Berbicaralah Tuhan, Sebab hamba-Mu Ini Mendengar

Berbicaralah Tuhan, Sebab hamba-Mu Ini Mendengar (1 Samuel 3:1-21)

Hari ini kita memasuki minggu pertama bulan keluarga dan bersamaan dengan pembukaan bulan keluarga hari ini kita juga akan menahbiskan dua orang vikaris ke dalam jabatan pendeta.

Menandai pembukaan bulan keluarga dan pentahbisan pendeta pagi ini kita telah membaca Firman TUhan dari 1 Samuel 3:1-21. Secara singkat pembacaan Firman Tuhan ini berbicara tentang panggilan Tuhan kepada anak kecil yang bernama Samuel untuk menjadi nabi serta tanggapan sang anak terhadap panggilan itu. Tanggapan Samuel ini menjadi tema khotbah. “Berbicaralah Tuhan, sebab hamba-Mu ini mendengar”.

Karena kita sedang menjalani bulan keluarga maka saya mau menjelaskan sedikit tentang latar belakang teksnya. Pasal 1 dan 2 berbicara tentang dua keluarga yaitu, Eli yang tinggal di Silo dan Elkana yang tinggal di pegunungan Efraim. Jadi kedua keluarga. Keluarga atau Eli sendiri bekerja sebagai seorang imam di Bait Allah Silo sedangkan Elkana dan Hana adalah orang biasa, mereka adalah petani yang tingggal di Pegunungan Efraim.

Kedua keluarga ini mempunyai anak-anak juga. Imam Eli memiliki dua putra yakni Hofni dan Pinehas. Sedangkan Elkana dan Hana memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Samuel. Kalau kita baca latar belakang Samuel, ia lahir sebagai hasil pergumulan ibunya Hana, yang mandul. Hana seorang yang banyak bergumu berdoa. Kita tidak melihat petunjuk bahwa Elkana juga rajin berdoa tapi bahwa dia hadir senantiasa dalam upacara-upacara ibadah di Bait Allah di Yerusalem. Dua keluarga ini menunjukan kepada kita dua fakta. Pertama, sang imam meskipun rajin memimpin ibadah-ibadah di Bait Allah di Yerusalem dan Silo, dan rajin menyampaikan khotbah-khotbah tetapi kehidupan keluarganya kacau-balau. Kedua anaknya Hofni dan Pinehas terkenal sebagai orang-orang yang suka mencuri dan melakukan seks bebas dengan jemaat. Mereka mencuri persembahan-persembahan yang dibawa oleh umat Tuhan ke Bait Allah untuk dipersembahkan kepada Tuhan bahkan ketika orang menyiapkan makanan untuk dipersembahakan justru mereka pakai garpu dan curi makanan.

Ini gambaran tentang kegagalan seorang hamba Tuhan yang setia menyampaikan Firman Tuhan tetapi tidak mampu mendidik anak-anaknya. Sebaliknya kita juga mendengar tentang Elkana dan keluarganya. Hana sekali lagi adalah ibu yang sederhana dan rajin berdoa. Yang mengherankan saya ialah dia bisa mengajarkan kepada imam Eli bagaimana cara berdoa yang baik. Karena pada masa itu orang berpikir bahwa doa yang didengar Tuhan adalah berdiri di depan Bait Allah dan teriak-teriak. Tetapi Hana mengajarkan kepada Eli berdoa bisa bisik-bisik juga. Tuhan dengar doa yang disampaikan dengan tulus.

Reaksi imam Eli terhadap cara berdoa Hana mengejutkan. Ia menuduh Hana sebagai orang yang kurang waras. Mulutnya komat kamit di depan altar tetapi sebenarnya itu adalah cara Hana berdoa. Berbisik. Menyampaikan keluh kesahnya yang dirasakannya. Pada gilirannya, Tuhan mengaruniakan seorang anak. Sebelumnya, Hana dalam doa berjanji kepada Tuhan, jika Tuhan memberikan seorang anak kepadanya dia akan menjadikannya sebagai hamba Tuhan. Dan singkat cerita setelah Semuel lahir, dia diserahkan sebagai anak dari imam Eli di Silo.

Kita baca bahwa kalau Tuhan membuat perkara luar biasa yang bisa menggoncangkan Israel, di situ letak persoalannya. Bahwa Tuhan tidak mau hanya mewariskan jabatan imam kepada orang-orang yang tidak menjaga kekudusan keluarga. Mereka harus hidup secara baik dan benar di hadapan Tuhan. Supaya nama Tuhan tidak dipermalukan dan karena itu Tuhan memilih orang dari luar golongan imam. Itu yang menggoncangkan Israel.

“Berbicaralahlah ya Tuhan sebab hamba-Mu ini mendengar.” Membaca cerita ini seperti membaca sebuah drama dengan adegan-adegan. Tetapi kita terpaku dengan kalimat ini, “Berbicaralah Tuhan sebab hamba-Mu ini mendengar.” Apa maksud kata-kata ini? Di dalam kalimat yang singkat ini Samuel menempatkan diri sebagai hamba Allah dan Tuhan dianggap sebagai Raja dan Tuhan tempat dia mengabdikan dirinya dan hidupnya. Dia tidak mensejajarkan diri sebagai Tuhan, atau bapak sekalipun tapi dia menempatkan diri sebagai hamba Tuhan yang siap untuk mendengar dan mengabdi kepada Tuannya. Ada kerendahan hati dan kesiapan hati untuk melayani dalam situasi apapun.

Kisah perjalanan hidup Samuel selanjutnya berisi kualitas kepemimpinannya antara lain; pelayanan, kesetiaan dan sikapnya melawan bahkan berhadap-hadapan dengan Saul tatkala Saul tidak melakukan Firman Tuhan. Ia tegar untuk mengatakan, hamba-Mu tetap mendengar dan mau mengabdi sekalipun ada ancaman ia teguh berpegang pada janjinya.  Ayat 11-14, dikatakan setelah 3 kali panggilan dan Samuel menjawab, “hamba-Mu mendengar”  maka di ayat 11-14 Tuhan menyampaikan alasan mengapa ia lebih cenderung memanggil atau menjadikan Samuel sebagai abdi-Nya dan bukan anak-anak Eli.

Di situ secara jelas dikatakan bahwa anak-anak anak Eli berbuat jahat kepada Tuhan tetapi yang lebih parah adalah Eli tidak marah kepada anak-anaknya. Eli membiarkan perbuatan anak-anaknya berlarut-larut dan merusak kekudusan Bait Tuhan. Itu sebabnya Tuhan lebih memilih Samuel dan tidak memilih anak-anak Eli. Di ayat 15-18, setelah Tuhan mengatakan alasannya Semuel kembali tidur dan pada esoknya, dia dikejar-kejar oleh Eli untuk memberitahukan apa yang Tuhan katakan semalam. Ada sedikit nada paksa, ayo kasitau…ayo kasitau… Tuhan bilang apa? Kenapa perlu dipaksa? Sebagai anak kecil tentu dia menghormati orang tua yang selama ini mendidiknya. Menghormati posisi sebagai imam yang terkenal selama ini yang sudah tua, karena itu ada sedikit keengganan untuk mengatakan. Karena itu menyangkut rahasia jabatannya sebagai imam. Tapi karena didesak terus akhirnya dia berani mengatakannya. Dia menceritakan apa adanya sesuai dengan yang Tuhan sampaikan kepadanya.

Kita melihat bahwa menjadi hamba Tuhan itu tidak gampang. Ada saat-saat di mana ada anggota jemaat yang terkenal dan punya pengaruh tersangkut masalah tertentu dan kita mau tegur tapi aduh…ini nanti berpengaruh. Ada orang yang kita anggap tua/kuat dan dia melanggar kehendak Tuhan, kita harus bilang, bagaimana harus mengatakannya. Pergumulan-pergumulan seperti ini selalu dihadapi oleh anak-anak yang sudah mengaku, “Berbicaralah Tuhan hamba-Mu siap mendengar”. Ada banyak sekali persolaan yang dihadapi hamba-hamba Tuhan, konflik batin yang luar biasa untuk menyampaikan kebenaran tetapi pada saat yang sama dirinya sendiri tidak terlalu siap. Keluarganya sendiri tidak siap. Dan mungkin itu yang menyebabkan Eli tidak mampu bicara kepada umatnya dengan keras karena keluarganya sendiri tidak ada dukungan apa-apa.

Ada empat pelajaran berharga yang bisa kita garis bawahi:

Pertama, bahwa Tuhan membutuhkan orang untuk bekerja di ladangnya. Itu tidak bisa disangkal. Tetapi Tuhan tidak sembarang memilih orang. Tuhan dengan teliti menguji orang-orang tertentu supaya mereka bisa menjadi hamba-Nya. Tuhan hanya akan memilih orang yang setiap saat mau bersedia mendengar atau bisa dikatakan peka mendengar suara Tuhan serta melakukan kehendak-Nya.

Kedua, bahwa untuk mendapatkan seorang hamba Tuhan yang benar-benar setia, tidak bisa instan. Kita harus mempersiapkan anak-anak kita dengan baik dalam rumah tangga supaya mereka sampai pada pengakuan sebagaimana Samual bilang tadi, “Berbicaralah Tuhan hamba-Mu mendengar”. Tanpa dukungan dari keluarga dalam mempersiapkan orang-orang yang akan menjadi hamba Tuhan, kita akan gagal membentuk abdi-abdi Tuhan yang berkualitas. Kadang-kadang jemaat protes, “Ini pendeta coba dia cepat pindah sudah. Dia omong begini tapi dia buat begitu”. Mestinya jangan hanya protes, kita semua bertanggungjawab membentuk hamba-hamba Tuhan dari sejak dalam rumah tangga. Tidak bisa tunggu jadi begini dan bikin macam-macam baru kita protes. Kita harus bentuk hamba-hamba Tuhan sejak dari rumah tangga supaya mereka bisa membawa/menjadi hamba Tuhan yang baik dan berkualitas.

Ketiga, karena itu seorang pelayan Tuhan hanya bisa berhasil atas berkat dukungan keluarga dalam hal ini dukungan orang tua. Kalau kita ikuti Hana dengan pergumulan dan doa-doanya, itu kemudian turun kepada Samuel. Pendidikan dalam keluarga cukup berpengaruh, tapi bukan hanya itu, seorang hamba TuHan juga bisa sukses kalau ada dukungan dari orang-orang sekitarnya; suami, anak-anak, istri, kalau semua orang disekitarnya memberikan dukungan yang positif maka yakinlah bahwa pemberitaan hamba Tuhan itu akan kena akan melekat di hati jemaat. Kita juga bisa menyaksikan banyak hamba Tuhan yang gagal bukan karena pribadi hamba Tuhan itu, tetapi pengaruh keluarganya. Karena ibunya, bapaknya, suaminya, istrinya, anak-anaknya. Menjadikan wibawa hamba Tuhan itu diinjak-injak oleh orang lain.

Empat, seorang hamba Tuhan harus berani mengatakan firman Tuhan apa adanya. Ia tidak boleh enggan berbicara hanya karena menghadapi orang-orang terhormat, yang berjabatan, orang-orang sukses yang dia pimpin. Berani mengatakan benar dalam kondisi sulit apa pun itulah ciri hamba-hamba Tuhan yang mengaku, “Berbicaralah Tuhan, sebab hamba-Mu ini mendengar.” Keberanian seorang hamba Tuhan harus disertai dengan kerendahan hati dan bijaksana. Jadi jangan berani tanpa bijaksana. Natan berani menegur Daud tapi bijaksana.

Kita akan menahbiskan dua saudara dalam jabatan pendeta. Mereka berhasil karena didikan orang tua yang baik. Kita berharap bahwa mereka akan menjadi hamba Tuhan yang peka mendengar suara Tuhan dan berani menyampaikan Firman Tuhan itu dalam kondisi apapun. Untuk maksud itu ada satu hal penting yang perlu dicatat yaitu keteladanan. Diharapkan bahwa mereka tidak hanya menjadi hamba Tuhan yang rajin berkata-kata, rajin menafsir Alkitab dan berkhotbah tetapi mereka juga mampu memberikan teladan untuk orang-orang di sekitar. Itulah yang dimaksudkan oleh Rasul Paulus ketika ia menasihati Timotius.

“Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu. Hanya dengan demikian Kerajaan Allah dapat tersebar ke manapun kita melayani dan bersaksi. Amin.***

*Khotbah Penahbisan Pendeta dan Pembukaan Bulan Keluarga oleh Pdt. Dr. Frits Ruku, Minggu, 7 Oktober 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *