Kupang, www.sinodegmit .or.id, Perempuan berdarah Sabu ini baru dua tahun menjadi pendeta. Perawakannya kecil tapi punya visi besar. Saat menyampaikan sambutan, ia tampil percaya diri. Kata-katanya lugas. Kadang diselingi canda. Karyanya menjadi inspirasi tidak hanya di lingkup GMIT tapi juga umat Katolik dan pemerintah kabupaten Malaka.
“Saya pendeta petani yang punya visi dan misi,” ujarnya dengan yakin di hadapan Ketua Majelis Sinode (MS) GMIT, Pdt. Mery Kolimon. “Saya petani modern. Gara-gara bertani kulit saya jadi hitam, tapi tidak mengapa karena meski hitam, untuk ukuran kabupaten Malaka saya masih memegang ranking pendeta paling cantik,” candanya mengundang tawa seratusan jemaat serta pendeta yang menjadi peserta pelatihan Kompastani (Komunitas Pendeta Suka Tani) GMIT tahap III, di Desa Forekmodok Kabupaten Malaka, Rabu (25/4).
Erni Ratu, demikian namanya. Usianya menginjak 30 tahun. Ia ditahbiskan menjadi pendeta dan melayani dua Jemaat di klasis Belu, yakni Yegar Saduta Angkaes dan Jemaat Syalom Makwar Forekmodok. Ia teguh pada komitmennya untuk mewujudkan visi membawa perubahan dan masa depan bagi jemaat yang seluruhnya adalah petani.
Kabupaten Malaka merupakan wilayah dataran rendah. Setiap tahun saat tiba musim hujan, kabupaten ini akrab dengan bencana banjir lantaran meluapnya sungai Benanain. Namun, usai bencana lewat, mujur pun tiba. Banjir membawa humus tanah yang subur membuat kabupaten bencana ini menjadi kabupaten paling subur di pulau Timor.
“Bagi kami, pekerjaan yang tidak akan pernah mati adalah bertani. Sebab petani adalah pahlawan pangan. Kalau tidak ada petani maka tidak ada makanan. Kalau tidak ada makanan maka tidak ada pula masa depan. Ketika pertama kali saya tiba dan melayani dua jemaat kecil ini, saya punya komitmen untuk menghadirkan kesejahteraan bagi jemaat. Kalau jemaat sejahtera, saya juga pasti sejahtera,” tandasnya.
Seusai mengikuti pelatihan pertanian yang diselenggarakan oleh Kompastani GMIT pada September 2017, ia kembali ke jemaat dan mulai merintis mimpi bersama komunitasnya. Ia mengajak 14 orang perempuan membentuk kelompok tani. Separuh dari jumlah tersebut adalah mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Malaysia.
Pilihannya melibatkan mantan TKW dalam kelompok tani yang dibentuknya cukup beralasan. Ia mengaku, 29 dari 59 kepala keluarga Jemaat Syalom Makwar meninggalkan kampungnya dan sekarang menjadi tenaga kerja di Malaysia. Dari data yang terhimpun, hingga 2018 ini tak kurang 20 jenasah TKI asal kabupaten Malaka dipulangkan.
“Sepulang dari pelatihan di Kupang, saya merasa terbeban untuk mengembangkan pertanian. Saya ajak jemaat di dua mata jemaat yang saya pimpin untuk bertani tapi hanya satu jemaat yang merespon. Dan, dari sekian banyak perempuan, hanya 14 orang yang mau. Belakangan 2 orang mengundurkan diri. Sisanya 12 orang. Sebagian dari anggota kelompok kami adalah mantan TKW (Tenaga Kerja Wanita). Karena itu kelompok tani ini kami beri nama “KWT” (Kelompok Wanita Tani) sebagai kebalikan dari TKW,” ujarnya tersenyum.
Kepada anggota kelompoknya yang semuanya perempuan itu, ia beri motivasi. “Kalau kalian mampu mensejahterakan orang di Malaysia kenapa kalian tidak mampu sejahterakan keluargamu di sini? Sekarang kita balik keadaan. Kalau kalian bisa menolong orang di Malaysia maka kalian juga harus bisa menolong suami dan anak-anakmu di kampung sendiri,” begitulah yang ia ucapkan kepada teman-teman mantan TKW yang kini sudah berubah nama menjadi KWT tersebut.
Tahapan membentuk kelompok tani sudah ada tapi di mana lahanya? Gereja tidak punya lahan. Siapa yang mau pinjamkan lahan? Bersyukur salah seorang keluarga bersedia memberikan lahan 30 are secara gratis. Dan, pekerjaan pun dimulai.
“Kelompok tani sudah terbentuk, lahan sudah ada. Namun persoalan baru muncul: siapa yang mau balik tanah? Kami semua perempuan. Tenaga tidak cukup,” keluhnya.
Menyadari keterbatasan tenaga mengolah lahan, ia pun mencoba membangun jaringan dengan Dinas Pertanian Kabupaten Malaka. Di luar dugaan, pemerintah mendukung dengan memberikan peralatan berupa traktor, cultivator dan guludan, alat untuk membuat bedeng. Ia bahkan mungkin menjadi pendeta perempuan GMIT pertama yang naik traktor demi membuktikan bahwa perempuan pun tak kalah dalam hal membangun pertanian untuk masa depan.
“Syukur, pemerintah melalui Dinas Pertanian Kabupaten Malaka mendukung kami dengan traktor. Seumur hidup saya baru pernah naik traktor,” kisahnya sambil tertawa.
Setelah lahan disiapkan kami tanam tomat. Banyak orang sangsi karena menurut pengalaman, tomat tidak mungkin bertahan di musim hujan. “Ini pekerjaan orang gila,” demikian cibiran yang mereka dengar.
“Awal mula kami merintis dan mengolah lahan, orang mencibir katanya, hanya orang gila yang tanam tomat di musim hujan. Tapi saat panen tiba, kami menjadi penguasa tomat di Kabupaten Malaka,” ucapnya disambut teput tangan riuh dari peserta pelatihan.
Kerja keras Pdt. Erni bersama 12 perempuan lainnya belum genap setahun. Tapi komitemen yang telah mereka buktikan mendapat apresiasi dan dukungan yang kuat dari pemerintah setempat. Baru-baru ini KWT-nya mewakili Kabupaten Malaka mendapat bantuan peralatan pertanian berupa cultivator dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak.
“Kami adalah KWT yang mewakili Kabupaten Malaka mendapat alat pertanian cultivator dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Kami juga adalah kelompok pemelihara 200 ekor itik di desa Forekmodok. Juga kelompok kami dipercaya oleh pemerintah untuk tanam kacang kedelai seluas 5 hektar. Jadi, sebentar lagi kami juga bisa beli oto,” guraunya. “Semua ini berkat dukungan dari Kompastani GMIT dan pemerintah Kabupaten Malaka melalui program Revolusi Pertanian.”
Saat ini KWT Syalom dalam kerja sama dengan PT. Panah Merah, menanam cabe rawit 5000 pohon, tomat 1250 pohon kacang panjang 1200 pohon, kangkung, sawi, bawang, labu, oyong, dan lain-lain.
Dalam sambutannya Pdt. Erny juga melaporkan keuntungan yang mereka peroleh dalam 5 bulan terakhir.
“Keuntungan yang kami perolah terhitung Oktober sebesar Empat Belas juta Tiga Ratus Ribu Rupiah. Dan sesuai kesepakatan kami akan dibagikan pada semua anggota kelompok pada bulan April ini,” jelasnya.
Kendati ia mengaku pendapatan yang diperoleh masih kecil namun ia berharap kebun percontohan pertanian modern yang mereka buat, menjadi ruang belajar bagi jemaat dan masyarakat Malaka bahwa di kampung dan di tanah mereka sendiri, Tuhan menyediakan berkat yang cukup. Tidak usah jauh-jauh merantau ke luar negeri karena fakta membuktikan bahwa tidak sedikit warga Malaka yang bekerja di Malaysia menjadi korban perdagangan orang dan pulang sebagai jenasah. ***