Catatan Harian Konferensi Teologi Internasional Gereja-Gereja Mitra Global Ministries di Asia Selatan (bagian II)

Apa itu keadilan dan Kemitraan

Usai menjelaskan keseluruhan acara Pdt. Deenabandhu mempersilahkan masing-masing kelompok berdiskusi dari pengalaman mereka mengenai arti keadilan dan kemitraan. Pdt. David Selvaraj menjadi meoderator. Dosen teologi asal India ini punya hobi bernyanyi dan berdansa seperti pada umumnya orang India yang sering kita lihat di film-film Bollywood. Ia punya cara yang khas menarik perhatian peserta agar fokus.  Biasanya untuk menenangkan peserta moderator bersuara keras, “Kami harap peserta tenang”, atau “halo-halo perhatian”, dan seterusnya, namun Pdt. David cukup dengan memegang microphone dan menyanyi dengan gaya khas India: menggoyang-goyang kepala.

Pdt. Alesandro Lazaro yang akrab dipanggil Rey dari Filipina, mewakili kelompok empat menjelaskan bahwa keadilan berarti hak dan tanggungjawab yang seimbang. Keadilan juga berarti memberi upah yang layak untuk pekerja, perlakuan yang pantas terhadap perempuan dan menghargai mereka. Sedangkan kemitraan berarti berbagi karunia dengan sesama, belajar saling memperkaya, memaanfaatkan keanekaragaman untuk kepentingan bersama.

Kelompok berikutnya diwakili oleh Ibu Annie Namala, direktur Centre for Social Equity and Inclusion (CSEI). Ia berasal dari India. Mereka mendefinikan keadilan sebagai keberpihakan pada orang yang lemah. Ketidakadilan berakar dalam sistem global maka upaya untuk melawan ketidakadilan memerlukan kemitraan yang global juga. Dalam kemitraan itu aktivis mesti melibatkan korban ketidakadilan.

Sementara wakil dari kelompok enam adalah Pdt. Dr. Pat Donahoo. Menurut mereka keadilan berarti kesamaan mengakses kebutuhan dasar. Sedangkan kemitraan ibarat mata rantai yang saling terikat satu dengan yang lain. Perbedaan pasti ada, oleh sebab itu dialog menjadi penting guna merawat kemitraan.

Usai presentasi, Pdt. David menegaskan kembali beberapa point penting dari keadilan dan kemitraan. Ia mengapresiasi pemahaman yang begitu kaya dari semua kelompok, dimana tampak bahwa ada perbedaan mendasar yang sungguh disadari dalam kelompok mengenai keadilan sosial dan keadilan hukum. Yang disebut terakhir ini penekanannya ada pada hukuman yang setimpal sedangkan keadilan sosial lebih pada restorasi untuk mengembalikan harkat dan martabat manusia yang dirampas dan bagaiamana membangun kembali relasi dalam rangka mewujudkan syalom Allah.

Penegasan lainnya adalah bahwa berbicara mengenai keadilan tidak mungkin tanpa bicara soal kuasa. Sebab, realitas ketidakadilan berakar pada struktur sosial, politik, budaya dan ekonomi. Itu berarti ketika bicara tentang keadilan kita diperhadapkan dengan kuasa-kuasa termasuk pihak berwajib yang menegakkan kuasa-kuasa itu.

Sementara mengenai kemitraan, disimpulkan bahwa ada pemahaman bersama, kalau ada satu pihak yang mengalami masalah tapi  masalah itu tidak dipahami oleh mitra lain maka kita sulit bermitra. Namun di atas semua itu kita perlu belajar dari perbedaaan guna memperkaya pemahaman bersama. Seperti dalam kesaksian kebangkitan Kristus dimana ada cerita yang berbeda dan bertolak belakang tapi semuanya mengalami realitas yang sama.

“Kami juga membawa cerita yang berbeda tapi di tengah-tengah, kita dengar suara Yesus yang bilang jangan takut, kita harus seperti para perempuan yang berani untuk mencari Yesus. Realitas kita adalah perdagangan orang saat ini merupakan raksasa ekonomi, tetapi ancaman sebesar apapun Yesus katakan jangan takut.

Apakah kita ikut instruksi dalam Lukas untuk berkumpul di Yerusalem atau kembali ke Galilea seperti ajakan Markus, marilah kita pergi bersama-sama dan jangan takut,” ungkapnya.

Selesai dengan kesimpulan diskusi kelompok, ia mempersilahkan wakil dari masing-masing negara untuk berbagi cerita mengenai apa yang dilakukan oleh gereja atau lembaganya.

Cerita dari Filipina

Pdt. Alejandro Lazaro, yang melayani di Mindanao, bercerita mengenai perjuangan lembaga mereka bernama Isaka. Misi dari lembaga ini adalah melawan dan menghentikan kekerasan terhadap perempuan, terutama mereka yang terjebak dalam prostitusi. Memberikan layanan pendidikan, kesehatan, shelter, konseling dan mengorganisir perempuan yang terlibat dalam prostitusi. Upaya-upaya itu bermaksud menolong mereka untuk menemukan kembali martabat mereka sebagai perempuan. Dalam presentasinya ia menunjukan foto seorang perempuan yang bekerja sebagai penari erotis namun berhasil keluar dari dunia malam itu. Ia telah menyelesaikan kuliahnya di bidang ilmu sosial dan sekarang bekerja sebagai aktivis.

Usai presentasi dari Pdt. Alejandro, dilanjutkan dengan presentasi dari Pdt. Cathy Chang dari Filipina juga.

“Saya dari UCC Philippines, dari gereja Presbiterian Amerika. Saya bekerja di bagian kemitraan antar UCCP dan saya bekerja di banyak negara termasuk indoensia. Saya warga negara Amerika yang berasal dari Filipina,” demikian ia memperkenalkan dirinya.

Ia mengisahkan tentang upaya gereja lokal di Filipina dalam memperjuangkan hak hidup warga yang menjadi buruh migran di negara lain yang divonis hukuman mati. Menurutnya, peran gereja lokal dalam menolong warga sangat penting. Ia menunjukan sebuah foto sebuah gereja di Filipina Selatan yang warganya berjumlah sekitar 1000 orang akan tetapi memiliki semangat dan harapan yang besar untuk membangun rumah aman bagi para pekerja migran. Upaya itu mendapat tantangan yang besar dari para mafia perdagangan orang.

“Gereja ini memilki harapan besar untuk membangun shelter bagi pekerja migran. Upaya gereja ini tidak mudah karena mendapat tantangan dari para sindikat mafia, dan ini upaya yang dilakukan oleh gereja lokal. Dengan ini saya mau katakan bahwa upaya melawan perdagangan orang tidak mesti dikerjakan oleh gereja yang besar tetapi gereja kecil juga bisa melakukannya,”tuturnya.

Ia juga menunjukan foto sebuah gereja yang hanya terdiri dari 14 kepala keluarga namun mereka memahami diri sebagai keluarga Allah. Pemahaman itu diwujudnyatakan melalui upaya memberi perlindungan bagi pekerja migran di Filipina.

“Ini merupakan spanduk dari orientasi program gereja kecil ini kepada para pekerja migran dari Filipina. Isi spanduk ini berupa hak-hak mereka sebelum dan sesuadah manjadi buruh migran. Jadi sebenarnya, pelayanan kepada para buruh migran bisa terjadi di gereja besar tapi juga bisa di jemaat kecil,” tegasnya lagi.

Menurut Pdt. Cathy, sebagai gereja, mereka tidak hanya bekerja di level akar rumput. Mereka juga melakukan lobi dengan pemerintah Filipina bahkan di level Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Ini sebuah kutipan pernyataan dari salah satu pekerja migran Indonesia yang luar biasa  yang mendapat posisi penting di PBB. “Jangan pernah berbicara mengenai kami tanpa kami”. Ini artinya berbicara mengenai buruh migran tidak bisa tidak melibatkan mereka,” demikian ia mengakhiri presentasinya.

Cerita dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)

Pdt. Ina Bara Pa, Ketua Unit Pembantu Pelayanan Bencana dan Kemanusiaan Majelis Sinode GMIT berbagi cerita mengenai upaya yang dilakukan gerejanya di Timor.

Ia memulai dengan menunjukan data kasus kematian buruh migran di provinsi Nusa Tenggara Timur yang jenasahnya dipulangkan melalui kargo bandara El Tari, Kupang. Tahun 2015 sebanyak 24 orang jenasah, 2016 sejumlah 54 jenasah, 2017 sebanyak 63 jenasah dan terakhir dalam 3 bulan terakhir tahun 2018 sudah sebanyak 23 orang.

Upaya-upaya yang lakukan GMIT antara lain memberikan pendampingan bagi korban dan keluarga termasuk mendampingi kasusnya di pengadilan. Konseling bagi yang mengalami trauma. Membangun jaringan dengan berbagai pihak yang bekerja pada isu yang sama, dan terakhir sekali GMIT menyediakan rumah aman bernama “Rumah Harapan”.

Cerita dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI)

Utusan PGI adalah Repelita Tambunan, dari divisi perempuan dan anak. Di PGI, kata Repelita mereka memiliki program yang bernama “Pendampingan Holistik bagi Pekerja Migran”. Singkatnya adalah PGI melakukan training, advokasi dan sosialisasi.

“PGI memberi masukan terkait hukum di Indonesia, juga membangun jaringan guna memonitor perlindungan buruh migran dan melakukan lobi dengan komisi IX DPR RI. Selain itu PGI juga memberi bantuan hukum dalam kasus Mary Jane dan Eriana Sulistianingsih. Untuk kasus Eriana yang divonis hukuman mati, berhasil memenagkan kasusnya dan  terakhir PGI memfasilitasi diskusi untuk filmnya yang berjudul “Keadilan untuk Eriana.”

Dalam kerja sama dengan GMIT, dukungan PGI berupa dana untuk membentuk rumah aman bagi para korban. Selain GMIT dukungan yang sama juga diberikan untuk Gereja Kristen Sumba (GKS). PGI juga membangun jaringan internasional untuk isu ini.

(Untuk semua presentasi disediakan 5 menit untuk pertanyaan dari peserta dan tanggapan balik dari pemateri).

Penutupan sesi untuk hari pertama

Di tengah diskusi yang sangat menarik tak terasa waktu sudah menunjukan jam 5:00 sore di  mana ini adalah akhir dari jadwal hari pertama. Oya, saya hampir lupa memberitahukan bahwa seluruh percakapan dalam konferensi teologi ini menggunakan bahasa Inggris. Namun panitia menyiap\kan penerjemah untuk bahasa Indonesia. Pdt. John Campbell-Nelson, Ibu Karen Campbell-Nelson, Elia Maggang dan Elina Otu sangat membantu untuk tugas ini. Juga Radio Suara Kasih yang menyiapkan pemancar mini dalam ruangan sehingga memudahkan peserta dapat mendengar terjemahan melalui sambungan radio FM.

Akhirnya, seperti biasa Pak Deenabandhu ambil mikropon dengan gaya khas India bicara sambil menggoyang-goyang kepala berujar, “Bukan hanya saya tetapi kita semua senang. Kita bikin persahabatan yang bagus sepanjang hari ini. Terima kasih untuk semua yang berkontribusi untuk sesi ini. Kita tutup dengan doa. Besok kita mulai jam 8:30”. (Bersambung)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *