MALAKA, www.sinodegmit.or.id, “Kalau jadi petani harus otak main; jangan main otak, nanti susah,” ujar Romo Edmundus Sako, Pr. Saat menyampaikan khotbah pada pembukaan pelatihan Kompastani (Komunitas Pendeta Suka Tani) GMIT, di Desa Forekmodok-Kabupaten Malaka, Rabu (25/4).
Menurut Romo yang juga Pastor Paroki Santa Maria Fatima – Betun ini, peranan manusia dalam pembangunan khususnya di sektor pertanian sangat ditentukan oleh kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Salah satu cara menghasilkan kualitas SDM adalah membangun solidaritas sosial melalui kerja keras, kerja cerdas dan kerja tuntas.
Dalam khotbahnya ia mengapresiasi program pelatihan yang gelar Kompastani. Ia bahkan merekomendasikan warga di Parokinya untuk belajar pertanian dari salah satu Kelompok wanita Tani (KWT) binaan Pdt. Erny Ratu di Jemaat GMIT Syalom Makwar, desa Forekmodok.
Pada kesempatan yang sama Romo Deken juga berbagi cerita mengenai salah satu program Pekan Suci yang digagas oleh Uskup Atambua, Mgr. Dominikus Saku.
“Pada perayaan Pekan Suci di bulan Oktober mendatang seluruh jemaat Paroki di Malaka mengadakan “Lomba Pisang Masak di Pohon”. Lomba ini adalah ide dari Bapak Uskup tahun 2016 yang lalu. Dalam pengamatan beliau, kegiatan perayaan di gereja umumnya hanya seputar olahraga dan Perarakan Bunda. Jadi harus ada kegiatan yang berdampak pada kesejahteraan warga. Karena itu Bapak Uskup usulkan “Lomba Pisang Masak di Pohon”. Kegiatan ini tidak hanya melibatkan umat Katolik tapi juga umat Protestan, Islam dan lainnya.”
Respon umat dan masyarakat Malaka secara umum terhadap perlombaan yang terbilang unik ini sudah nampak terlihat mulai dari perbatasan antar kabupaten. Di mana-mana baik kebun maupun halaman rumah warga dipenuhi hutan pisang yang sudah berbuah dengan ukuran tandan hampir satu meter.
Menanggapi hal tersebut Ketua Majelis Sinode GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon, dalam suara gembala membuka kegiatan pelatihan Kompastani tahap III ini mengajak warga GMIT agar membuat terobosan-terobosan kreatif dalam mengisi perayaan-perayaan gerejawi sebagaimana yang dilakukan oleh umat Katolik di Malaka.
“Dalam perjalanan kami ke sini sejak dari perbatasan masuk Kabupaten Malaka kami lihat hutan pisang di mana-mana. Ada juga banana circledibeberapa lokasi. Dan, pagi ini kita juga dengar cerita dari Romo Deken ada lomba pisang masak di pohon. Ini sesuatu yang luar biasa. Kita harus geser lomba salib-salib kita menjadi lomba masak pisang di pohon,” ujar Pdt. Mery.
Dihadapan seratusan peserta kegiatan ini, Ketua MS GMIT mengingatkan agar pendeta-pendeta yang terjun dalam upaya-upaya pemberdayaan jemaat yang harus menunjukan identitas sebagai gereja.
“Kalau seorang pendeta menjadi motivator pertanian, apa yang membedakannya dengan PPL (Petugas Penyuluh Lapangan, red). Hati-hati, pendeta bukan PPL. Ketika kita terlibat dalam upaya-upaya pemberdayaan masyarakat, ingat bahwa identitas kita adalah gereja. Karena itu, berteologia tentang apa yang kita lakukan adalah sesuatu yang sangat penting. Apa maksud Tuhan dibalik pemberdayaan yang kita lakukan bersama jemaat dan masyarakat,” tandas Pdt. Mery.
Guna memastikan keberlanjutan dari gerakan pemberdayaan ekonomi jemaat yang dimotori oleh Kompastani GMIT, Ketua MS GMIT meminta perhatian pada tiga hal yakni: edukasi, organisasi dan mobilisasi.
Tidak lupa ia menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Malaka melalui Dinas Pertanian yang telah mendukung program pemberdayaan oleh gereja dan juga kepada seluruh pastor di Dekenat Malaka.
Pelatihan Kompastani berlangsung selama 3 hari dengan menghadirkan sejumlah narasumber antara lain, Pdt. Dr. Mery Kolimon, Direktur BPR TLM -Robert Fanggidae, Bupati Malaka, Ir. Fary Francis, Dirjen Pengembangan Kawasan Pedesaan Kementerian PDT dan Elias Taemnanu dari PT. Panah Merah.***