Khotbah Pemakaman
(Matius 5:6 dan Yohanes 18: 37-38)
Oleh: Pdt. Dr. John Campbell-Nelson
Lihatlah sekelilingmu, siapa yang hadir hari ini. Mahasiswa teologi, teman-teman pendeta, keluarga Ari dan anak-anak yang kita cintai, jaringan orang Sabu yang luar biasa, reuni angkatan ’85 dan Jemaat Syalom.
Kita semua ada di sini karena dua alasan. Kita bersaudara dalam Kristus dan salah satu saudara kita telah pergi. Saudara kita Ari memang dulu dalam tangan Tuhan, tapi masih juga dalam tangan kita. Sekarang kita lepas tangan dan serahkan sepenuhnya ke dalam tangan Tuhan.
Setiap pengikut Kristus adalah sebuah kesaksian. Riwayat hidup kita masing-masing adalah sebuah kesaksian terhadap anugerah Allah, terhadap kasih Yesus Kristus. Dan pada saat seperti ini kita perlu membaca riwayat kesaksian Pak Ari.
Saya pikir tidak sampai dua menit untuk dapat perikop yang saya baca tadi. Ungkapan bahagia itu. Karena bagi saya itu natsnya yang menggambarkan Ari yang saya kenal. Lapar dan haus akan kebenaran. Saya ingat waktu dia masih mahasiswa, dia salah satu dari mungkin 3 atau 4 mahasiswa yang pernah saya dapat dalam 30 tahun mengajar yang kalau suruh dia baca buku ini bab ini dia akan baca lebih dan minta tambah. Kawan lain akan mengomel karena alasan terlalu panjang atau terlalu banyak tugas, nanti bagi tugas di antara teman-teman, masing-masing buat ringkasan baru kumpul. Tapi Ari benar-benar mencintai pengetahuan. Punya semangat belajar. Dia benar-benar seorang cendekiawan. Kemudian waktu kami mengajar bersama dan mau bagi tugas, saya menemukan bahwa kalau mau dapat yang terbaik dari Ari, minta dia kasi kuliah apa yang dia belum tahu apa-apa, karena dia dengan penuh semangat akan meneliti, membaca, merenungkan dan akan memberi pikiran yang segar-segar. Itu yang namanya lapar dan haus. Kadang-kadang intensitasnya membuat kita hampir takut. Bahkan bisa dikatakan melebihi lapar dan haus. Ada semacam semangat yang dalam Perjanjian Lama disebut Khinah biasa diterjemahkan sebagai “cemburu”. Kecemburuan Tuhan terhadap Israel.
Semangat untuk membela sebuah kebenaran apapun yang terjadi. Dan kadang-kadang semangat biasanya itu datang dari hati yang hangat. Menyala sampai membakar. Beberapa tahun yang lalu semangat itu menyala sampai membakar dan seorang mahasiswa yang memang melakukan kesalahan yang cukup berat menjadi batu untuk pecahkan meja plastik di atas kepalanya. Ari pukul dia dengan meja sampai patah. Kita memberi sanksi adminitratif, meletakkan jabatan dalam fakultas dan selama dua tahun dia dibawah disiplin. Dia jalani tanpa mengomel, tanpa cengeng, tanpa apa-apa. Memang berat bagi dia. Kita sama-sama sedih, tapi dia jalani secara terhormat. Dan diujungnya dia berdiri di depan semua mahasiswa dan minta maaf. Kita ramai-ramai menangis, baku peluk dan selesai.
Itu orang yang benar-benar mencintai kebenaran lebih dari harga dirinya yang bisa disembunyikan dengan berbagai cara.
Mengasihi kebenaran lebih dari kenyamanan dan kebahagiaan sendiri adalah pelajaran yang pertama yang saya mau kita pegang dari kitab Ari Kalemudji.
Itu perlu dibandingkan dengan pilatus. Pilatus tidak lapar dan haus akan kebenaran tapi dia berhadapan dengan sebuah dilema. Yesus dibawa pada dia untuk diadili. Nah, selayaknya sebuah pengadilan mencari apa yang benar. Apakah benar Yesus salah atau tidak. Tapi itu bukan tujuan Pilatus. Dia lagi menimbang apakah lepaskan Yesus supaya dia punya pengikut jangan ribut dan jangan bikin masalah, ataukah menghukum mati Yesus supaya kelompok pimpinan bait suci, pimpinan Yahudi, Herodes dan sebagainya supaya mereka puas. Bukan kebenaran yang dicari tapi keamanan untuk memelihara dia punya kekuasaan. Maka pilatus dengan enteng menjawab, “Apakah kebenaran itu?”
Kalau kita tidak mampu mengutamakan kebenaran di atas kepentingan, maka di ujung jalan adalah Pilatus. Dan lama-kelamaan mendekati ujung jalan itu kebenaran tidak lebih dari sebuah verban untuk menipu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi, red.).
Akhir ini ada dua hal yang Ari lagi digumuli: orang yang lapar dan haus tidak cepat puas. Selalu saja ada hal yang membuat dia tidak bisa tenang. Saya tahu ada banyak di masa lalu tapi saya angkat dua hal yang akhir-akhir ini membuat dia tidak tenang. Lapar dan haus.
Pertama, keprihatiannya mengenai cara gereja menangani perkara-perkara di antara para pelayan. Dari satu segi itu dilema karena ini kita punya pendeta. Kita punya mantan mahasiswa dan sebagainya. Tapi ada kecenderungan untuk kesalahan-kesalahan gereja ditutupi dengan cara yang memang tidak biasa dibuat untuk dunia luas.
Kalau seorang pendeta melakukan pelecehan seks, kita tidak pernah baca di surat kabar. Kalau seorang petani melakukannya itu menjadi bacaan favorit di koran-koran. Kalau bendahara dalam gereja atau pejabat lain menggelapkan uang dan teman-teman yang meneliti hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK, red.) ada banyak nama pendeta di daftar BPK yang, bukan korupsi, bukan makan uang, tapi belum mempertanggungjawabkan. Tapi tidak biasa menjadi pengetahuan umum karena menjaga nama baik gereja. Lebih mengutamakan penampilan dari pada kebenaran. Itu jalan menuju Pilatus. Belajarlah di dalam setiap perkara, dalam setiap cobaan untuk lebih mencintai kebenaran dari pada mencintai penampilan.
Minggu lalu kita dengar cerita tentang Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya. Yesus melakukan hal yang terhina yang seorang bisa lakukan. Di zaman Yesus orang bisa buang sampah, buang kotoran segala macam; kotoran binatang, kotoran manusia buang ke jalan. Itulah alasan mengapa babi dan anjing dianggap najis, karena mereka pembersih jalan. Jadi kalau kita mau ke pesta kita sudah mandi baik-baik di rumah to? Kemudian kita jalan kaki di jalan yang begitu. Sampai di tempat pesta kita semua bersih-bersih kecuali kaki. Jangan sampai injak apa-apa. Jadi kalau ada budak, hamba Yahudi tidak boleh di suruh tapi kalau ada budak dari bangsa lain boleh disuruh untuk cuci kaki para tamu. Yesus melakukan itu. Kemudian dia kasi tunjuk murid-murid dan kasi ingat, “Murid tidak lebih dari guru”.
Nah, kalau Yesus bisa menanggung hina, menanggung malu, hanya satu yang lebih hina dan berat dari cuci kaki para tamu yaitu mati di kayu salib. Kalau Yesus, Guru kita, bisa menanggung malu apakah gereja tidak bisa mengaku dosanya? Padahal, Yesus tidak salah dan kita kadang-kadang salah. Jadi itu salah satu yang Pak Ari lagi gumuli.
Kedua, masalah status kampus teologia. Saya tidak masuk dalam seluk beluknya tapi hanya satu hal yang perlu kita pahami bersama demi kebenaran. Pendidikan teologia adalah tanggung jawab gereja. Yang tidak bisa dialihkan pada siapa pun juga. Pendidikan teologia adalah caranya gereja memperbarui pelayan-pelayannya. Dan, tidak bisa diserahkan tanggungjawab itu pada yayasan, pemerintah, pada siapa-siapa.
Mudah-mudahan dalam langkah-langkah kedepan, dalam semangat mencari kebenaran bersama, bisa ada dialog, bisa ada pergumulan bersama untuk menemukan kebenaran pendidikan teologi ke depan bagi GMIT dan GKS tanpa pakai kuasa tapi pakai hati. Yang haus dan lapa untuk kebenaran.
Yesus mengatakan berbahagialah mereka yang lapar dan haus. Apakah Ari berbahagia? Dia berbahagia dengan keluarga yang dia sangat cintai, dia berbahagia dengan relasi dengan manusia yang dia juga cintai tapi mengenai kebenaran belum. Dan janji Allah bukan bahwa kita harus cepat kenyang, tapi bahwa itu ada di depan. Akan dipuaskan, berarti keadilan, kebenaran akan ditegakkan dan orang seperti Ari akan menyaksikannya. Doa kami supaya kita bersama-sama lagi pada saat itu. Berbahagialah kita juga kalau kita tetap lapar dan haus akan kebenaran. Amin.
*Khotbah Pemakaman Pdt. Ari Jonan Kalemudji disampaikan pada Rabu, (14/3) di jemaat Syalom Kupang.
** Mantan dosen Fakultas Teologi-UKAW, KUpang