Hikmat Bagi Penyelenggaraan Negara/GMIT
1 Raja-Raja 3:1-14
Problem sebuah pemerintahan bukan sekedar persoalan kemiskinan, kebodohan, rendahnya derajat kesehatan masyarakat dan sebagainya. Tapi itu terutama berkaitan erat dengan kerelaan mendengarkan suara Tuhan, juga suara rakyat tentang semua hal tersebut. Hanya dengan begitu seorang pemimpin memiliki hikmat sorgawi untuk mampu mengambil keputusan ilahi guna menangani persoalan-persoalan bangsa dengan prioritas yang benar dan dengan langkah yang tepat. Ini adalah salah satu pesan penting yang mau disampikan bacaan ini.
Narasi ini disajikan pada kita dalam dua latar belakang utama yang sedang menghangat dalam pemerintahan Israel. Pertama, raja Salomo sedang berhadapan dengan suksesi kerajaan. Bacaan kita adalah kisah Salomo di awal karir pemerintahannya. Ia baru saja menjadi Raja Israel setelah menang persaingan atas kakak tirinya Adonia. Dua pasal pertama kitab 1 Raja-raja penuh dengan ketegangan dan intrik untuk mencapai tahta raja dan mengamankan posisinya.
Kedua, Salomo sedang melakukan konsolidasi pemerintahan. Pasal 2:13-46 menunjukkan upaya-upaya sang raja melakukan konsolidasi internal pemerintahan. Pejabat yang membelot seperti panglima Yoab, imam Abyatar, dan yang lainnya dilengserkan bahkan dibunuh. Sementara konsolidasi eksternal dilakukan Salomo dengan membangun aliansi politik, ekonomi dan militer dengan negara tetangga. Ini nampak antara lain dari laporan pernikahan Salomo dengan putri Firaun (3:1), meskipun hukum Taurat melarang pernikahan dengan wanita kafir (Ulangan 7:3-4). Menikahi anak gadis Firaun adalah bagian dari strategi politik Salomo demi konsolidasi kekuasaan dan menjaga perdamaian. Firaun tidak mungkin menyerang kerajaan di mana putrinya menjadi ratu.
Apakah strategi Salomo ini sudah tepat untuk memulai pemerintahannya? Ini diuji melalui pertanyaan Allah kepadanya, “Mintalah apa yang hendak kuberikan kepadamu” (3:5). Pertanyaan ini adalah cara Allah untuk mengetahui apa yang diinginkan Raja Salomo di saat menghadapi suksesi dan konsolidasi di kerajaannya.
Tawaran Allah ini berdimensi ganda. Di satu sisi, tersirat bahwa Allah akan memberikan apapun yang Salomo inginkan. Itu adalah anugerah yang besar bagi Salomo. Namun demikian, pertanyaan ini juga Allah maksudkan untuk mengetahui orientasi pemerintahan Salomo. Apa yang akan ia minta dari Allah menunjukkan titik berat sang raja dalam memimpin bangsanya.
Jawaban Salomo menunjukkan fokus pemerintahannya: “Maka berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini?” (3:9)
Salomo meminta “hati yang paham”. Ini secara harafiah berarti hati yang mendengarkan. Salomo meminta Allah menganugerahinya hati yang mampu mendengar suara Allah, juga suara penderitaan dan jeritan rakyatnya. Dan itu menyenangkan hati Tuhan (3:10). Banyak pemimpin peka terhadap suara rakyat, namun tuli terhadap suara Tuhan. Ada yang sebaliknya, hanya peka terhadap suara Tuhan namun gemar mengabaikan suara rakyat. Yang lebih gawat lagi ialah orang yang tuli terhadap keduanya.
“Hati yang paham” bukanlah sekedar tentang menemukan jawaban, memecahkan masalah, menemukan solusi untuk persoalan yang paling menantang di dalam masyarakat. “Hati yang paham” disini terutama adalah kemampuan memahami rencana dan tujuan Tuhan untuk sebuah bangsa, kesediaan untuk menjadi bagian dari rencana itu dan untuk mewujudkanNya. Pengutamaan rancangan Allah bagi kebaikan bangsa ini amat penting bagi sang raja guna menghindari keinginan pribadinya selaku pemimpin, yang seringkali tak terkendali dan menyesatkan. Pengalaman bernegara seringkali memperlihatkan betapa dominannya kepentingan pribadi/keluarga/kroni seorang pemimpin daripada kepentingan umum sehingga menjerumuskan bangsanya dalam praktek kolusi, korupsi dan nepotisme.
Salomo menyadari bahwa kunci utama dari kemajuan sebuah negara adalah “hati yang paham.” Inilah pesan Alkitabiah yang bisa dipakai orang Kristen di Indonesia untuk memberi makna pada slogan “Revolusi Mental”, yang dicanangkan Presiden Jokowi. Transformasi hati adalah prasyarat utama pembangunan sebuah bangsa. Hanya dengan hati yang dibaharui, semua karsa dan karya pembangunan akan berjalan menuju sasaran yang tepat.
Salomo tidak mengecewakan Allah dengan permintaan egois. Allah mendaftar beberapa permintaan egois yang biasa diminta oleh para raja kepada dewa mereka, yakni umur panjang, kekayaan dan kemenangan atas musuh (3:11). Allah memuji Salomo karena tidak meniru kebiasaan para raja di sekitarnya, tetapi meminta hal yang jauh lebih penting.
Saat permintaan Salomo menggambarkan orientasi pemerintahannya secara benar, maka Allah memperluas cakupan berkatnya terhadap hal-hal yang jauh melebihi permintaannya. Permintaan Salomo hanyalah “hati yang paham”, namun Allah menganugerainya berbagai berkat, bahkan yang tidak diminta sekalipun. Kemampuan memilih prioritas ternyata sangat penting bagi seorang pemimpin, karena dapat berpengaruh pada banyak dimensi kehidupan berbangsa, juga bagi pribadi sang pemimpin.
Sayangnya, saat masih seorang pemuda, Salomo meminta Allah untuk membantu dan membimbingnya karena kesadaran bahwa ia tidak bisa melakukannya sendiri. Di kemudian hari, ketika ia memiliki lebih banyak pengalaman, ia mulai sombong dan berpikir bahwa ia telah mendapatkan semua kebijaksanaan yang dimilikinya. Dia sampai ke titik di mana ia merasa bahwa ia tidak membutuhkan Allah lagi. Dia lupa dari mana itu semua berasal. Ia mengandalkan perjanjian dengan negara-negara dan bukannya mengandalkan Tuhan.
Meskipun kebijaksanaannya luar biasa, Salomo menjadi terpikat oleh kesuksesan, kekayaan dan kekuasaan. Semua ini pada akhirnya justru meredupkan relasinya dengan Tuhan. Keberhasilan duniawi menyebabkan berkurangnya kesetiaan dan hubungan sang raja dengan Allah. Kemampuan intelektualnya yang besar dan pengetahuannya yang luas, menyebabkan Salomo menjadi “terlalu bijaksana untuk kebaikannya sendiri” dan gagal menjadi seorang wakil Tuhan yang baik bagi bangsanya. Ini adalah kesalahan yang cenderung dibuat oleh banyak pemimpin. Memulai bersama Tuhan, namun menjalani dan mengakhirinya bersama Iblis.
Kegagalan rohani dan hikmat duniawi yang menguasai sang raja menghasilkan kehilangan perhatian akan kebutuhan rakyatnya, terutama rakyat biasa. Tidak mengherankan bahwa setelah kematian Salomo, sebuah delegasi dari suku-suku utara mengeluh kepada putranya, Rehabeam, tentang kesalahan Salomo: “Ayahmu telah memberatkan tanggungan kami, maka sekarang ringankanlah pekerjaan yang sukar yang dibebankan ayahmu dan tanggungan yang berat yang dipikulkannya kepada kami, supaya kami menjadi hambamu” (1 Raja 12:4).
Semua ini berfungsi sebagai peringatan buat para pemimpin negara hari ini, termasuk pemimpin kristen. Keadaan hubungan kita dengan Tuhan adalah sangat penting. Keberhasilan dan kesenangan duniawi serta kurangnya kepatuhan terhadap standar Tuhan dapat dengan mudah menyebabkan kompromi spiritual dalam kehidupan seorang pemimpin. Kegagalan spiritual tidak hanya merusak kehidupan pribadi, tetapi juga dapat memiliki efek yang merugikan kehidupan berbangsa.
Benarlah apa yang dikatakan Alkitab. Kecerdasan bawaan manusia, pendidikan formal, atau akumulasi pengalaman tidak dapat menjamin kebijaksanaan sejati. Kosakata alkitabiah untuk kebijaksanaan dengan tegas menyebutkan bahwa hikmat sejati dimulai dalam rasa takut akan Tuhan (Amsal 1:7).