KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Menyikapi perilaku dan dampak bermedia sosial baik positif maupun negatif di kalangan warga gereja bahkan gereja sebagai lembaga, Unit Pembantu Pelayanan (UPP) Teologi menggelar diskusi bertema “Gereja dan Media Sosial.”
Diskusi dilaksanakan di kantor Majelis Sinode GMIT dihadiri oleh sejumlah pendeta, menghadirkan pembicara Dr. Jefry Manafe, pengajar dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dari Universitas Nusa Cendana-Kupang dan Dani Manu dengan moderator Paul Bolla.
Pdt. Nicolas Lumba Kaana, Sekretaris Bidang UPP Teologi mengatakan diskusi ini bertujuan membangun pemahaman bersama terkait manfaat dan dampak media sosial bagi masyarakat dan gereja.
“Gereja perlu mendorong produksi dan distribusi informasi yang menjunjung tinggi martabat manusia dan yang sejalan dengan nilai-nilai Injil, seperti: cinta kasih, kebenaran, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan keugaharian. Gereja perlu mengupayakan mekanisme penyebaran informasi dan komunikasi yang mempersatukan dan mendamaikan, bukan memecah belah.”
Sementara itu, Jefry Manafe dalam paparannya mengatakan bahwa selain manfaat positifnya, media sosial juga memiliki dua konsekuensi: Pertama, realitas media sosial tidak selalu menampilkan realitas yang sebenarnya melainkan bersifat virtual. Misalnya, seseorang kadang mengaburkan foto dirinya yang dianggap kurang cocok dengan menggunakan fasilitas yang disediakan oleh media. Kedua, konstruksi ruang virtual terintegrasi dan menghanyutkan penggunanya.
Untuk menangkal dampak negatif media sosial menurut Jefry, yang diperlukan adalah literasi media atau kecerdasan bermedia. Mengutip Laswell, ia menambahkan pula bahwa ketika bermedia sosial baik individu maupun komunitas perlu memperhitungkan siapa mengatakan apa, kepada siapa, melalui media apa dan efeknya apa?
Pada kesempatan yang sama juga Ketua Majelis Sinode GMIT Pdt. Mery Kolimon menegaskan pentingnya memanfaatkan media sosial sebagai ruang kesaksian iman yang otentik. Seseorang mesti menjaga karakter dan integritasnya baik dalam realitas yang nyata maupun di dunia maya.
“Kesaksian kita di mimbar dan di media sosial mestinya sama. Sehingga saya melihat tantangan kita sebagai gereja adalah bagaimana mengklaim ruang-ruang media sosial sebagai media pemberitaan. Pada saat yang sama kita juga tidak boleh naif bahwa media sosial juga ruang kontestasi wacana, ideologi dan seterusnya, karena itu penting sekali membaca media secara kristis karena belum tentu semua berita yang kita baca itu benar, sehingga saring dulu baru sharing,” ungkap Pdt. Mery.
Sedangkan pemateri lainnya Dany Manu dalam penjelasannya terkait menangkal postingan-postingan yang tidak produktif, ia menyarankan peran pengawasan pengelola grup semisal dalam facebook dengan memanfaatkan perangkat aturan yang tersedia. Ia juga berharap media-media yang dikelola oleh GMIT dapat menyiapkan kebutuhan-kebutuhan informasi seperti produk-produk aturan lingkup sinodal sehingga jemaat dapat mengakses informasi-informasi itu dengan mudah.
“GMIT punya website tapi kita belum lihat produk-produk aturan yang bisa di download. Kita bersidang dengan anggaran yang besar untuk menghasilkan sejumlah keputusan tapi keputusan itu tidak sampai ke jemaat melalui website. Padahal ini penting agar jemaat juga tahu dan tidak bertanya-tanya lantas menafsirnya sesuai kepentingan.” ***