Jonatan A. Lassa[Medio 2007, di tulis dari Banda Aceh untuk sebuah Majalah di Surabaya]
Dalam keseharian, setiap orang diperhadapkan pada bencana melalui pengalaman langsung maupun tidak langsung melalui cerita ataupun berita, baik teks, suara maupun visual. Karena bencana sering menjadi tumpuan formasi solidaritas sesama, setidaknya sebagian manusia sehingga setiap orang cenderung merasa berada pada ‘frekuensi’ yang sama dalam pemahaman atas peristiwa keseharian yang dimaknai sebagai bencana. Untuk itu, kita perlu menguji cerita-cerita atas peristiwa yang sudah setiap orang tahu tersebut.
Paper ini yang mempertanyakan respon teologis sebagai salah satu lokus pengurangan risiko bencana, dalam konteks Indonesia. Mengapa begitu sibuk bekerja di lapangan demi mengcounter persepsi magis soal sebab-akibat terjadinya bencana? Mengapa tidak langsung ke dapur atau pohon utama di mana persepsi magis terkait bencana itu direproduksi?
Argumentasi penulis adalah bahwa hambatan paradigmatik penanganan bencana di Indonesia, salah satunya bersumber pada konstruksi teologis yang sudah berusia millennium, yang sulit didekonstruksikan apalagi dipensiunkan. Lalu apakah masih ada harapan untuk perbaikan? Beberapa tulisan yang bagus sudah coba di uraikan. (lihat versi Islam oleh Afan Ramli dan versi Kristen oleh John Campbell-Nelson].
Risikonya adalah bahwa mungkin saja, dalam konstruksi teologi bencana yang di anut memberikan sedikit sekali ruang untuk membangun masyarakat yang sigap dan tangguh. Manusia bisa saja terjebak pada imajinasi dan pemahaman yang keliru tentang peristiwa. Pemahaman tentang bencana dalam kalangan Kristen, sudah lama masuk dalam debat ‘the problem of evil’ terkait asal muasal kejahatan dan penderitaan dengan monopoli argumentasi teologisera lampautapi minim inpirasi dari science kebencanaan.
Sebagai misal, gempa kerap dianggap sebagai bencana ketimbang sebuah peristiwa geologis yang normal. Padahal fenomena gempa adalah fenomena planet-planet selain bumi. Kehilangan dalam wujud material, nyawa dan non/i-material kemudian dimaknai manusia sebagai bencana atau bahkan sebuah loncatan pemaknaan yang akrab bagi kaum beragamayakni ‘kutukan Tuhan’.
Dalam konteks masyarakat dengan sistim yang korup, menyalahkan alam dan Tuhan, memberikan keutungan politis tersendiri ketimbang mengakui kegagalan-kegagalan ekonomi politik dan tekno-sentrik karena negara absent dalam mengelolah risiko-risiko melalui perencanaan/pelaksanaan tata ruang dan tata lingkunganterbangun (built environment) yang lebih baik.
Asalinya manusia memodifikasi alam dan ruang yang ditempatinya tanpa berusaha memahami konteks alam dan ruang yang dinamis. Kemudian, ‘nasib’ manusia kemudian ditentukan oleh ruang terbangun yang dibangunnya (baca: rumahnya, lingkungannya).
Dalam berbagai workshop/training pengelolaan bencana, saya sering bertanya ‘apakah ada peserta yang pernah menyaksikan kejadian gempa keluar dari perut bumi dan membunuh manusia?’ Pertanyaan tersebut merupakan rangkaian episode perdebatan tentang bencana, yang mencoba mengeluarkan argumentasi prematur yang sering menggunakan teologi dan simbol-simbol kitab suci.
Rousseau meresponi kenaifan Voltaire yang cenderung menggunakan kejadian Gempa/Tsunami Lisbon 1755 demi simbolisasi “the problem of evil.” (Dynes 1999). Dengan hanya “mentioning the obvious” – Rousseau mengingatkan Voltaire bahwa
Alam tidak pernah membangun rumah yang runtuh menimpa penghuninya. Demikian Rousseau (1756) kepada Voltaire merespons gempa dan tsunami Lisabon, 1 November 1755, yang menewaskan sedikitnya 70.000 orang.
Meningkatnya Risiko Bencana Global & Lokal
Karakter spasial dari risiko bencana kerap dimodifikasi oleh sifat dari pada ancaman (hazard) yang melekat pada kecirian fisik suatu daerah/wilayah yang dikombinasikan dengan kecirian mendasar seperti tingkat eksposure dan kerentanan (yang sering di anggap sebagai sisi lain dari coinyang sama yakni resilience yang juga kerap dibahasakan secara berbeda dengan istilah-istilah seperti daya lawan (resistance) ataupun kapasitas).
Dalam Global Review 2007 untuk pengurangan risiko bencana, di bagi dua skenario risiko bencana. Pertama, skenario risiko bencana intensif– yang dicirikan oleh konsentrasi spasial manusia dan aktifitas ekonomi yang berkemungkinan mengalami dampak bencana (catastrophic disaster)akibat skala ancaman besar (hazards events) sptgempa/tsunami – secara empirik meningkat dalam konteks global maupun dalam konteks Indonesia. (lihat UNISDR 2007: viii)
Kedua, skenario“risiko bencana ekstensif” (lihat definisinya pada UNISDR 2007: viii) – di mana secara spasial populasi manusia lebih bersifat menyebar (dispersed)yang berkemungkinan mengalami bencana yang bersifat sangat lokal, dengan intensitas yang lebih kecil namun secara akumulatif bencana skala kecil memiliki dampak negatif – yang secara empirik menunjukan jumlah yang juga meningkat di Indonesia selama satu dekade terakhir.
Risiko bencana ekstensif, sebagai missal, di Aceh, banjir tahun 2006 secara agregat 512,879 orang terkena dampak (ECLAC’s report – World Bank 2007) dan lebih dari 91,903 orang mengalami mengungsi (displaced) (WHO 2007) di 757 desa dan 46 kecamatan di 7 kabupaten (See World Bank’s 2007 Damage and Loss– ECLAC).
Secara nasional, di Indonesia, hanya untuk periode 2006 saja, sedikitnya 1,000 orang meninggal akibat terekspos pada ancaman banjir (kalkulasi pesonal penulis). Secara nasional, tahun 2007, OCHA Partnership for Humanity, menunjukan paling sedikit 500,000 orang mengalami pengungsian internal secara temporal mulai dari ujung paling barat di Indonesia hingga paling selatan Indonesia.
Statistik kebencanaan global maupun lokal memberikan gambaran faktual bahwa risiko bencana naik secara berarti dalam dua dekade terakhir paska membaiknya sistim database bencana baik yang dikelolah oleh CRED (EM-DAT) di Catholic University Leuven, Belgia, maupun oleh database risiko bencana yang dikelolah oleh Munich Re (NetCat) dan Swiss Re (Sigma).
Dalam konteks meningkatnya bencana secara global, di manakah cahaya pemikiran agama Kristen yang mencerahkan? Bagaimana caranya menjadikan kitab suci sebagai acuan tanpa secara naïf melarikan diri tanpa memahami dunia fisik-sosial-ekonomi-politik di mana bencana terjadi? Bagaimana ‘menempatkan’ teologi bencana secara lebih cermat? Posisi agama Kristen umumnya percaya bahwa Tuhan memegang kontrol atas segala sesuatu. Tetapi statemen ini sering merupakan pelarian, tanpa membuka tabir yang sebenarnya bahwa discovery truthdalam sains kebencanaan memberikan perspektif yang lebih imbang.
Persoalan Laten: Hambatan Paradigmatik
Lepas dari berbagai kelebihan dan kekurangan dari tiap rejim statistik bencana dunia, tulisan ini lebih tepat diarahkan pada upaya mengurangi risiko bencana di ranah teologi. Risiko paling buruk adalah bahwa nodaldan tumpuan di mana risiko bencana diciptakan setiap saat – yang adalah titik yang sama di mana risiko bencana direduksi secara berkelanjutan, justru tidak dikenali, sehingga upaya pengurangan risiko bencana berakhir hanya di level jargon. Salah satu titik atau nodaladalah teologi.
Teologi yang buta terhadap ‘kebenaran’ dalam studi kebencanaan dan membius gereja sebagai gembala yang tidak mampu mengurangi kerentanan umatnya terhadap bencana sudah saatnya ditinggalkan.
Dalam konteks Flores-NTT misalkan, penambahan luas lantai bangunan (built environment)di dalam konteks natural environmentyang tsunami/earthquake pronedalam waktu 16 tahun paska tsunami/gempa 1992, bukan sekedar berjalan ditempat. Filter formal untuk pembangunan rumah dengan mempertimbangkan risiko kegagalan seismic dalam wadah Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) justru berjalan mundur: skala pembangunan agresif setiap tahun, tetapi pengurusan IMB tahun 2006 hanya mencapai 25% dari yang dicapai tahun 1995-1997. Gereja sebagai gembala, tidak melihat instrumen-instrumen pengurangan risiko bencana sebagai wilayah penggembalaan umat.
Simpulan
Dalam amatan penulis, pemikir-pemikir Kristen di Indonesia secara tragis ketinggalan 250 tahun dari apa yang dicapai Rouseau. Kajian-kajian filsafat-teologis kita mungkin telah kehilangan relevansinya, selalu terlambat memahami isu-isu krusial, salah satunya adalah pada bencana. Biaya transaksi untuk mereduksi risiko bencana di Indonesia berbiaya mahal karena salah satu akar masalahnya adalah masyarakat kita masih berada dalam kesadaran magis tentang bencana – bahwa bencana sebagai kutukan Tuhan.
Singkatnya, mandat mengupayakan kesejahteraan manusia di ruang di mana kita tinggal menjadi slogan kosong karena kerap kita salah memahami tentang bencana itu sendiri. Tidak ada yang namanya bencana alam. Peristiwa alam seperti gempa, tsunami, vulkanik, banjir, dan topan adalah peristiwa alam. Banjir dan gempa memiliki tempatnya sendiri. Keputusan manusia membangun infrastruktur serta berbagai fasilitas yang tidak memperhitungkan waktu, tempat, dan perilaku alamlah yang wajar dipersalahkan. Kebebalan untuk tidak belajar dari masa lalu itu patut disayangkan. Juga kebijakan publik (termasuk gereja) yang setengah-setengah dalam menanggapinya, perlu terus diingatkan untuk ditingkatkan.
Kamus sering memerangkap masyarakat dalam konsep yang terhegemoni dari status quobudaya bencana sebelumnya, sehingga masyarakat terjebak paradigma lama. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka Edisi 2005) mendefinisikan bencana alam sebagai ’bencana yang disebabkan oleh alam seperti gempa bumi, angin besar dan banjir’, sedangkan bencana dimaknai ’sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan; kecelakaan; bahaya’.
Menarik ditelaah. Jika banjir dan gempa tidak menimbulkan kerugian, artinya banjir dan gempa pada dirinya sendiri adalah fenomena alam. Adapun bencana sendiri adalah peristiwa yang melibatkan manusia. Manusialah yang memutuskan untuk membangun rumah dengan kualitas yang (terpaksa) dipilihnya. Bila karena keterbatasan ekonomi dan pengetahuan tentang aplikasi mitigasi gempa, seseorang tidak memiliki banyak pilihan selain membangun dan tanpa disadari dalam lintasan waktu, beririsan dengan kejadian gempa besar. Rumah pun runtuh menimpa penghuninya yang bersusah payah membangunnya.
Teologi bencana yang emansipatif?
Pengalaman kita, yang ditopang oleh ilmu pengetahuan, menyarankan bahwa ancaman dalam wajah gempa, tsunami maupun banjir, siklon dan sebagainya bisa datang kapan saja, dengan frekuensi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Pertanyaanya, langkah antisipatif apa yang dipersiapkan Lembaga agama dalam melindungi umatnya dan sesamanya?
Mencari format teologi bencana yang antisipatif sekaligus emansipatif kerap dituduh sebagai antroposentris dan harus berhadapan dengan kelompok tradisional yang menekankan perlunya teosentris. Mengapa yang teosentris kerap menampakan wajah Tuhan yang sangar dengan membangun episode pembiusan kesadaran manusia dengan membuang semua tanggung jawab manusia (baca ekonomi politik) sebagai ‘kehendak’ Tuhan?
Seharusnyat tidak sulit. Bukan hal yang baru. Di luar sisi magis-nya, kembali ke 4000 tahun lalu, di mana Yusuf harus membuat keputusan ekonomi politik dengan menyiapkan lumbung gandum di Mesir demi menyelamatkan generasinya dari ancaman kekeringan yang melaparkan.
Seharusnya teologis yang emansipatif dimungkinkan. Atau lebih tepatnya, teologis seharusnya juga emansipatif bukan pasifikasi apalagi membius kesadaran kritis umat manusia.
******
Note: Bagian ini dan paragraph berikutnya diambil dari tulisan penulis di Kompas berjudul “Alam Tak Pernah Membangun Rumah” Edisi 15 September 2007.