Kupang, www.sinodegmit.or.id, Merupakan sebuah kebanggaan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), secara berturut-turut dalam dua tahun terakhir ini menjadi tuan dan nyonya rumah dari dua konferensi teologi berskala internasional.
Konferensi pertama diselenggarakan pada bulan Agustus 2017 dengan mitra dari Gereja Bersatu Australia (Uniting Church in Australia) yang melibatkan sejumlah gereja mitra di Asia Tenggara. Konferensi ini membahas tema “Gereja dan Pemberdayaan Masyarakat”. Dampak dari konferensi ini adalah ditandatanganinya Memorandum of Understanding(MoU) antara GMIT dengan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Melalui MoU ini GMIT bermaksud terlibat secara aktif dalam perencanaan dan pengelolaan dana desa. Selain itu GMIT juga lebih terbuka membangun teologi inklusiv yang membongkar cara pandang tentang penyandang disabilitas yang keliru.
Konfersensi kedua berlangsung pada 5-9 April 2018. Konferensi ini merupakan kerja sama dengan Global Ministries (GM), sebuah badan misi dari dua gereja di Amerika Serikat yakni, United Church of Christ (UCC) dan Disciples of Christ (Chistian Church). Mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, adalah juga anggota jemaat dari UCC.
Mitra GMIT dengan UCC telah berlangsung sekitar 30 tahun. Dukungan UCC kepada GMIT salah satunya adalah mengirim tenaga dosen teologi. Pdt. Dr. John Campbell-Nelson dan istri Ibu Karen Campbell-Nelson yang sudah bekerja di GMIT sekitar 30 tahun.
Hari Pertama: Konferensi Teologi “Kemitraan Untuk Keadilan Allah”
Peserta
Neo Hotel-Kupang, Kamis, 5 April 2018, pukul 08:30 pagi, peserta dari 11 negara sudah berkumpul. Ada pimpinan (Executiv Director) dari GM Pdt. Jim Moos dan Pdt. Deenabandhu Mancala selaku pimpinan GM khusus Asia Selatan dari UCC, Amerika. Peserta lain dari Amerika antara lain, Pdt. Keith Mills, Pdt. Dr. Pat Donahoo, Dr. Monica Liddle, Pdt. Thomas Liddle, dan Pdt. Shari Prestemon.
Dari India ada Ms. Joani Adorno Dias, Ms. Annie Namala, Pdt. Dr. David Rajendran dan Pdt. David Selvaraj. Ada juga peserta dari Myanmar dan Kamboja, Pdt. Pau Lian Mang, Mr. Sonthea Pheun dan Ms. Solida Kea, keduanya adalah pekerja sosial beragama Budha. Dari Bangladesh ada Pdt. David Das. Dari negara tetangga Malaysia dan Filipina ada Dr. Glorene Das dan Pdt. Alejandro Lazaro dan Pdt. Cathy Chang. Dari Timor Leste ada Pdt. Lorenzo do Santos, Ms. Meliana Liberty Santa dan Pdt. Albino da Costa. Sedangkan dari Indonesia ada Pdt. Dr. Zakarias Ngelow dari STT Intim-Makasar dan Pdt. Dr. Robert Borrong dari STT Jakarta.
Ada yang unik dari struktur wajah dan warna kulit peserta yang berasal dari, Filipina, Kamboja, India, Bangladesh dan Indonesia. Beberapa teman dari Kupang bilang wajah orang India mirip orang Sabu dan Rote. Kemiripan wajah membuat ikatan persaudaraan di antara semua peserta menjadi hangat.
Ibadah Pagi
Suasana ibadah pagi sangat berkesan. Di depan tampak sebuah kuburan batu dengan sebuah salib kecil di atasnya. Di dinding digantung sebuah lukisan karya Efraim Djara Dima seorang pelukis asal Kupang. Lukisan dalam konteks Timor ini menggambarkan Yesus berambut keriting yang memanggul salib dan dibelakangnya ada sepasang suami istri bersama anak mereka memeluk salib itu, dikelilingi peti-peti jenasah. Salah satu peti berisi jenasah yang tubuhnya penuh jahitan ditunggui seekor anjing warna hitam.
Empat orang pemeran liturgi: Aryz Lawingbara, Agustin Zakharias, Dini Lapaan dan Yuliana Benu, berjalan sambil membunyikan batu-batu yang dipegang. Ide membunyikan batu, kata Elina Ottu, staff dari JPIT (Jaringan Perempuan Indonesia Timur) diperolehnya saat mendampingi ibu Yufrinda Selan, salah satu korban perdagangan orang yang tewas di Malaysia dan dipulangkan dengan tubuh penuh jahitan. Ibunda Yufrinda menuturkan setiap kali mendengar bunyi denting batu ia teringat tumpukan batu dikuburan anaknya.
Dalam tafsirannya, Elina mengatakan batu-batu tidak hanya lekat dengan trauma keluarga korban tetapi juga Yesus diumpamakan sebagai batu penjuru bahkan Tuhan Allah juga diibaratkan sebagai gunung batu keselamatan.
Keempat pemeran liturgi lantas duduk di sekitar makam sambil meratap. Menangis dengan nyaring, sambil memanggil-manggil nama anak yang terkubur. Seorang pemeran lainnya muncul dengan memegang sehelai kertas bertuliskan “JUSTICE”. Sambil berkeliling, ia menunjukan tulisan tersebut kepada jemaat, lalu merobek-robeknya dan membuangnya di hadapan para peratap. Mereka memilih satu per satu sobekan itu sambil berupaya menyatukan kembali tulisan “JUSTICE” tersebut.
Dengan berdiri satu persatu mereka berseru, “Where’s justice, where’s peace, where’s love”! Suara mereka memecah kesunyian. Semua hadirin terdiam, tepekur, termenung.
Refleksi
“Terima kasih telah memberi kesempatan kepada GMIT untuk konferensi ini. Biasanya, kota-kota seperti Bali dan Jakarta atau wilayah lain di Indonesia menjadi tempat favorit penyelenggaraan konferensi berskala internasional. Timor, seringkali disebut panas dan kering sehingga bukan pilihan yang baik. Namun terima kasih kepada kepada Jim Moos dan Deenabandhu yang memilih GMIT sebagai tuan dan nyonya rumah,” ujar Pdt. Dr. Mery Kolimon, mengawali renungan pagi di hari pertama.
Bacaan Alkitab dipilih dari Markus 6:6-13 dengan perikop Yesus mengutus murid-murid. Pengutusan secara berpasangan ini kata Pdt. Mery menarik oleh sebab Yesus tidak mengutus mereka seorang diri tapi dua-dua. Hal ini tidak ada kaitan dengan siapa yang lebih hebat dalam hal keuangan atau kemampuan atau pengetahuan tetapi pergi dua-dua sebagai sahabat diperjalanan.
“Saya tidak mengerti bagaimana Yesus mengelola pasangan ini. Simon Petrus misalnya berpasangan dengan siapa atau Yudas Iskariot cocok dengan siapa? Kadang-kadang kemitraan itu juga menjadi tantangan. Bagaimana kita memilih mitra kita. Kriteria apa yang kita pakai,” jelas Pdt. Mery.
Namun terlepas dari aneka tantangan kemitraan yang ada, Tuhan mengutus murid-murid-Nya (gereja) masa kini untuk saling belajar dan saling memperkaya dari pengalaman iman masing-masing komunitas.
Pada bagian akhir refleksinya, Pdt. Mery menyinggung perikop sebelum dan sesudah teks ini. Markus menempatkan cerita pengutusan itu di antara kisah Yesus ditolak di Nazaret dan Pembunuhan Yohanes Pembaptis. Cara Markus membingkai kisah ketiga kisah ini memberi pesan bahwa pengutusan murid-murid tidak lepas dari penolakan, ancaman, teror bahkan pembunuhan. Namun semua hal itu tidak boleh mengendurkan perjuangan gereja memberitakan tentang Kerajaan Allah.
Usai renungan, setiap peserta dipersilahkan menaruh kado simbol kemitraan di meja utama. Meja ini dihiasi dengan aneka selimut dari berbagai etenis di NTT. Selimut menjurai sampai ke lantai. Sebuah alkitab besar terbuka di atasnya. Kata Ibi Karen Campbell-Nelson, Alkitab yang terbuka dan selimut yang menjurai menyimbolkan firman Allah yang mengalir melintasi batas-batas etnis, ras, bahasa dan benua. Di atas meja itu pula masing-masing peserta menaruh kado yang melambangkan kemitraan dari negara mereka masing-masing. Ada selendang aneka motif, tas, makanan, kipas, dll.
Sambutan
Usai ibadah pembukaan, Pdt. Jim Moos menyampaikan sambutan. Ia bercerita mengenai kehadiran lembaga misi Global Ministries yang telah melayani lebih dari 200 tahun.
“Tujuan kami yang utama adalah mewujudkan kasih Allah melalui pelayanan dan kehidupan bersama. Kehadiran lembaga itu penting tetapi relasi dan hubungan manusia jauh lebih penting,” ujarnya.
Selain relasi, Pdt. Jim juga menyebut mutualitas, komunitas/persekutuan, keadilan dan perdamaian sebagai nilai-nilai yang mesti dirawat dalam membangun dan memperkuat kemitraan.
Perkenalan
Pendeta Deenabandhu sebagai pengarah acara memberi kesempatan kepada peserta yang terbagi dalam enam kelompok untuk saling berkenalan. Dr. Glorine Das, direktur Tenaganita dari Malaysia berharap melalui konferensi ini lembaganya bisa bermitra dengan gereja agar terbuka ruang yang lebih luas dan aman bagi para korban perdagangan manusia.
Paul Lian Mang, seorang dosen yang mengajar di Yangoon, mengaku belum banyak terlibat dalam isu ini namun perkenalannya dengan Pendeta Deenabandhu menolongnya untuk terlibat dalam analisis sosial dari perspektif Alkitab.
Sementara itu Nona Solida Kea yang paling muda dari semua peserta, memperkenalkan diri sebagai pekerja sosial asal Kamboja. Children’s Future Internasional, lembaga tempat ia bekerja membantu anak-anak Komboja untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Usai perkenalan sekitar 15 menit, Pdt. Deenabandhu menjelaskan tujuan dan sasaraan dari konferensi ini serta rundown acara mulai dari hari pertama hingga hari terakhir pada Senin, 9/4…. (Bersambung)