Khotbah Pemakaman Pdt. Emr. Ishak Nikolas Frans, S.Th
Amos 5:7-13 & 21-24
(Pdt. Dr. John Campbell Nelson)
Melihat wajah anda, sangat terasa bahwa setiap manusia bukan seorang diri tapi mengandung di dalamnya sebuah persekutuan yang luas. Alumni dari Alfa Omega dan PLKK sebelumnya, orang-orang dari berbagai Yayasan dan LSM, persekutuan orang asal Maluku, keluarga Frans dan Daniel dan banyak orang yang mungkin sudah lama tidak baku lihat berkumpul karena kita semua terikat pada Bu Itja. Kita semua merenungkan makna Bapak Itja Frans dalam kehidupan kita dan pasti renungan anda akan berbeda dari pada yang saya sampaikan, namun semuanya bersumber dari kekayaan hidup satu orang.
Kalau saya ingat Bu Itja dan buka Alkitab saya pasti ingat Amos. Bukan hanya karena ayat 24 ini agak kuat dalam hati Pak Itja, tapi mungkin juga karena Amos seorang petani dan peternak, aslinya, yang dipanggil dengan tidak terlalu rela juga untuk menjadi hamba Tuhan. Pak Itja adalah petani dan peternak dalam hatinya dan selalu ada sedikit perasaan bahwa bagaimana Tuhan tangkap dia untuk jadi pendeta.
Kemarin malam saya ikut ibadah penghiburan, saya dapat lihat Pak Itja dalam toga. Itu saya hanya lihat 2 atau 3 kali dalam 35 tahun kami kenal. Saya jarang lihat Bu Itja pakai toga, tapi kependetaannya selalu melekat. Tidak sebatas kain yang dipakai, tapi apa yang selalu menjadi motivasi di dalam hatinya itu yang tidak pernah lepas.
Bacaan tadi juga membuat saya ingat Pak Itja secara khusus. Amos bicara mengenai orang yang bijaksana akan berdiam diri pada masa yang jahat. Kejahatan yang Amos hadapi adalah kejahatan pada jaman raja Yerobeam. Waktu itu ada sebuah pola ekonomi di mana para petani diperas untuk menyerahkan sebagian dari panen gandumnya supaya orang-orang bangsawan bisa jual kepada pedagang dari Mesir dan Asyur dan mereka beli barang-barang mewah. Bangun rumah yang mewah juga. Waktu yang jahat yang Bapak Itja hadapi adalah waktu yang mulai dari tahun 65 sampai 98 dengan kemunduran presiden Soeharto. Kejahatan yang dialami juga sama. Rakyat diperas untuk menyerahkan sumber dayanya supaya para pejabat boleh kaya.
Amos mengatakan orang yang bijaksana akan berdiam diri pada saat itu. Yang sangat mengesankan adalah Bu Itja mencari cara berdiam diri secara kreatif. Dia sudah lebih dulu berdiam diri secara sia-sia ketika dia menjadi utusan golongan di DPRD. Bersama dengan Pak Albinus Netti ko? Saya masih ingat percakapan dengan Pak Itja tentang masa itu dan dia bilang sia-sia kita pergi karena tidak bisa omong apa-apa. Tidak ada pengaruh juga.
Ada caleg di sini ko? Tidak usah angkat tangan. Saya hanya mau bilang bahwa pengalaman anda lebih baik dari pengalaman Bapak Frans karena ini sebuah zaman yang baru dengan harapan yang baru juga. Tapi yang Bu Itja buat banyak sekali pengaruhnya. Dia menjadikan Yayasan Alfa Omega sebagai sebuah basis perlawanan yang diam-diam. Tempat di mana sambil belajar bertani tapi juga orang bisa juga belajar keadilan. Sambil belajar pengobatan tradisionil dia juga belajar haknya. Sambil mengeluh hasil jagung yang tidak memuaskan dia juga bisa mengeluh tentang keadilan yang dia hadapi. Dan sambil menyusun strategi bertani dengan lebih baik orang bisa juga kumpul kekuatan untuk melawan ketidakadilan.
Semuanya dengan cara yang tidak rebut. Tidak terlalu menarik perhatian yang luas. Tetapi diam-diam juga pengaruhnya menjadi luas. Dari berbagai negeri Bu Itja punya bahasa Inggris bagus jadi dia tidak ragu-ragu untuk terima relawan dari Inggris, Australia, Amerika dan secara nasional Pak Itja juga kumpul orang yang sangat kreatif untuk mencari jalan keadilan dan jalan pembaharuan.
Saya mau baca dari kenangan Ibu Galuh Wandita karena bagian ini mungkin dari Bu Itja tidak terlalu diketahui umum. Ini renungan Galuh sebagai seorang aktivis HAM yang sekarang ada di lembaga namanya AJAR, Asia Justice and Rights, yang memperjuangkan HAM di Indonesia, Myanmar, Timor Leste dan Srilanka. Ini tulisannya: Kenangan atas kebersamaan di Alfa Omega waktu itu dia baru selesai dari universitas.
“Seribu tahun yang lalu (rasanya) disebuah pulau penghujung Timur, sebuah rumah belajar menjadi tempat membangun mimpi untuk perubahan. Pak Icha Frans mengumpulkan orang-orang muda pemimpi, dari berbagai pelosok di NTT, sambung-menyambung sampai ke Papua, Timor-Timur (waktu itu), Maluku, bahkan Siborong-borong. Erwin Panjaitan menjadi temannya bercengkerama dan menabur benih, bersama Toto Rahardjo, Roem Topatimasang, dan banyak lagi. Sebuah kursus 3 bulan untuk pendamping kampung menjadi sekolah untuk para aktivis yang kini masih berkarya, dari Sabang sampai Merauke. Menundukkan kepala karena hari ini kita kehilangan Pak Icha, tetapi suara dan tawanya terus terdengar di dalam hati nurani kita. Menjadi pandu, Bapakku Icha Frans…pergi dengan tenang, titip salam untuk Erwin. Alfa dan Omega…yang pertama dan terakhir.”
Perasaan seperti itu ada di hati banyak orang. Dari ruang yang diciptakan oleh Bapak Itja lahir banyak wujud pengabdian pada keadilan. Dulu ada Cinta Damai, Pak Tomas Klau, rumahnya tidak jauh dari sini, itu salah satu yang awal. Kemudian datang Yayasan Haumeni, Sanggar Suara Perempuan, PIAR, Pikul, sampai sekarang ada Yayasan Citra Hidup. Banyak sekali cucu dari karya Bapak Itja. Dia yang menciptakan ruang dan buka ruang untuk orang muda banyak belajar. Banyak pendeta mungkin baru pertama kali menemukan kata holiastik dalam pelatihan penggerak sumber daya masyarakat, ada juga anak-anak Kupang yang baru pertama kali raba tanah ketika dia ikut pelatihan itu. Pengaruh kata besar dalam waktu yang jahat telah memberi sumbangan yang luar biasa pada GMIT masa kini.
Dalam pelayanan seperti ini Bapak Itja memperluas pemahaman kita tentang apa itu seorang pendeta dan apa yang perlu dituntut dari seorang pelayan GMIT. Tidak cukup dia berdoa berkhotbah dan pimpin lagu, harus ada juga sebuah keterampilan sebuah kemampuan yang bisa dia sumbangkan bagi jemaat demi pengembangan ekonomi dan kehidupan bersama. Dalam proses itu Pak Itja juga memperluas visi kita tentang gereja. Apa yang seharusnya gereja lakukan.
Ada sebuah bahasa yang dulu kita dengar, akhir-akhir ini kita dengar lagi, gereja jangan jadi LSM. Pak Itja agak jengkel dengan bahasa semacam itu. Saya juga masih dengar bahasa itu “gereja jangan jadi LSM”. LSM itu artinya apa? Lembaga Swadaya Masyarakat. Saya mau tanya dulu, jemaat bangun gedung ini swadaya ko? Swadaya jemaat? Bayar gaji pendeta dari pemerintah atau swadaya? Saudara-saudara, gereja adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang paling besar di NTT. Tidak ada yang bisa menandingi sedikit pun. Memang gereja lebih dari LSM tapi paling sedikit dia adalah LSM.
Kita berhadapan sekarang juga seperti yang dihadapi Amos. Bukan soal gereja lembaga jenis apa? Lembaga agama murni atau lembaga LSM apa, tapi apa yang harus kita kerjakan dengan kekuatan yang begitu besar yang ada pada gereja? Apa yang harus kita kerjakan?
Untuk itu kita tanya pada Tuhan Allah dan berapa kali Allah bilang bikin PESPARAWI dan menyanyi terus dan puji Saya? Berapa kali Tuhan Allah bilang bikin Gedung gereja yang besar sekali. Dan berapa kali Tuhan Allah bilang biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan turun seperti sungai yang selalu mengalir?
Kita belajar dari Tuhan apa yang harus kita kerjakan. Saya tidak omong hal yang negativ terhadap paduan suara kita. NTT, GMIT, punya paduan suara kelas dunia. Kita duduk lihat mereka menyanyi kita menangis karena hati tersentuh, tapi kenapa kita tidak punya pelayann diakonia yang kelas dunia? Sekolah-sekolah yang juga kelas dunia? Itu ketegangan yang ada di dalam gereja dan itu sebabnya orang yang sudah dengar suara Amos kalau duduk disebuah ibadah dalam sebuah gedung gereja yang besar dan indah dilayani oleh pendeta-pendeta yang pakai seragam yang mengkilat dengan sound system yang luar biasa, kami rasa gelisah. Bukan tolak, tapi rasa gelisah jangan sampai yang begini yang Tuhan benci. Bukan ibadahnya, tapi pemisahan antara keadilan dan pujian antara etika dan ibadah. Itu hal yang saya kira semua yang belajar berteologi bersama Bapak Itja menyadari bahwa beliau mendengar baik-baik suara Amos.
Ada yang bilang pekerjaan Pak Itja sudah lunas, sudah genap pengabdiannya. Saya kira lebih tepat kita mengatakan, Bapak Itja jadi tua, sudah tidak kuat lagi untuk lanjutkan. Gigi sudah pergi satu persatu, telinga juga sudah KO, pekerjaanya tidak selesai karena keadilan belum bergulung-gulung seperti air, tapi Bapak Itja memandang ke depan juga dan lihat sekelilingnya ada yang meneruskan. Ada pembaharuan di Yayasan Alfa Omega, ada Kompastani (Komunitas Pendeta Suka Tani), coba kalau Kompastani sudah ada dari 20 tahun yang lalu pasti sekarang talaluhebat. Syukur sekarang sudah ada. Ada Rumah Harapan, ada banyak sekali anak cucu yang melanjutkan panggilan dan pekerjaan yang Bu Itja dengar dari Amos. Ibu Susi, Thobi, Katie, anak-anak dan cucu, semua yang hadir di sini akan rindu Bapak Itja. Tidak seperti anda, tapi tahu saja dalam hati banyak orang, “Opa-mu masih hidup”. Hidup, perjuangan untuk keadilan dan kebenaran. Amin.