seperti Allah.” (Kej 3.5). Bertolak dari nats ini, Karl Barth telah memberi definisi tentang dosa yang agak relevan di sini: dosa adalah “kemungkinan yang tidak mungkin,” di mana karunia-karunia yang Allah telah berikan kepada manusia dianggap sebagai prestasi dan atas dasar “prestasi” itu manusia menggapai hal-hal yang di luar kesanggupannya.
Kesombongan ini terwujud dalam suatu keyakinan akan keunggulan teknologi moderen yang berlebih-lebihan. Diyakini bahwa segala masalah dapat diatasi dengan IPTEK, bahwa lingkungan alam dapat dikuasai dan alam semesta dapat direkayasa. Memang ilusi ini seolah-clah didukung oleh sejumlah keberhasilan teknologis yang diagung-agungkan walaupun kurang difahami—sebut saja rekayasa genetik, kloning, jantung buatan, dsb. Tetapi dalam kenyataan setiap kemajuan teknologis dibayar dengan harga tertentu dan membawa akibat yang belum tentu dapat ditanggulangi. Kita bisa menghancurkan atom untuk memperoleh tenaga nuklir, tapi sampai sekarang kita tidak mampu menetralisir “sampah nuklir” yang dihasilkan juga — yang tetap ganas sampai berabad-abad. Dengan bantuan peralatan berat, kita bisa menghabisi hutan dalam tempo satu hari yang lebih luas dari apa yang dihabisi ratusan petani tebas-baker dalam beberapa tahun. Tapi hutan rimba yang ditebas dengan segala margasatwa dan ribuan jenis tanaman yang berdiam di dalamnya, kita tidak mampu menumbuhkan kembali. Ini hanya beberapa contoh dari sebuah fenomena yang jauh lebih luas. Kesombongan teknologis membuat kita berani melakukan hal-hal yang kita tidak mampu kendalikan.
Melihat keadaan ini, saya teringat akan Mickey Mouse dalam filem ceritera “Magang Sang Dukun”. Mickey sudah belajar dari dukun sampai dia mampu “menghidupkan” sebuah sapu dan menyuruh dia mengangkat air dari sumur dan mengisi bak di rumah. Tapi celaka! Mickey belum tahu bagaimana sapu disuruh berhenti.. Akhirnya rumahnya dibanjiri air.
Dosa 2: “Dunia Barat” Melahap, “Dunia Ketiga” Cemburu
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa negara-negara yang sedang berkembang merindukan suatu tahap kemakmuran seperti mereka telah melihat di negara-negara “Barat”, asal tanpa kemerosotan sosial, ketidakstabilan politis, polusi, kecemasan, kehancuran keluarga, individualisme, dan materialisme yang menyertainya. Memang hal itu seperti ingin api, tapi tidak mau asap. Tanpa pengetahuan teknologis dan landasan perindustrian untuk menghasilkan sendiri barang-barang tanda kemakmuran yang didambakan, terpaksa negara-negara ini menjual segala sumber daya alam untuk memperolehnya dari “Barat” (baca: Jepang). Tentu teknologi sendiri termasuk yang dibeli. Yang dimimpikan (dan sementara diupayakan) adalah supaya menjual minyak bumi, hutan, ikan, dan hasil bumi yang lain untuk membayar ongkos industrialisasi, modernisasi dan kemakmuran gaya Barat.
Tetapi hal ini mustahil. Hitung saja: dengan 5% dari penduduk dunia, Amerika Serikat menghabisi 40% sumber daya alam di pasar dunia setiap tahun. Tahap konsumsi seperti ini yang diperlukan untuk memungkinkan gaya hidup Amerika yang begitu mewah. Kalau seluruh penduduk dunia mau hidup pada taraf kemakmuran seperti di Amerika, kita diperhadapkan dengan dua pilihan yang sama-sama tidak mungkin: mengurangi jumlah penduduk global sebanyak 87.5% (supaya manusia yang sisa bisa hidup seperti orang Amerika juga), atau menemukan delapan bumi baru. Memang Kitab Wahyu menjanjikan “langit yang baru dan bumi yang baru” — tapi tidak sampai delapan.
Perlu dicatat di sini bahwa perkembangan IPTEK ada segi baiknya, bahwa ditemukan berbagai teknologi yang lebih menghemat sumber daya alam dan lebih bersih dari segi pencemaran lingkungan. Tapi tetap menjadi kenyataan bahwa negara-negara yang sedang berkembang mengejar suatu gaya hidup yang tidak mungkin dipertahankan. Kalau menjadi pelahap terhitung dalam daftar “dosa klasik” dalam tradisi Kristen, apakah merindukan kesempatan melahap bukan dosa juga?
Dosa 3: Keterasingan Urban
Orang kota patut disebut sebagai “suku terasing”– terasing dari lingkungan alam. Tanya anak kota, “Susu datang dari mana?” dan kemungkinan besar dia jawab, “Dari kaleng.” Para penduduk kota bergantung pada hasil pertanian untuk mengisi perut, tapi sekaligus menganggap pertanian sebagai pekerjaan yang kolot dan hina. Orang Kupang beli kayu api dari Pulau Semau tapi tidak melihat penggundulan yang terjadi di sana. Pesan pasir satu ret, tapi tidak tahu pasir itu meninggalkan lobang di mana. Beli kayu untuk bangun rumah, tapi tidak dengar pohon itu jatuh dalam hutan. Hanya mereka yang tinggal di pedesaan yang menyaksikan kemerosotan lingkungan secara langsung.
Kecuali cuaca yang manusia belum kuasai, orang kota hanya mengalami alam semesta sebagai sebuah komoditi yang telah diolah dan dimanipulir oleh manusia, atau sebagai “tempat rekreasi” (yang dikotori oleh kaleng-kaleng Sprite dan kulit gula-gula seperti dicatat di atas). Pada perspektif yang lebih luas, keberhasilan ilmu pengetahuan dalam memahami dan memanipulir proses-proses alam telah mereduksi alam semesta pada kepentingan-kepentingan utiliter — yang disebut eksploitasi sumber daya alam. Sekaligus makna dan martabat dunia alam telah dikosongkan, sehingga manusia semakin mengasingkan diri daripadanya. Semakin makmur, semakin terasing. Sumber air sudah tercemar? Beli Aqua saja.. Udara sudah kotor? Ganti saja dengan cuaca buatan: orang pindah dari rumah yang ber-AC ke mobil yang ber-AC ke kantor yang ber-AC, dan hanya dengar tentang keadaan cuaca dari televisi. Akhirnya hanya orang desa dan orang miskin di kota yang mengenal dunia ril — yang lain tinggal dalam dunia buatan manusia. Dan di situ terkandung suatu bahaya: bukan orang desa atau orang miskin yang berkuasa, yang mengendalikan arus pembangunan. Mereka yang memegang kuasa ekonomis dan politis hidup sehari-hari dalam lingkungan yang dipalsukan: semakin berkuasa semakin terasing. Mereka boleh izinkan hutan 1indung ditebas, dan bukan mereka yang haus karena semua mata air mengering. Mereka boleh mengotori udara dengan asap dari fabrik-fabrik, tapi bukan mereka yang batuk-batuk. Dalam hal ini, para penguasa dan pengusaha bukan hanya terasing dari alam semesta, tapi juga terasing dari konsekwensi perbuatan mereka sendiri terhadap sesama manusia. Keadaan seperti ini yang melatarbelakangi definisi Paul Tillich tentang dosa sebagai alienation from the ground of one’s being –-keterasingan dari sumber keberadaan itu sendiri.
Orang kota sudah menjadi seperti seorang petani dalam sebuah cerita dari Kierkegaard. Sang petani sudah menjual sapi di kota, dan dia ambil sebagian dari uangnya dan membeli sepatu baru. Dia langsung pakai sepatu yang baru dan pergi minum bir dengan teman-teman. Malam itu dia jalan kaki pulang ke kampung, tapi karena mabuk, akhirnya dia berbaring dan tertidur di tengah jalan. Tidak lama kemudian datanglah kendaraan yang hampir menggiling sang petani. Sopirnya memanggil, “Hai, awas! Pindah cepat atau kakimu akan digiling!” Sang petani angkat kepala dan melihat kakinya. Dia bingung melihat sepatu baru yang dia sudah lupakan karena mabuk. “Maju saja,” jawabnya pada sopir. “Itu bukan kaki saya.” Rasanya sikap orang kota sudah begitu. Terhadap pencemaran dan kemerosotan alam, mereka seolah-olah menjawab, “Maju saja! Itu bukan dunia saya.”
Dosa 4: Pasrah di Pedesaan
Kita sudah menghajar orang kota, jadi sekarang menjadi giliran orang pedesaan. Sampai sejauh mana wawasan lingkungan lebih baik di desa? Memang sebagai orang yang langsung bergantung pada lingkungan alam sebagai dasar hidupnya, para petani pedesaan lebih sadar akan kekayaan dan keanekaragamannya. Karena alam adalah sumber makanan, bahan bangunan dan obat-obatan bagi mereka secara langsung, seringkali mereka memiliki pengetahuan tentang lingkungan yang melebihi para pakar. Lagi pula, sebagai masyarakat yang telah hidup turun-temurun di satu lokasi, mereka lebih menyadari proses perobahan alam jangka panjang.
Mereka juga menghayati dunia alam sebagai sesuatu yang berada pada dirinya sendiri, terlepas dari kehendak manusia. Menurut pandangan tradisional, makhluk-makhluk hidup selain manusia juga memiliki hak-hak asasi: kalau mau mengambil madu, harus lebih dulu diminta dari lebah; pada saat panen, sapi-sapi diberi ucapan terima kasih karena tidak merusak jagung; adapun hutan yang tidak boleh diganggu karena merupakan tempat berlindung bagi margasatwa. Dan penyembahan agama suku pada “kayu-batu” dan mata air, walaupun disebut berhala, bagaimanapun juga lebih dekat pada agama yang sejati dari perspektif rasional-sekuler yang melihat alam sebagai sejumlah benda mati yang bebas dimanipulir dan dieksploitasi.
Kalau begitu bagus sifat dasarnya, apa sebabnya sehingga orang pedesaan turut mengambil bahagian dalam pengrusakan lingkungan? Beberapa alasan demografis boleh disebut lebih dulu: penambahan penduduk di pedesaan telah meningkat sampai melebihi daya tampung tanah. Pola bertani dengan sistem berpindah ladang dulu tidak mengganggu karena kebun lama dibiarkan “sembuh” baru diolah lagi. Sekarang, tanah tidak cukup untuk dibiarkan lebih dari beberapa tahun saja, sehingga kesuburan tanah merosot. Akibat kemerosotan mutu tanah, orang harus lebih cepat pindah kebun, sehingga tercipta suatu lingkaran setan. Secara ironis, arus penduduk ke kota (khususnya generasi muda) mengakibatkan kekurangan tenaga kerja di pedesaan, sehingga teknik-teknik bertani yang lebih “labor intensive” tapi lebih ramah dengan alam mulai ditinggalkan dan diganti dengan jalan pintas.
Ada berbagai faktor yang lain yang kami tidak angkat di sini – saya bukan ahli pertanian. Tetapi menurut saya ada juga aspek-aspek etis dan teologis dari pola pandang orang pedesaan NTT yang cukup relevan pada masalah kelestarian lingkungan. Dua ciri khas dari etika orang NTT adalah bahwa ia menghadap ke belakangdan ia mempunyai orientasi waktu pada jangka pendek. Menghadap ke belakang dalam arti bahwa ketaatan pada tradisi nenek moyang masih cukup tinggi. Selebihnya, kewajiban etis yang paling mengikat adalah tanggung jawab anak pada orang tuanya. Ini nampak, misalnya, dalam soal-soal seperti memilih sekolah, pekerjaan, ataupun jodoh, yang semuanya harus disetujui oleh orang tua. Orientasi etis dari satu generasi adalah pada generasi sebelumnya, dan bukan pada generasi berikut. Justru karena itu, masalah tentang apa yang kelak akan diwariskan pada anak-anak kurang menjadi patokan etis bagi tingkah laku masa kini. Paling-paling kita menyimpan bagi mereka barang mas, selimut, atau muti yang telah menjadi harta pusaka. Tetapi bagaimana dengan keadaan lingkungan alam yang juga akan diwariskan? Kalau nenek moyang terima hutan rimba dan mewariskan padang rumput pada kita, apa yang akan diwariskan kita kepada anak-anak kita – padang gurun? Devaluasi pertanian sebagai profesi juga mempunyai andil di sini: banyak petani kurang memikirkan masa depan tanahnya karena berharap anaknya akan menjadi pegawai negeri.
Orientasi waktu pada jangka pendek juga menghalangi perhatian pada lingkungan alam. Dalam kalendar asli orang Timor tidak ada kategori perhitungan waktu lebih dari satu putaran musim, dan perencanaan ekonomi rumah tangga hanya menghitung waktu dari panen ke panen. Sedangkan kemerosotan lingkungan alam terjadi perlahan-lahan, sehingga kurang disadari urgensinya. Misalkan seorang pencuri membongkar lemari kita dan mengambil uang Rp.1,000,000. Tentu kita berteriak, “Pencuri! Pencuri!” Tetapi andaikata dia mengambil Rp.1,000 setiap hari, bisa saja berbulan-bulan baru kita rasa kehilangan — dan mungkin pada saat itu kita mulai ragu apakah kita salah ingat jumlah yang seharusnya ada. Sama hal dengan erosi. Bertanya pada orang tua di pedesaan tentang keadaan alam pada waktu mereka masih kecil, mereka menjawab, “Wah, dulu ini semua masih hutan rimba dan air melimpah.” Padahal sekarang sudah menjadi padang rumput dan air semakin susah – namun tidak ada yang berteriak, “Erosi! Erosi!”
Ada dua hal lagi berkaitan dengan pola pandang masyarakat tradisional (khususnya di NTT), yang berdampak secara tidak langsung pada lingkungan alam. Yang pertama, bahwa mereka memahami proses sebab-akibat dari sudut pandang moral. Kalau orang sakit, itu bukan karena kuman atau virus, tapi karena dia telah melanggar suatu pantangan sehingga kena hukuman dari Tuhan ataupun arwah nenek moyang. Sama halnya, kalau mata air mengering itu bukan karena hutan ditebas di sekitarnya, tapi karena orang pasang pompa yang mengganggu roh setempat. Kadangkala sikap seperti ini berfungsi untuk melindungi lingkungan, tapi ia juga mempersulit suatu analisis yang rasional.
Yang kedua, masyarakat pedesaan NTT masih terlalu tabah terhadap pimpinan feodal. Selama kepentingan pemimpin feodal masih terletak pada kemakmuran rakyatnya, ketaatan mereka tidak menjadi soal. Secara historis justru orang diangkat sebagai raja atas dasar ekonomi pertanian dari rakyat yang dia pimpin. Tetapi akhir ini terjadi perobahan orientasi dalam sebagian kaum bangsawan yang sangat merugikan. Mereka yang berperan sebagai “tuan tanah” secara lokal (yaitu, mandataris rakyat atas tanah suku) bisa saja menyerahkan hak atas tanah itu kepada siapa saja (pejabat atau pengusaha) yang datang dengan oko mama (tempat sirih pinang).
Selanjutnya, para bangsawan yang sudah duduk dalam kepemimpinan formal pemerintahan sudah lebih berorientasi pada atasan dalam birokrasi daripada kepentingan rakyat. Upeti para petani tidak mampu bersaing dengan uang proyek, kesempatan promosi, atau tawaran para pengusaha. Kalau pimpinan feodal tradisional cenderung menjaga kelestarian wilayahnya karena itu menjadi basis kekuasaannya, maka pimpinan feodal moderen berorientasi pada apa yang bisa diperoleh selama dia menjabat. Dalam keadaan seperti ini sikap ketaatan dari rakyat justru sangat merugikan rakyat sendiri. (Sebenarnya hal ini merupakan masalah umum. Pembangunan nasional mengandalkan perspektif waktu jangka panjang, dan hal ini nampak dalam Pelita-Pelita. Tetapi niat yang baik ini seringkali disubversi oleh para pejabat — karena banyak pejabat memiliki wawasan yang terbatas pada masa jabatan).
Bagian ini saya memberi judul “pasrah di pedesaan” karena kompleks permasalahan yang di atas secara keseluruhan telah menciptakan suatu sikap terjebak dan tidak berdaya dalam masyarakat pedesaan. Struktur-struktur kuasa dan perekonomian yang tidak adil menciptakan keadaan di mana masyarakat pedesaan terpaksa menghancurkan lingkungannya sendiri hanya untuk memenuhi keperluan hidup yang mendesak. Mereka memang melihatnya semua: kemerosotan tanah, arus generasi muda ke kota, mengalirnya sumber daya alam keluar dari tangan mereka ke dalam tangan pemerintah dan pengusaha; dan mereka menarik kesimpulan yang logis: pedesaan tidak memiliki masa depan. Menanam tanaman umur panjang saja mereka tidak berani, karena tidak tahu siapa yang akan petik hasilnya. Dalam sikap itu kita berhadapan lagi dengan dua aspek dosa yang sudah disinggung di atas: keterasingan, di mana petani terasing dari tanah, dan menyerah pada “kemungkinan yang tidak mungkin”, bahwa suatu negara bisa hidup walaupun ia telah memusnahkan para petani yang memberi makan kepadanya.
Dosa 5: “Modalisme”
Barangkali sudah giliran para pengusaha untuk kena rotan metaforis kita. Praktek-praktek dunia perdagangan yang merusak lingkungan tidak perlu kita ulangi di sini. Yang lebih relevan untuk diskusi kita adalah pandangan dasar yang melatarbelakangi kapitalisme yang mereka anut. Setelah hancurnya komunisme di Russia dan Eropa Timur, maka “injil” kapitalisme pasar bebas merajalela di mana-mana. Di Indonesia sendiri, kata “investor” disamakan dengan “dermawan,” kalau bukan juruselamat. Para pengusaha semakin dianggap sebagai “mesin” yang paling unggul untuk menggerakkan roda pembangunan. Yang menjadi bahan bakar untuk mesin itu adalah modal. Modal dapat diartikan sebagai sumber daya dagang – apa saja yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan komoditi yang kemudian dapat dijual untuk memperoleh keuntungan. Dalam artian itu, bukan hanya dana investasi yang merupakan modal: modal seorang buruh adalah kedua tangannya dan keterampilan yang dia miliki; modal penyanyi adalah suaranya; modal pelacur adalah tubuhnya.
Semakin pola pandang kita terarah kepada perhitungan ekonomis, semakin kita cenderung melihat segala sesuatu sebagai “potensi” menjadi modal. Dengan demikian, pejabat-pejabat pemerintah semakin memandang wilayahnya sebagai sumber daya dagang, atau “modal pembangunan” dalam bahasa yang lebih halus. Dari puncak gunung sampai ke pantai laut, hutan, padang, batu-batu, semuanya dicarikan kesempatan untuk diperdagangkan.
Manusia sendiri tidak lagi mempunyai martabat dalam dirinya sendiri, tapi semakin dipandang sebagai modal juga, dengan bahasa halusnya, “sumber daya manusia.” Bahwa SDM ini berkwalitas atau tidak berkwalitas diukur menurut patokan pemegang modal – apakah dia bisa menjadi buruh yang trampil, rajin, dan taat? Tentu menurut patokan seperti ini orang NTT dinilai kurang “berkwalitas,” karena betapapun tinggi keterampilan perkampungan yang dia miliki, dia tidak pernah mendapat kesempatan mengembangkan keterampilan yang tepat untuk dunia perindustrian.
Tapi bagaimana dengan tolok ukur Pencipta manusia sendiri, yang telah menyatakan segala sesuatu yang diciptakanNya “baik”? Ataukah Allah kurang pandai, sehingga Dia menciptakan manusia yang tidak berkwalitas? Itu yang saya maksudkan dengan modalisme: transvaluasi seluruh bumi manusia menjadi sumber daya dagang, yang hampir memperoleh status sebagai sebuah kosmologi baru: dunia ini dipandang bukan menurut maksud Sang Pencipta, tapi menurut Sang Pengusaha.
Inventaris “dosa” kami akhiri di sini, walaupun belum lengkap. Pada dasarnya, dapat dikatakan bahwa semuanya adalah variasi pada dosa induk yang kita gambarkan dengan bantuan Tillich dan Barth tadi: dalam keadaan terasing dari sumber hidup kita yang sebenarnya, kita menggantungkan diri pada hal-hal yang tidak mungkin memberi hidup, sebab pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan adalah suatu kemungkinan yang tidak mungkin.
- Teologi yang Berwawasan Lingkungan: Sebuah Panggilan untuk Bertobat
Karena kita sudah baryak berbicara tentang dosa, pasti mereka yang sudah terbiasa dengan struktur khotbah-khotbah sudah dapat menerka apa yang berikut: tentu panggilan untuk bertobat. Tapi saya juga mau hati-hati supaya jangan melakukan dosa homiletis yang paling biasa, yaitu berkhotbah pada orang yang tidak hadir. Oleh karena penulis hidup and melayani di lingkungan gereja Protestan (GMIT), maka “dosa” teologis yang patut diperhatikan. Teologia Kristen (khususnya Kristen Protestan yang saya angkat di sini) tidak luput dari keterasingan yang telah kita uraikan panjang lebar di atas. Dalam pembahasan berikut saya mau mengutarakan beberapa aspek dari keterasingan itu, tapi dengan penekanan pada sumber-sumber yang ada dalam tradisi Kristen untuk mengoreksinya.
Hal pertama yang perlu dicatat di sini adalah bahwa agama Kristen mengalami “keterasingan urban” sangat awal dalam proses perkembangannya. Walaupun Yesus dan murid-muridnya cukup dekat dengan alam pedesaan Palestina (dan dunia pertanian cukup nampak dalam perumpamaan-perumpamaan Yesus), namun gereja mula-mula berkembang di lingkungan kota. Dalam tradisi Perjanjian Lama juga ada banyak refleksi tentang bagaimana orang Israel harus hidup ramah dengan lingkungan alam, dan ritus-ritus menyangkut dengan siklus pertanian mendapat tempat yang sentral dalam peribadahan mereka. Tetapi aspek-aspek ini tidak dilanjutkan dalam gereja kuno yang berkembang di kalangan orang non-Yahudi.
Kedua, pengharapan eskatologis dalam gereja kuno bertolak dari asumsi bahwa Yesus Kristus akan segera kembali, dan dunia yang jahat ini akan berlalu, diganti dengan “langit yang baru dan bumi yang baru”. Secara positif, perlu diingat bahwa alam sernesta tercakup dalam lingkup keselamatan ini. Rasul Paulus menulis bahwa “segala makhluk sama-sama mengeluh seperti wanita yang sakit bersalin menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan” (Rm.8.22, 19). Akan tetapi kerinduan untuk dunia baru kurang menunjang suatu pergumulan untuk menyembuhkan dunia yang lama. Yang dikembangkan dalam gereja kuno dan dipelihara terus dalam gereja selanjutnya adalah sebuah “etika sementara” yang hendak membimbing apa yang harus kita lakukan sementara menantikan kedatangan Yesus.
Ketika di kemudian hari pemahaman tentang parousia (kedatangan Yesus kedua kali) terpaksa ditafsirkan kembali, maka baik penantian maupun kedatangan Yesus itu cenderung diinternalisasi. Bukan aspek historis (bahwa Yesus memberi makna dan arah pada sejarah manusia), tapi aspek batiniah yang ditekankan: Yesus datang dalam hati masing-masing orang percaya. Dalam ekspresi yang paling ekstrim, Agustinus mempersempit makna iman pada “Allah dan jiwa, jiwa dan Allah.” Tema itu yang diangkat kembali oleh Luther pada zaman Reformasi dengan patokan sola gratia (hanya oleh anugerah) dari fihak Allah dan sola fide (hanya oleh iman) dari respons manusia. Dunia ciptaan Allah mundur ke belakang sebagai panggung di mana drama agung Jiwa dengan Allah dilakonkan. Patokan sola scriptura pun berfungsi untuk menutup “buku alam” yang selama abad-abad pertengahan menjadi sumber inspirasi dalam keagamaan rakyat. Media visual berupa patung, lukisan, dsb. kemudian dilarang, sehingga tinggal jiwa sendirian dengan Firman Tuhan. Memang gambaran ini menghampiri sebuah karikatur, tapi sulit disangkali bahwa teologi Protestan yang mengikuti Luther nyaris menjadi semacam psikologi agama.
Tradisi Calvinis sedikit lebih luas dalam cakrawalanya, tapi barangkali lebih gawat dalam dampaknya. Dengan tidak melepaskan perspektif dasar dari Luther, Calvin menempatkannya dalam konteks sebuah teologi perjanjian. Perspektif ini memberi fokus pada perjuangan umat perjanjian untuk mengembangkan suatu cara hidup bersama yang Kristiani di tengah dunia. Namun dunia itu tetaplah sebagai panggung untuk sejarah keselamatan, suatu keselamatan yang terbatas pada mereka yang termasuk dalam umat pilihan Allah. Ajaran Calvin mengenai predestinasi yang sebenarnya bertujuan untuk memperkokoh prinsip sola gratia, pada akhirnya mempunyai akibat samping bahwa dunia yang berada di luar umat perjanjian merupakan ampas saja.
Dari satu segi, penyempitan ini telah banyak memperkaya tradisi Kristen dalam hal pemahaman tentang dinamika iman dan pengembangan suatu eklesiologi yang dinamis pula. Tapi dari segi yang lain, ada yang kehilangan: teologi Protestan tentang penciptaan cenderung direduksi pada aspek providentia. Alam semesta tidak diberi arti dan penghargaan dalam dirinya sendiri, ataupun sebagai cerminan kemuliaan Allah; peranannya hampir terbatas pada semacam gudang untuk memenuhi kebutuhan manusia selama kita masih di dunia. Peranan manusia sebagai mandataris Allah dalam kitab Kejadian ditafsirkan secara berlebih-lebihan, sampai manusia yang seharusnya berstatus sebagai tukang kebun dalam taman Allah merampas hak dan menjadi tuan tanah. Perspektif ini kemudian dilestarikan sebagai ideologi dasar yang melandasi eksploitasi alam (dan manusia non-Kristen) oleh kapitalisme dan kolonialisme.
Dapat disimpulkan bahwa sampai dengan pertengahan abad ini, tema utama dalam sebagian besar tradisi Protestan – dan sampai sekarang dalam orientasi agama populer orang Protestan – adalah bahwa jiwa diselamatkan dari dunia yang binasa. Menurut sebagian besar teolog Protestan kontemporer, perspektif ini sudah dianggap ajaran yang sesat. Barangkali krisis ekologi yang membuat kita sadar kembali. Literatur tentang teologi penciptaan dan teologi yang berwawasan ekologis dalam dua puluh tahun terakhir sangat membengkak, dan terlalu luas untuk kita ringkaskan di sini. Hanya beberapa pokok utama akan kami kemukakan sebagai penutup, sekaligus jalan ke depan: Apa wajahnya sebuah “teologi yang berwawasan lingkungan”?
- Segenap dunia ciptaan Allah yang hendak diselamatkan. (band. a.l. Yes.11.1-9; 35.1-2; Roma 8.18-21; Wahyu 21.1-5)
Kosmogoni (ceritera tentang penciptaan alam semesta) Yudeo-Kristen mengandung satu landasan etis yang menjadi titik tolak bagi semua pertimbangan etis yang lain: apa yang Allah ciptakan adalah baik. Kebaikan alam semesta dinyatakan Allah pada setiap langkah penciptaanNya, bukan hanya pada saat manusia diciptakan. Patokan ini membatasi segala pertimbangan etis yang bersifat antroposentris atau utiliter. Bukan Allah menyatakan segala sesuatu itu “berguna untuk manusia,” melainkan baik adanya, sebelum dan terlepas dari kehadiran manusia.
Bahwa alam semesta turut menderita akibat dosa manusia menjadi tema di sepanjang Perjanjian Lama (Kej. 3.17: “Terkutuklah tanah karena engkau.” Yes.24.19; 34.8-13). Sebaliknya, kalau manusia diselamatkan dari dosanya, maka alam semesta turut sembuh dari luka-lukanya dan setiap makhluk berdamai satu dengan yang lain:
“Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya …Tidak ada yang akan berbuat jahat atau yang berlaku busuk di seluruh gunungKu yang kudus, sebab seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan Tuhan (Yes. 11.6,9).
Pandangan keselamatan Kristen yang lebih kristosentris dari Kristus sendiri telah nyaris menghilangkan aspek yang kosmis ini dari makna keselamatan. Penegakan kedaulatan/kerajaan Allah atas segenap bumi yang Yesus beritakan cenderung mundur ke belakang, diganti oleh kematian dan kebangkitan Kristus sebagai fokus keselamatan. Kedua hal ini perlu diutuhkan kembali kalau kita mau upayakan suatu pemahaman tentang keselamatan yang setia pada keseluruhan Injil Yesus Kristus. Kemuliaan Allah Sang Pencipta jangan dikerdilkan oleh Allah Sang Penebus, sehingga kita mempunyai suatu Juruselamat yang hanya mampu menjangkau para pengikutnya dan bukan segenap bumi yang Allah hendak selamatkan.
Permasalahan seperti ini perlu digumuli menuju suatu kristologi yang memadai dari sudut pandang teologi penciptaan. Sebenarnya bukan kristologi saja tapi keseluruhan teologi Kristen perlu ditransformasikan kalau kita mau konsekwen dengan prinsip dasar: alam semesta adalah baik, dan Tuhan Allah mau menyelamatkannya.
- Iman difahami sebagai kesetiaan pada Allah dan oleh karena itu, kepada dunia ciptaanNya.
Sesuai dengan pemahaman protestantisme populer bahwa manusia diselamatkan secara perorangan dari dunia yang jahat dan binasa, maka iman dipahami sebagai keyakinan akan kuasa Yesus Kristus sebagai Juruselamat pribadi yang dapat meluputkan kita dari api neraka. Kalau dilihat secara keseluruhan, pemahaman ini justru tidak Alkitabiah (walaupun bisa didukung melalui pencopotan ayat-ayat tertentu) dan merupakan penghinaan terhadap Allah sebagai Pencipta.
Kalau demikian, konsepsi apakah tentang iman yang memadai bagi suatu teologi yang “berwawasan lingkungan”? Untuk itu kita kembali pada paham tentang iman yang berlaku pada zaman dan lingkungan Yesus sendiri-sebelum diYunanikan dan diurbanisasikan dalam gereja mula-mula. Dalam konteks ini, barangkali kata yang paling tepat untuk menterjemahkan “iman” dalam bahasa Ibrani adalah hesed. Hesed berarti “kasih setia” atau secara lebih teknis dalam teologi Perjanjian Lama, “kesetiaan dalam perjanjian.” Hesed itu pertama-tama ditunjukkan oleh Allah sendiri, di mana walaupun Israel tidak menepati janjinya pada Tuhan, namun Allah tetap setia memelihara hubungannya dengan mereka. Antar manusia, hesed dapat diartikan sebagai “kesetiakawanan” atau dalam bahasa yang sekarang beredar, “solideritas”. Hesed berarti kita bersedia berkorban bagi kepentingan sesama. Dalam kalangan Israel kuno, kesetiaan itu dirumuskan dalam hukum Taurat sebagai sejumlah kewajiban untuk memelihara alam semesta sebagai milik Tuhan dan juga untuk memelihara sesama orang Israel yang jatuh dalam kesusahan dan kemelaratan: tanah harus diberi istirahat sama seperti manusia (Im. 25), induk margasatwa tidak boleh dibunuh bersama anaknya (Ul. 22.6-7), seseorang yang jatuh dalam perbudakan harus ditebus, dsb.
Dalam hubungan dengan tema kita, maka iman/hesed dapat dipahami sebagai kesetiaan kepada Allah Sang Pencipta, dan oleh karena itu, solideritas dengan dunia ciptaanNya. Paham seperti ini pernah dikembangkan oleh Josiah Royce, seorang filsuf Kristen pada abad yang lalu. Royce memandang iman sebagai “loyalitas kepada Komunitas Universal” yang mencakup seluruh makhluk hidup. Sebagai konsekwensi, maka kebaikan seluruh alam semesta adalah cakrawala etis utama yang merelatifisir segala kepentingan bangsa, etnis, atau pribadi. Menurut paham seperti ini, orang percaya tidak mungkin mau selamat sendiri dan menganggap sesama makhluk sebagai alat untuk dipakai atau ampas untuk dibuang. Sama tidak mungkin kalau kita mencintai Tuhan dan merusak ciptaanNya: entah kita mencintai dua-dua atau membenci dua-dua (memang terbalik dari hubungan Allah dan Mammon, Mat. 6.24).
Menurut saya, itulah juga iman yang ditunjukkan oleh Yesus Kristus sendiri. Dan bagi mereka yang terganggu karena Yesus sebagai Juruselamat tidak disinggung da1am rumusan yang di atas, saya hanya bisa menjawab bahwa iman kepada Yesus paling sedikit harus berpedoman pada iman seperti Yesus miliki. Barangkali keberatan yang lain akan datang dari mereka yang peka terhadap dilema pembangunan, di mana kadangkala lingkungan alam “terpaksa” dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang mendesak. “Mana yang lebih penting, manusia atau sebatang pohon?” katanya. Terhadap itu, saya cenderung menjawab secara pendek: “Kalau pohon dikorbankan demi keselamatan anda, maka pohon itu adalah Kristus bagimu. Hormatilah dia.” Namun, karena permasalahan ini berkaitan langsung dengan hubungan di antara ekonomi dan ekologi, sebaiknya diuraikan lebih lanjut dalam poin yang berikut, dan yang terakhir.
- Penatalayanan dalam “Ekonomi Agung “
Ada persepsi umum, bukan hanya di Indonesia tapi di Amerika juga, bahwa pengembangan ekonomi dan kelestarian lingkungan merupakan dua hal yang saling bertentangan. Pada bagian pertama di atas kita telah memberi beberapa alasan mengapa persepsi ini merupakan suatu “kemungkinan yang tidak mungkin,” antara lain karena lingkungan alam justru merupakan basis dari semua kegiatan ekonomis. Kalau basis itu dieksploitasi secara sewenang-wenang, maka itu seperti mencuri batu dari fonderen untuk membangun tembok dalam sebuah bangunan— hal yang menjadi resep untuk pembangunan yang mubasir. Sama halnya, kalau industri kayu memusnahkan hutan, itu seperti membunuh diri perlahan-lahan. Kalau hanya industri kayu yang rugi, barangkali kita tidak terlalu prihatin, tapi karena hutan adalah paru-paru dan dapur air bagi seluruh bumi, maka sebenarnya setiap makhluk hidup yang dirugikan.
Kalau kita mau menghindari kontradiksi seperti ini, kita perlu suatu konsepsi yang baru tentang pembangunan, dan tentang ekonomi itu sendiri yang mau dibangun. Khususnya, ekonomi dan ekologi harus dilihat dalam kebersamaannya. Seorang petani/filsuf/penyair Amerika, Wendell Berry, telah memberi nama “Ekonomi Agung” pada kesatuan ekonomi/ekologi seperti ini. Menurut Berry, patokan-patokan ekonomis yang lazim seperti kurs valuta asing, bursa saham, perimbangan impor/ekspor, ataupun pendapatan per kapita sangat terbatas, malahan tidak mampu mengukur keadaan ekonomi global yang sebenarnya. Patokan-patokan ini sangat berat sebelah pada sektor perindustrian dan kegiatan pasar, sedangkan kegiatan ekonomis terbesar secara global terletak pada sektor pertanian, kalau kita pakai manusia dan bukan dollar sebagai patokan. Keadaan para petani nyaris lolos dari perhatian para ekonom kecuali sebagai sumber tenaga kerja yang murah, padahal merekalah yang memberi makan pada kita semua.
Keadaan “sumber daya alam” pun berada di pinggiran perhatian, kecuali terjadi krisis dalam supply bahan baku perindustrian. Pada tahun 1973 terjadi “krisis energi” di dunia barat berhubungan dengan harga dan kesediaan minyak bumi (kepentingan industri), sedangkan krisis energi yang lebih parah bagi mayoritas manusia adalah krisis kayu api, yang jarang dipersoalkan oleh para ekonom. Dari perspektif Berry, ilmu ekonomi tradisional bertolak pada asumsi bahwa bumi akan terus-menerus menyediakan makanan dan bahan baku dan terus-menerus juga menyerap sampah perindustrian dalam jumlah yang tak terbatas. Pandangan seperti ini sangat naif.
Guna mencari suatu pemahaman yang dapat mengutuhkan kembali ekonomi dengan ekologi, tidak salah kalau kita kembali pada akar kedua kata ini dalam bahasa Yunani. Oikos berarti “rumah” atau “rumah tangga”. Dari situ diperoleh oikonomia sebagai administrasi dan penatalayanan dan oikonomos sebagai pengurus atau juru kunci, dan oikodome sebagai pembangunan sebuah rumah atau bangunan yang lain. Ekologi memang bukan kata yang lazim dalam bahasa Yunani, melainkan merupakan kata buatan untuk menamakan bidang studi yang membahas relasi antara semua makhluk hidup dengan dan dalam lingkungannya (lingkungan ibarat sebuah rumah bagi semua makhluk).
Yang menarik bagi saya ialah bahwa secara etimologis ekonomi dan ekologi sangat berhubungan erat. Dapat dikatakan bahwa sebenarnya ilmu ekonomi merupakan sub-bagian dari ekologi, yang secara khusus membahas tentang interaksi antar manusia sebagaimana ia telah mengelola dan merobah lingkungannya demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Dilihat dari sudut pandang ini, maka ekonomi tidak mungkin dipertentangkan dengan ekologi, kecuali secara “kacang lupa kulit”.
Namun secara teologis ada alasan yang lebih mendasar untuk memandang ekonomi dan ekologi secara bersama. Dalam Perjanjian Baru, khususnya karya Rasul Paulus, suatu jaringan makna dikembangkan di sekitar kata “oikos” yang mengajak kita untuk memandang dunia ini sebagai rumah Allah, manusia sebagai isi rumah tangga Allah, dengan Kristus sebagai kepala rumah tangga, dan alam semesta sebagai kebun Allah. Kata oikonomia (Ef. 1.10, a.l.) dipahami dalam artian yang paling luas sebagai rencana keselamatan Allah bagi seluruh dunia ciptaanNya, “sebagai [rencana] persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan dalam Kristus sebagai kepala segala sesuatu, baik di sorga maupun di bumi.” (band. Ef. 3.9).
Manusia sendiri dipanggil menjadi oikonomos, “pengurus yang baik dari kasih karunia Allah” (I Petrus 4,10). Dalam penafsiran John Wyclif, salah seorang perintis Reformasi, Allah telah meminjamkan kedaulatan kepada kita atas bumi ini, tapi bukan sebagai milik kita: tidaklah tepat kalau manusia disebut ‘tuan’, melainkan sebagai steward [oikonomos] daripada Tuhan yang Maha Agung. Jelaslah bahwa setiap makhluk adalah hamba Tuhan yang diberikan apa saja yang ada padanya oleh kasih karunia Allah untuk dipelihara.
Sebagai oikonomos, manusia adalah penggarap dan bukan pemilik. Ia adalah juru kunci, tukang kebun, dan pembantu rumah tangga Allah. Semua dipanggil untuk bekerja sama demi oikodome, yaitu pembangunan, dalam arti kesejahteraan, kemakmuran dan kelestarian bagi semua yang tinggal di dalam rumah Allah. Yang hendak dibangun itu tidak kurang dari oikomene, yaitu seluruh dunia yang dihuni manusia bersama makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain.
Di sini jelas bahwa bukan hanya kepentingan manusia yang menjadi obyek pembangunan melainkan “segala sesuatu, baik di sorga maupun di bumi.” Perkataan Yesus dalam Yohanes 10 barangkali menangkap maksudnya: “supaya mereka memperoleh hidup, dan memperolehnya dalam segala kelimpahan.” Sebagai contoh dari apa yang dimaksudkan di sini, saya teringat akan seorang teman, seorang petani dari pedesaan Timor. Dia mempunyai suatu kebiasaan yang aneh menurut orang banyak: kalau dia makan sesuatu yang berbiji atau jalan ke mana saja dan menemukan bibit, dia mengambilnya dan taruh dalam saku. Makan di rumah orang atau jalan-jalan di pasar sama saja. Bibitnya dibawa pulang dan ditanam, entah ada maksud untuk dimakan atau dijual atau tidak. Kalau ditanya, dia menjawab, “Ya, saya hanya suka melihat tanaman bertumbuh.” Burung merpati juga dipeliharanya, walaupun jarang dimakan. Alasannya: “Ya, saya suka melihat burung terbang.”
Mungkin Allah begitu juga. Berkat Allah dalam penciptaan untuk “berkembang biak” diberikan bukan hanya kepada manusia, tapi kepada seluruh makhluk hidup. Allah tidak memerlukan apa-apa dari dunia, kecuali untuk menikmati “hidup dalam segala kelimpahan” yang dihadiahkanNya pada kita semua. Dan di situlah perbedaan oikonomia Allah dan ekonomi manusia yang sekarang. Manusia mau membangun hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, sedangkan Allah dalam anugerahNya mau membangun seluruh ciptaanNya.
Yang dilontarkan di sini bukan sekedar permainan kata. Menurut saya khiasan “ekonomi Allah” ini merangkul sejumlah tema yang sentral dalam tradisi Kristen, dan memberi suatu jalan kemuka dalam upaya teologis untuk mengutuhkian kembali paham kita tentang Allah sebagai Pencipta dan Allah sebagai Penebus dari ciptaanNya. Paling sedikit, kita tidak lagi membatasi oikonomia (penatalayanan) pada soal keuangan gereja. Arus pemikiran ini menuntut suatu dialog yang baru di antara teologia, ilmu ekonomi, dan ilmu ekologi. Perjalanan kita masih jauh kalau kita mau mengupayakan suatu teologi yang setia pada pengakuan kita yang semula:
Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinyadan dunia serta yang diam di dalamnya .
* Ceramah pada Seminar “Pembangunan yang Berwawasan Lingkungan,” Fakultas Theologia, Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang, 11 April 1993, kemudian diterbitkan dalam Agama-agama kerabat dalam semesta (1994, Ende: Penerbit Nusa Indah).