Penulis: Wanto Menda
Koleksi Foto: Pdt. Boy Takoy
KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Terlahir dari keluarga beragama Katolik, Anderias Nabunome (60) tak pernah menyangka cita-citanya menjadi sopir sejak kecil adalah cara Tuhan menghantarnya untuk mengabdi di Kantor Majelis Sinode (MS) GMIT.
Saat usianya 10 tahun, ayahnya meninggal dunia. Lantaran itu, Pater Anton Jansen yang baik hati menerimanya tinggal di pastoran. Lulus Sekolah Dasar, ia dikirim Pater Anton belajar mengemudi di Atambua. Hingga suatu waktu di tahun 1979 mobil hardtop milik MS GMIT mogok di dekat rumahnya. Ia berhasil memperbaiki mobil tersebut. Peristiwa ini menjadi titik awal ia dipanggil bekerja di kantor sinode GMIT. Tak banyak orang tahu ia menjadi satu-satunya warga Katolik yang bekerja di kantor sinode GMIT selama hampir 38 tahun.
Mobil Macet Dekat Rumah
Senin siang itu, ia dibangunkan kakaknya. “Ande…fen…fen he mnao’m iup hau no (Ande, bangun dan pergi potong daun untuk sapi).“ Ia bergegas bangun dari tidur walaupun terpaksa karena masih mengantuk. Sebelum beranjak, kakaknya bilang, “Ande, di bawah sana ada oto yang mogok, lu pi liat coba.”
Dari jauh, Ande melihat sebuah mobil hardtop warna hijau lumut berhenti di pinggir jalan. Setelah mendekat tampak sang sopir berusaha menghidupkan mobil berkali-kali. “Krocok, krocok, krocok, lalu mobil mati. Start lagi, krocok, krocok, krocok, mati lagi. Saya dalam hati, aduuh… kalau aki (accu) habis, lama-lama ini orang dong susah.”
Ia meminta sopir yang yang dikenalnya bernama Ipu Talan membuka kap mobil. Setelah memeriksa sebentar ternyata aliran bahan bakar ke karburator tidak berfungsi normal. Pemuda 18 tahun ini berusaha semampunya membantu sang sopir namun hingga menjelang malam upaya memperbaiki mobil milik kantor Majelis Sinode (MS) GMIT yang ditumpangi Pendeta Johanis Kalemudji dan Johanis Boesday, masing-masing sekretaris dan bendahara MS ini tidak bisa hidup. Tidak ada pilihan lain, dua pejabat sinode GMIT ini akhirnya menginap di rumah Ande, malam itu, tahun 1979.
Masa Kecil Ande
Anderias Nabunome itulah nama lengkapnya. Ia tidak tahu persis kapan ia lahir lantaran tak punya surat permandian. Menurut ibunya, ia lahir 3 Mei 1958. Ande anak bungsu dari 10 bersaudara. Saat berusia 10 tahun, ayahnya meninggal dunia. Ketika itu ia baru kelas tiga Sekolah Dasar Katolik Oinlasi, kecamatan Amanatun Selatan-Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Sepeninggal sang ayah, Ande meninggalkan rumah dan meminta tinggal di Pastoran Katolik tidak jauh dari rumahnya. Ia diterima dengan baik oleh Pater Anton Jansen, imam asal negeri Belanda.
“Saya ke pastoran dan minta Pater Anton untuk tinggal di sana. Saya dan 4 orang teman tinggal sama-sama di situ sampai lulus SD. Malam itu, seusai ibadah, Pater tanya, kalian punya cita-cita apa? Tiga teman menjawab mereka mau melanjutkan sekolah. Tapi saya bilang ke Pater, saya mau jadi sopir oto.”
“Kamu mau jadi sopir? Tunggu nanti saya bantu kamu untuk kursus mengemudi,” begitu janji Pater kepadanya. Ia mengenang peristiwa itu sebagai moment yang sangat istimewa karena di usia yang baru menginjak remaja, ia segera mewujudkan cita-citanya yang sederhana nan mulia itu.
Dua bulan kemudian, Pater menyuruhnya untuk berangkat ke Pusat Pelatihan Mengemudi milik keuskupan Atambua di Nenuk.
Usai mengikuti kursus selama satu tahun antara tahun 1975 dan 1976 ia kembali ke pastoran di Oinlasi dan menjadi sopir Pater Yansen. Namun 6 bulan kemudian Pater dipindahtugaskan kembali ke Atambua.
“Waktu Pater mau berangkat dia pesan saya bilang, engkau tidak usah kuatir, sekarang kamu sudah punya keterampilan. Kalaupun nanti Pater yang ganti saya di sini tidak butuh sopir, paling tidak kamu sudah punya pengalaman untuk dapat kerja,” kenang Ande pada Pater yang baik hati itu.
Dan benar saja, Pater pengganti yang datang, mengemudi sendiri mobil. Ande pun kehilangan pekerjaan. Lantaran itu, ia kembali ke rumah. Mengurus kebun, memelihara sapi menjadi kesibukannya sehari-hari. Hingga tibalah peristiwa hari Senin siang dimana mobil MS GMIT macet dekat rumahnya. Inilah peristiwa yang mengubah separuh jalan hidupnya.
Dipanggil Jadi Sopir di Kantor Sinode GMIT
Kembali pada cerita mobil MS GMIT yang mogok. Esok pagi-pagi ia menghadap suster dan meminta selang infus bekas. Dengan barang ini ia mencari akal agar aliran bahan bakar bisa masuk ke karburator dengan lancar. Setelah terpasang ia menghidupkan mobil. Dan, puji Tuhan mobil pun hidup.
Koleksi Foto: Pdt. Boy Takoy
“Saya juga heran, mobil baru hidup di jam yang kira-kira sama dengan saat macet kemarinnya. Mungkin itu juga cara Tuhan. Dengan waktu perbaikan yang lama itu justru menjadi kesempatan bagi saya untuk mengenal Bapak Bendahara dan Sekretaris Sinode GMIT dan sebaliknya mereka juga kenal saya,” ujarnya berefleksi.
Setelah semua sudah beres ia mengantar Pak Boesday dan Pak Kalemudji ke rumah Pendeta Tahun (ayah dari Pdt. Yani Tahun, sekarang Ketua Klasis Kuanfatu). Waktu itu ia menjabat Ketua Klasis wilayah Amanatun.
“Sampai di rumah, Bapak Tahun bilang kepada Pak Kalemudji supaya saya saja yang antar mereka ke Santian karena kondisi jalan rusak berat. Memang, Bapak Tahun sudah lama kenal saya karena beliau sering datang bertamu di Pater Anton. Jadi saya yang ambil alih jadi sopir sekaligus ikut kegiatan selama dua hari di Santian,” lanjutnya.
Sepulang dari kegiatan tersebut Pak Boesday berpesan kepada Ande kalau sekali waktu datang ke Kupang boleh singgah di kantor Sinode GMIT di Oeba.
Dua minggu kemudian Ande diajak 2 teman sesama sopir mengantar kayu cendana ke Kupang. Ia gunakan kesempatan itu berkunjung ke Sinode GMIT sebagaimana janji Pak Boesday. Sayang sekali, lowongan kerja menjadi sopir di kantor sinode baru saja diisi oleh orang lain satu minggu sebelumnya.
“Saya bertemu dengan Pak Kalemudji. Bapak tua bilang: aduh Adik kami sangat butuh Adik punya tenaga untuk sopir di sini, tapi minta maaf, baru minggu lalu ada orang yang sudah masuk. Jadi saya hanya bilang, tidak apa-apa Bapak, saya memang datang ke sini bukan untuk cari pekerjaan tapi kebetulan kami antar barang di toko jadi saya hanya singgah sebentar. Lalu beliau pertemukan saya dengan Pak Boesday dan saya disuruh tanda-tangan kuitansi. Saya diberi uang 15 Ribu Rupiah. Waaah…itu pertama kali dalam hidup, saya terima uang dalam jumlah banyak. Saya senang bukan main. Bayangkan waktu itu ongkos transport Oinlasi – Kupang Seribu Rupiah. Setelah terima uang saya dan dua teman yang tunggu di luar langsung kami pesta makan es,” ujarnya sambil tertawa.
Sekitar 1 bulan kemudian Ande bertemu Pendeta Otu di pasar Oinlasi. Ia dikabari bahwa ada radiogram dari Majelis Sinode GMIT agar segera menghadap. “Waktu bertemu Bapak Pendeta Otu, itu Sius Otu yang penyanyi punya bapak, bilang ada radiogram dari sinode agar segera menghadap. Jadi beta jawab bapatua bilang, beta ini siapa ko suruh menghadap? Saya tidak mau pergi.”
Pada hari pasar minggu berikutnya, ia menerima surat dari Majelis Sinode GMIT. Nota Dinas bertanggal 20 November 1979 itu berisi permintaan kepada Anderias Nabunome untuk segera ke Kantor Sinode GMIT di Jln. A. Yani nomor 35, Oeba-Kupang.
Om Ande terdiam sejenak. Ia mengambil sesuatu dari dalam saku bajunya. Ia perlihatkan sebuah amplop putih yang sudah berubah warna menjadi kecoklatan termakan usia. Rupanya ia masih menyimpan surat tersebut selama 38 tahun lengkap dengan amplop bercap Majelis Sinode GMIT.
“Ini Nota Dinas yang sinode kirim kasi saya waktu itu. Mungkin saya satu-satunya karyawan di Kantor Sinode GMIT yang dapat Nota Dinas.”
Mendapat tawaran kerja di Kota Kupang tentulah menyenangkan banyak orang, akan tetapi tidak bagi Ande. Seterimanya surat itu, justru muncul soal baru: Ia tidak punya keluarga di Kupang. Dimana nanti ia tinggal? Siapa yang nanti jaga ibunya? Surat panggilan itupun diabaikannya.
Terima Kunci Mobil
Kira-kira sebulan kemudian, Wakil Ketua Sinode GMIT Pdt. Deker Mauboi, mengadakan visitasi di Ki’e. Jarak kampung Ki’e dengan Oinlasi kurang lebih 4 kilometer. Pdt. Deker menugaskan sopirnya untuk bertemu Ande dengan satu pesan, “Pergi cari Ande Nabunome di Oinlasi dan serahkan kunci oto. Bilang, tolong bawa ini oto. Wakil Ketua Sinode tunggu di Ki’e, dan hari ini harus ke Kupang” begitu ia menirukan pesan yang disampaikan sopir Pdt. Deker kepadanya.
“Setelah terima kunci saya bingung harus bilang apa dengan Mama. Jadi saya bilang, Mama, saya mau ke Kupang. Lantas Mama bilang, lu mau pi tapale’uk apa di Kupang. Nanti kalau lu jalan beta yang harus naik pohon untuk potong daun kasi sapi? Lalu saya bilang, Mama tidak usah kuatir saya pergi 3 hari saja.”
Tak disangka kepergiannya ke Kupang kali ini mengubah jalan hidupnya. Mula-mula ia ditugaskan menyetir mobil Jeep Wilis dari Bendahara MS GMIT, Johanis Boesday.
“Sebagai warga Katolik saya tidak minta kerja di kantor sinode GMIT. Kalau saya ada di sini itu semata-mata karena Tuhan yang mengaturnya. Saya tidak lihat gereja, tapi saya lihat Tuhan Yesus yang panggil,” begitu ia memaknai panggilannya.
Melalui pekerjaannya, Om Ande menjadi akrab dengan pimpinan-pimpinan sinode GMIT selama hampir 40 tahun. Selain Pak Boesday, secara berturut-turut ia menjadi sopir untuk Pdt. Johanis Kalemudji, Pdt. Yes Sabuna, Pdt. Semuel Nitti, Pdt. Benyamin Fobia dan Pdt. Ayub Ranoh.
Gadis Kecil Itu Menjadi Ketua Sinode GMIT
Ada hal luar biasa yang tak pernah ia duga akan terjadi dikemudian hari. Tahun 1980-an seingatnya beberapa kali seorang gadis kecil sekampungnya menumpang mobil hardtopnya ke Niki-Niki, kampung dekat So’e. Om Ande mengenal gadis ini sebagai anak Dansek (komandan sektor). Gadis itu bernama Mery Kolimon. Ayahnya seorang polisi yang bekerja di wilayah Amanatun.
“Bagaimana Om Ande kenal Ibu Mery Kolimon?” Tanya saya.
“Ibu Mery punya bapak itu Dansek. Siapa yang tidak kenal? Kalau tidak salah ingat, waktu Ibu Mery masih SD atau SMP kalau libur mereka numpang dengan saya jenguk nenek.
Senin (7/5), gadis kecil yang kini menjabat sebagai Ketua Majelis Sinode GMIT menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada Om Ande.
“Saya dan Om Ande satu kampung. Ketika libur natal dan tahun baru kami bisa ikut dari Niki-Niki ke Oinlasi walaupun oto sesak. Itu berulang-ulang. Saya bersyukur ketika Om Ande menyelesaikan tugas di tahun 2018 ini, saya boleh ada bersama Om Ande dan mengucap syukur bersama-sama,” ujar Pdt. Mery mengenang masa kecilnya.
Hidup Ini Tuhan Yang Atur
Bersama istrinya Since Ketti, keluarga ini dikaruniai lima orang anak, masing-masing, Yanti, Margareta, Yanto, Elfina dan Yeni.
“Saya sangat merasakan kebaikan Tuhan kepada keluarga kami. Semua anak-anak saya lahir tepat disaat saya dapat tugas keluar daerah. Anak pertama lahir pas sidang sinode di Sabu. Tapi Tuhan sertai dan pelihara kami dengan baik. Saya selalu ingatkan anak-anak bahwa kita hidup dari kolekte jemaat jadi dalam susah maupun senang tetaplah percaya pada Tuhan bahwa Dia pelihara kita.”
Tahun 2012 yang lalu Mama Since telah berpulang ke rumah Bapa di Sorga. Bagi Om Ande hidup adalah kesempatan bekerja bagi kemuliaan Tuhan. Tidak ada pekerjaan yang rendah apalagi hina jika Tuhan yang menghendaki kita melakukannya. Warga Paroki Fransiskus Asisi BTN-Kolhua ini berpesan, “Jangan pernah tanya upah berapa kalau mau kerja untuk Tuhan. Karena bisa jadi Tuhan menyediakan hal yang lebih besar dari yang kita minta hari ini di masa yang akan datang.” ***