“BERSAMA KRISTUS KITA HIDUPI SPIRITUALITAS UGAHARI
DEMI KEADILAN TERHADAP SESAMA DAN ALAM LINGKUNGAN”
(band. Matius 6:11 dan 1 Korintus 8:13)
Sidang Majelis Sinode GMIT ke-41, Februari 2017 yang lalu, memutuskan bahwa tema pelayanan GMIT tahun 2018 adalah “Bersama Kristus, Kita Hidupi Spiritualitas Ugahari demi Keadilan terhadap Sesama dan Alam Lingkungan” (band.Matius 6:11 dan 1 Korintus 8:13).
Ada 3 pokok pikiran penting dalam sub tema ini, yaitu: spiritualitas ugahari, keadilan sosial, dan keadilan ekologis. Ketiga pokok pikiran ini diikat oleh pemahaman bahwa nilai-nilai penting itu berasal ajaran dan keteladan Yesus Kristus, Tuhan dan Kepala Gereja. Itu sebabnya dikatakan “Bersama Kristus Kita Hidupi . . .”
- Spiritualitas Ugahari: Belajar Dari dan Menjalaninya Bersama Kristus
Apa itu ugahari? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ugahari berarti: sedang, pertengahan, sederhana, bersahaja, cukup. Selanjutnya keugaharian berarti kesederhanaan atau kesahajaan. Hidup berugahari artinya hidup sederhana, sedang-sedang saja, tidak berlebihan, tidak berkekurangan, ada di pertengahan: tidak miskin melarat, tidak juga menumpuk kekayaan berlebihan. Konsep ini juga berarti menjauhkan diri dari etos hidup yang konsumtif, pamer kemewahan dan kekuasaan, boros, eksploitatif, instan, dan tidak ramah lingkungan.
Komitmen berugahari bagi umat Kristiani lahir dari kesadaran iman bahwa rahmat Tuhan, melalui alam ciptaan ini, sebenarnya cukup untuk semua manusia dan segenap makhluk. Jika manusia tidak serakah dan bersedia berbagi dengan sesama maka tak ada orang yang terlalu kaya dan terlalu miskin; alam pun dapat tetap lestari. Spiritualitas ugahari karena itu merupakan sikap batin dan tindakan hidup yang mengendalikan diri dan hidup sederhana, dalam semangat kecukupan, bersedia berbagi dengan orang lain agar semua mengalami kehidupan.
Ada banyak teks Alkitab dan tradisi iman sepanjang sejarah gereja yang dapat dirujuk untuk mencari pendasaran spiritualitas ini. Namun secara khusus untuk tema pelayanan 2018 ada dua teks Perjanjian Baru (PB) yang dirujuk. Yang pertama adalah dalam teks doa yang Tuhan Yesus ajarkan kepada murid-muridNya: “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (Mat.6:11). τὸν ἄρτον ἡμῶν (Ton arton hemon, artinya makanan kami). Kata artos menunjuk kepada roti atau makanan yang biasa dimakan setiap hari. Yesus mengajarkan kita meminta makanan sehari-hari secara komunal. Itu berarti kita tidak hanya mengejar kebutuhan hidup sendiri, tetapi kebutuhan hidup orang lain juga. Kata hemon menekankan makna kebersamaan hidup sebagai famelia Dei (keluarga Allah). Makan bersama dalam keluarga merupakan momen solidaritas, saling berbagi cerita, saling mendorong dan menguatkan. Pada pihak yang lain dalam arti yang lebih luas mengingatkan kita tentang tanggung jawab bersama didalam mengelola berkat dan kemurahan Tuhan. Jikalau dikaitkan dengan etika Injil Matius yang menekankan istilah keadilan dan kebenaran Allah (dikaiosune) maka ungkapan “makanan kami” yang dimaksudkan disini adalah makanan yang diperoleh dengan adil dan benar.
Yesus mengajarkan orang percaya memohon makanan yang dihasilkan dari usaha dan kerja keras. Kita tidak boleh memakan makanan yang menjadi hak orang lain, roti hasil tipuan (Ams. 20:17), ataupun makanan kemalasan (Ams. 31:27), melainkan makanan yang diperoleh dengan jujur dan dari hasil keringat sendiri.
Setiap kali kita mengucapkan bagian doa yang Yesus ajarkan ini: “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”, kita berkomitmen untuk hidup sederhana dan memelihara semangat berbagi dan solidaritas, terutama dengan mereka yang paling lemah dalam hidup bersama.
Berugahari atau hidup bersahaja sebenarnya adalah juga sebuah prinsip Reformasi Gereja. Marthen Luther menganjurkan hidup sederhana. Dia mengecam para klerus pada masanya yang memakai gereja untuk menimbun kekayaan. Sangat jelas, bahwa corak reformasi Luther berbeda dengan sikap anti dunia, juga tidak sama dengan para pemimpin gereja waktu itu yang mengumpulkan kekayaan. Corak Reformasi Luther menekankan 3 disiplin rohani, yakni kesederhanaan, integritas, dan kesetaraan. Dalam komunitas sahabat Kristus harta milik/kekayaan dianggap tidak penting.
Di lingkup ekumenes nasional dan global, seperti Persekutuan Gereja-Gereja Se-Indonesia (PGI), Persekutuan Gereja Reformasi Sedunia (WCRC), maupun Dewan Gereja Sedunia (WCC), kesadaran bersama ini sangat ditekankan. Spiritualitas ugahari dipahami sebagai suatu spiritualitas alternatif yang menuntut perubahan struktur sosial, ekonomi, politik, berhadapan dengan berbagai macam krisis kemanusiaan dan krisis ekologi. Wacana spiritualitas ugahari muncul pada Sidang WCRC tahun 2004 untuk menggarisbawahi perlawanan gereja terhadap sistim ekonomi global yang menindas kaum miskin, orang lemah dan bumi. Dengan semangat yang sama, pada tahun 2015 WCC menyampaikan kritik tajam terhadap globalisasi ekonomi, kuasa dan dominasi. Sebagaimana dokuman Alternative Globalization Addresing People and Earth (AGAPE) tahun 2005, visi oikumenis WCC adalah kehidupan bersama manusia, alam dan relasi dengan Allah.
Dengan spiritualitas ugahari maka gereja tidak akan membiarkan sumber daya alam dikuasai dan dinikmati oleh sebagian kecil kalangan pemodal, menentang segala bentuk kerakusan/keserakahan terhadap sesama dan alam.
Tuhan Yesus mengajarkan orang percaya untuk meminta makanan secukupnya dan tidak berlebih-lebihan. Itu berarti orang percaya di dalam kasih dan pemeliharaan Allah tidak perlu merasa khawatir akan hari besok, tetapi senantiasa mengandalkan pemeliharaan Tuhan dari sehari ke sehari (band. Mat. 6:34). Orang atau pun gereja, sebagai persekutuan, tidak perlu menimbun “makanan dan kekayaan” (menimbun uang kolekte di berbagai bank) karena kekuatiran hari esok.
- Keadilan Sosial
Dalam teks 2 Korintus 8:13 Rasul Paulus bicara tentang keseimbangan dalam memikul beban pelayanan yang diberikan Tuhan kepada setiap orang percaya. Bagi Rasul Paulus pertobatan jemaat Korintus tidak hanya menyangkut perilaku etis moral perorangan. Akan tetapi pertobatan itu mestilah juga berwujud dalam hubungan-hubungan sosial dan komunal yang saling berbagi, tolong-menolong sebagai suatu persekutuan orang percaya (gereja). Jemaat-jemaat di Makedonia memberi keteladanan bahwa bukan kelebihan atau kelimpahan harta melainkan kemurahan hati yang dilandasi iman bahwa kehidupan dan keselamatan mereka hanya bisa terjadi karena anugerah Allah, sebab mereka sendiri sedang menderita berbagai kesulitan (Kis. 17:1-9; 1Tes. 2:14).
Gereja tidak hanya berkata-kata dalam nyanyian (liturgia) dan kesaksian (marturia), tetapi gereja juga mampu melakukan tindakan-tindakan kasih sebagai wujud mengikuti teladan Kristus di dunia ini (diakonia) agar terjadi keseimbangan, yaitu tidak berlebihan dan tidak kekurangan (oikonomia). Pengertian ini tidak hanya agar orang percaya secara perorang saling melengkapi, tetapi juga sebagai suatu komunitas orang percaya (gereja) yang memiliki sikap hati untuk saling membantu dan saling melengkapi di antara jemaat-jemaat (2 Korintus 8:13-15).
Konsep kunci dalam teks 2 Korintus 8:13 adalah “keseimbangan.” Konsep ini menjelaskan dua istilah yang saling bertolak belakang yaitu a;nesij (anesis artinya keringanan, keadaan bisa bersantai atau berpangku tangan) dan qli/yij (thlipsis artinya beban, penderitaan, keadaan sukar, menyusahkan diri).
Bagi Rasul Paulus, bantuan jemaat Korintus kepada jemaat Yerusalem tidak dalam pengertian orang-orang Kudus di Yerusalem mendapat keringanan alias bisa bersantai dan berpangku tangan, karena bantuan toh akan datang. Bukan juga dalam pengertian memberi beban kepada orang lain dan mengorbankannya (orang-orang Korintus) demi “kenyamanan orang lain (orang-orang kudus di Yerusalem). Akan tetapi persembahan itu dipahami dalam pengertian ivso,thj (isotetos artinya keseimbangan), suatu perlakuan yang adil dan benar sebagai suatu sikap etis moral. Itu berarti persembahan bukan saja harus ada sebagai suatu pertangungjawaban etis moral kepada terhadap orang yang memberi, tetapi juga lebih dalam dari pada itu adalah harus ada juga pertanggungjawaban iman kepada Tuhan.
Jikalau hal ini tidak terjadi, artinya tidak ada keseimbangan, maka kita tidak berlaku adil kepada satu dengan yang lain. Ketidakseimbangan ini akan membuat orang percaya terjebak ke dalam “skizophrenia teologi”. Pada satu pihak gereja pandai berbicara tentang berbagai doktrin etis moral, tetapi lemah dalam implementasi karena ia justru mempraktekan doktrin lain yang bertentangan dengan hal itu. Dalam ucapan orang percaya mengaku melayani Allah, tetapi dalam praktek melayani Mamon dan diri sendiri. Inilah sikap munafik yang dikritis Yesus, bahwa orang tidak melayani dua tuan (Mat. 6:24).
Sidang Raya PGI ke 16 tahun 2014, mengangkat “spritualitas ugahari” untuk mendorong peran gereja dalam menanggulangi kemiskinan, ketidakadilan, radikalisme dan kerusakan lingkungan. Sebagai implementasi dari tugas panggilan gereja menghadapi realitas dan gelombang neo-liberalisme yg mempengaruhi nilai-nilai kehidupan, maka berdasarkan dokumen Pokok Tugas dan Panggilan Bersama (PTPB) Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) PGI tahun 2015 di Malinau menerjemahkan spiritualitas ugahari dengan penekanan pada aspek “merasa cukup untuk semua”. Gereja menolak kultur dan struktur ekonomi global yang ekspoitatif yang menggunakan kemiskinan sebagai alasan mendegradasi martabat kemanusiaan (misalnya melalui human trafficking) dan melebarkan jurang ketidak-adilan antar kelompok masyarakat.
Sidang MPL 2016 di Parapat menekankan “tumbuh bersama dalam keberagaman”. Pikiran pokok persidangan ini mengaitkan keugaharian dan keragaman. Masyarakat Indonesia makin intens mengalami kemajemukan. Keragaman telah menjadi ciri keluarga, jemaat, gereja/denominasi, agama-agama, dan masyarakat Indonesia. Kegagalan menyikapi keragaman secara baik akan melahirkan disintegrasi atau perpecahan. Karena itu perlu ada kesediaan untuk terbuka dan menghargai perbedaan serta berdialog dan belajar dari perbedaan yang ada. Keterbukaan untuk menghargai pendapat dan kemampuan berdialog itu perlu dikembangkan antargenerasi, antarkeluarga, antarjemaat, antardenominasi/gereja dan antaragama. Dalam semangat keugaharian dan keragaman, gereja-gereja di Indonesia dan masyarakat bangsa ini perlu belajar menghindari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan verbal, dalam penyelesaian perbedaan pendapat yang acap kali menyebabkan konflik.
- Keadilan Ekologis
Yohanis 3:16 menegaskan bahwa karya penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus, PuteraNya, tidaklah dimaksudkan untuk manusia saja, melainkan untuk seisi dunia. Karya penyelamatan ini melingkupi segenap ciptaan.
Berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, gereja mempunyai peran pedagogis dan profetis. Pedagogis berarti mendidik umat untuk mencintai lingkungan hidup, melalui tindakan nyata seperti hemat energi (memadamkan lampu listrik dan televisi serta pendingin ruangan yang tidak digunakan), tidak membuang sampah semabarangan, menanam air, serta menanam dan merawat pohon yang ditanam sampai jadi. Profetis berarti gereja tidak bersikap diam melainkan bersuara terhadap ketidak adilan ekologis, yaitu eksploitasi alam yang berlebihan, serta berkomitmen memperhatikan aspek ekologi dan keberlanjutannya. Gereja harus berani menyatakan bahwa alam ini, milik Tuhan dan bukan milik orang tertentu atau perusahaan tertentu. Dengan demikian gereja menolak pratek monopoli atas sumber daya alam.
Sidang Sinode GMIT ke-33 di Rote Ndao menegaskan pentingnya kesadaran dan aksi iman untuk merawat alam di mana GMIT berada. Sidang itu memberi tugas bagi segenap unsur gereja ini untuk bergerak bersama bagi gerakan menanam air, hemat air, dan panen air.
Sidang MPL tahun 2017 di Salatiga menekankan pada “keadilan agraria untuk semua”. Dapat dikatakan bahwa “spiritualitas ugahari” tidak memberi ruang bagi konsumerisme, hedonisme, keserakahan, perampasan tanah, perusakan hutan, dan eksploitasi alam secara massif. Sidang ini mendorong pemerintah untuk bersikap tegas meninjau kembali ijin kepada para investor yang terbukti melakukan ketidakadilan terhadap masyarakat dan kekerasan terhadap alam.
Penutup
Sub tema ini menjadi sebuah tantangan bagi kita. Walaupun keugaharian itu indah, tapi dalam konteks hari ini, melakukannya tidak serta merta menjadi mudah. Keugaharian itu berarti tidak berpesta-pora, tapi siapa yang berani tidak buat pesta? Dalam masyarakat ada pandangan tentang kesederhanaan sebagai tanda miskin, tidak laku, tidak berdaya. Spiritualitas ugahari ini justeru melawan budaya kemewahan. Pertanyaannya adalah beranikah kita menghidupi spiritualitas ugahari?
Sub-tema pelayanan GMIT 2018 ini menjadi sebuah komitmen penting: tidak sekedar untuk dipasang sebagai spanduk di latar belakang mimbar-mimbar gereja sepanjang tahun 2018, atau dipahami secara kognitif melalui pemahaman Alkitab dan khotbah semata. Tema ini mesti dihidupi, yaitu dipraktekkan dalam hidup sehari-hari. Tema ini juga akan terjabar dalam pemberitaan dan kesaksian hidup warga GMIT dan para pelayan gereja ini sepanjang tahun 2018. Dengan begitu tema ini diharapkan terwujud menjadi gaya hidup dan ciri beriman warga GMIT dari waktu ke waktu. Spiritualitas ugahari mesti dimulai dari para pendeta.
(Dirangkum oleh: Pdt. Mery Kolimon, terima kasih Pdt. Mesakh Dethan, Pdt. Dina Dethan, Pdt. Non Lintje Pellu, Pdt. John Campbell-Nelson utk sumbangan pikirannya dan Pdt. Nicolas Lumba Kaana yg telah membuat intisari pikiran para narasumber)
Top of Form