Merayakan Keramahtamahan Bersama The Others*
(Kejadian 18:1-8)
(Vikaris Gusti Menoh, M.Hum)
Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukan data sebanyak 57% guru memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain. Sedangkan 37% siap untuk melakukan perbuatan intoleran atau intensi-aksi. Ada dua contoh pertanyaan yang diajukan untuk mengukur opini intoleransi pada pemeluk agama lain. Pertama, apakah non-muslim boleh mendirikan tempat ibadah di lingkungan bapak/ibu tinggal? Hasilnya sebanyak 56% tidak setuju. Kedua, apakah tetangga berbeda agama boleh mengadakan acara keagamaan di sekitar lingkungan bapak/ibu? Hasilnya sebanyak 21% tidak setuju. Sedangkan pada intensi-aksi intoleran pada pemeluk agama lain diukur dengan dua pertanyaan: pertama, apakah bapak/ibu bersedia menandatangani petisi menolak kepala dinas pendidikan yang berbeda agama? Hasilnya sebanyak 29% menyatakan bersedia. Kedua, apakah bapak/ibu bersedia menandatangai petisi menolak pendirian sekolah berbasis agama non-Islam di sekitar tempat tinggal anda? Hasilnya sebanyak 34% guru bersedia. Penelitian ini dilakukan selama satu bulan, mulai 6 Agustus-6 September 2018, di 34 Propinsi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan 2.237 guru sebagai sampel, dengan proporsi 1.172 guru sekolah negeri dan 1.065 guru Madrasah. Kondisi ini memprihatinkan karena guru punya posisi strategis dalam pembentukan nilai-nilai, pandangan, dan pemikiran siswa. Bila para guru berpandangan intoleran, ini berbahaya bagi para murid yang adalah generasi masa depan bangsa.
Namun fakta intoleransi itu bukan hal baru. Penolakan terhadap kelompok minoritas etnis, agama, suku, ras, orientasi seksual berbeda, pendatang di suatu tempat, dan lain sebagainya sudah seringkali terjadi. Penganut Syiah dan Ahmadiyah sudah lama ada di nusantara sebelum kemerdekaan, namun keberadaan mereka tidak mau diakui, malahan seringkali muncul diskriminasi dan kekerasan terhadap mereka. Orang-orang China sudah berabad-abad ada di tanah air, jauh sebelum adanya Indonesia sebagai sebuah nation-state per 17 agustus 1945, bahkan mereka ikut memperjuangkan kemerdekaan. Namun mereka tetap dipandang sebagai pendatang, asing, non-pribumi, tidak diakui sebagai orang asli Indonesia. Orang-orang Sabu yang sudah lama menetap hingga tiga-empat turunan di Sumba, tetap dianggap pendatang. Orang-orang Rote yang sudah lama menetap di Timor, masih dianggap pendatang. Orang-orang Timor yang sudah lama menetap di Alor, masih dianggap pendatang. Orang-orang Jawa plus Islam yang sudah lama menetap di Rote, masih dipandang sebagai pendatang. Padahal mereka adalah generasi ketiga atau keempat di tempat itu. Mereka tidak begitu tahu-menahu lagi dengan kampung asal-usul nenek moyangnya karena lahir besar di tanah rantau. Namun mereka tidak diakui di situ. Akibatnya mereka tetap dipandang sebagai pendatang, asing, orang lain, dan karena itu sering didiskriminasi, ditolak, diusir, dan lain sebagainya.
Emmanuel Levinas (1906-1995), seorang Filsuf Perancis mengatakan bahwa masalah seperti itu terjadi karena kita tidak mau menerima yang lain (the other) dalam seluruh kekhasannya. Menurut Levinas, 6 juta jiwa dibunuh di Jerman, adalah klimaks dari apa yang terjadi dalam sejarah, di mana orang yang berbeda, pendatang, selalu dimusuhi dan dibasmi. Dalam konteks Jerman di abad ke-20, bangsa Jerman tidak mau menerima orang-orang Yahudi dengan segala identitasnya, tidak mau hidup dalam perbedaan. Levinas menegaskan bahwa ketidakmauan untuk menerima yang lain menjadi penyebab segala bentuk intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan sepanjang sejarah. Orang lain selalu dianggap asing, pendatang, akibatnya tidak diterima secara penuh, malah ditiadakan/dimusnahkan.
Dalam konteks itu, kita perlu belajar dari Abraham sebagaimana dicatat dalam kejadian 18:1-8. Apa yang dilakukan Abraham merupakan tindakan paling luhur terhadap orang asing. Sikap Abraham itu adalah sebuah keramahtamahan, hospitalitas (hospitality). Kata Hospitality berasal dari bahasa Latin, hospes yang berarti “tamu” dan sekaligus “tuan rumah”. Tetapi kata hospes sendiri adalah gabungan dua kata Latin lain, hostis dan pets. Kata hostis artinya “orang asing,” namun juga memiliki konotasi “musuh.” Dari kata hostis itu muncul kata Inggris hostile dan hostility. Asosiasi makna “orang asing” dan “musuh” di dalam kata hostismungkin muncul karena ambiguitas dari orang asing itu sendiri – ia dapat menjadi musuh atau menjadi tamu. Jadi, di dalam hospitalitas sekaligus terdapat risiko bahwa tamu menjadi musuh. Sebab sangat mungkin orang asing tersebut menyakiti tuan rumah.
Dalam pengertian itu, ada sejumlah wujud hospitalitas yang ditunjukan Abraham. Pertama, terjadi pertukaran peran antara tamu dan tuan rumah. Sebagai tamu, orang-orang asing itu mestinya merendahkan diri, penuh hormat, sujud dan memohon belas kasih kepada tuan rumah, Abraham. Tetapi sikap-sikap mulia ini justru dilakukan oleh Abraham (ay. 2-3). Abraham berperan sebagai tamu: merendahkan diri, menyongsong orang-orang asing itu, sujud dan memohon belas kasih mereka agar mau singgah di tempatnya. Sementara ketiga orang asing itu diperlakukan sebagai tuan rumah. Dengan cara demikian, orang-orang asing itu tidak dianggap asing, pendatang, tamu, tetapi sebagai tuan/nyonya rumah. Orang-orang asing diterima secara utuh dan dibuat at home oleh Abraham. Pertukaran peran antara tuan rumah dan tamu itu pernah dipraktekkan Yesus juga. Dikisahkan oleh Lukas bahwa dalam perjalanan dua murid ke Emaus, Yesus tiba-tiba bergabung dengan mereka. Namun karena matahari sudah hampir tenggelam, kedua murid itu meminta Yesus untuk bersama-sama menumpang di sebuah rumah keluarga. Waktu acara makan malam mulai, Yesus bertindak seolah tuan rumah dengan mengambil roti (yang barangkali disediakan tuan rumah) dan membagi-bagikan kepada mereka (Lukas 24:28-30).
Kedua, hospitalitas menyentuh bagian yang paling kotor dan hina. Dalam konteks timur tengah, orang biasa melakukan perjalanan jauh melalui hamparan pasir yang luas, kadang-kadang tanpa alas kaki. Orang-orang asing itu nampaknya sedang menempuh perjalanan jauh, sehingga kaki mereka sangat kotor. Abraham peka tehadap keadaan mereka. Karena itu, sebelum dihidangkan sesuatu, Abraham menyiapkan air sebagai pembersih kaki yang kotor (ay.4). Ketiga, hospitalitas menyediakan tempat perteduhan bagi orang asing. Para tamu itu diterima dan diberi kesempatan beristirahat untuk memulihkan kelelahan mereka. Keempat, hospitalitas melayani kebutuhan pokok sesama. Abraham dan Sara menyiapkan roti dan daging untuk makan para tamu. Bukan sekedar makanan, tetapi yang terbaik, sebab diambil tepung terbaik (ay.6) dan lembuh yang empuk dan baik dagingnya (ay.7). Hospitalitas yang dipraktekkan Abraham kepada orang-orang asing itu tidak setengah-setengah, tidak hitung-hitungan, tanpa takut rugi. Abraham memberi secara total, utuh, dengan segenap hati. Ia memberikan yang terbaik dari apa yang dipunyai bagi orang asing, membuat para tamu merasa nyaman dan bersukacita. Lebih dari itu, dalam budaya apapun, acara makan merupakan tanda penerimaan seseorang akan yang lain. Ketika Abraham menyuguhkan makanan terbaiknya, ia telah menerima orang-orang asing sebagai sahabat dan saudara.
Kelima, hospitalitas Abraham tulus adanya. Dalam seluruh sikap Abraham itu, tidak terlihat niat buruk apapun darinya terhadap orang-orang asing itu. Abraham bisa saja meracuni para tamu itu, namun tidak sama sekali. Abraham pun tidak ingin mengubah identitas orang-orang asing itu, atau menjadikan mereka bagian darinya (ay. 5, supaya tuan-tuan segar kembali dan melanjutkan perjalanan). Inilah hospitalitas sejati sebagaimana dikatakan Henri Nouwen, di mana tersedianya ruang kemerdekaan bagi orang asing untuk masuk ke rumah kita, untuk menjadi sahabat, tanpa berniat mengubah mereka. Tanpa membuat mereka menjadi bagian dari kita (menjadi sama dengan kita) tetapi justru menawarkan kebebasan bagi mereka.
Andaikata keramahtamahan menjadi nafas umat manusia di mana pun, maka perbedaan tak pernah menjadi ancaman. Perbedaan akan dirayakan dengan sukacita. Orang asing, para pendatang, dengan identitasnya yang berbeda akan disambut dengan tangan terbuka dan bukan dimusuhi. Suadara-saudara keturunan China yang ada di tanah air, tidak dianggap non-pribumi dan dibatasi hak-hak politiknya. Orang-orang jawa yang puluhan tahun hidup di NTT tidak terus dipandang sebagai pendatang yang tak punya hak hidup di bumi Flobamora. Anak-anak Sabu dan Rote yang yang lahir di Soe, tidak lagi dianggap pendatang. Anak-anak NTT yang lahir dan besar di Jakarta, tidak dianggap anak-anak perantauan. Sebab di mana seseorang lahir dan tumbuh, di situ ia bertanah air dan menjadi bagian dari dirinya, karena disambut dan diterima dengan segenap hati oleh orang-orang sekitar. Itulah hospitalitas yang mesti dijiwai setiap manusia.
Mau tidak mau, nilai-nilai luhur hospitalitas sebagaimana dipraktekkan Abraham harus menjadi nafas hidup gereja. Kalau teologi inklusif mau dikembangkan oleh GMIT, maka hospitalitas bukan menjadi salah satu programnya, tetapi menjadi spirit atau roh seluruh aktivitas dan program pelayanannya. Keramahtamahan harus dijadikan roh dari gereja, baik sebagai pribadi maupun sebagai lembaga. Itu berarti gereja harus selalu mengedepankan sikap kerendahan hati, terbuka, penuh respek terhadap yang lain (the other). The others itu bisa kelompok suku yang berbeda, komunitas agama yang berbeda, cluborientasi seks yang berbeda, orang-orang yang punya pilihan politik yang berbeda, alam lingkungan hidup, dan seterusnya. Menjadi gereja yang merayakan hospitalitas berarti menerima orang lain dengan segala identitasnya yang berbeda, menawarkan kebebasan pada mereka tanpa berniat menjadikan mereka sama dengan kita atau mengubah mereka, memperlakukan mereka sebagai tuan/nyonya rumah di tempat kita, membuat mereka at homebahkan ikut memberi “makan” bagi mereka dalam suasana riang gembira.
Hospitalitas yang dirayakan gereja harus dimulai dalam dirinya sendiri. Di dalam gereja ada kenekaragaman suku, etnis, budaya, kelas sosial, jenis pekerjaan, pilihan politik, perbedaan jenis kelamin, orientasi seksual, kategori usia, masyarakat asli dan pendatang. Perbedaan-perbedaan itu mestinya diterima dan dihidupi dengan gembira, tanpa diskriminasi terhadap sesama hanya karena identitasnya berbeda. Dalam perbincangan dengan beberapa pendeta di kota Kupang, peta pelayanan di Kupang sangat kompleks. Jemaat Paulus kota Kupang misalnya, tidak hanya ada di sekitar gereja tersebut, tetapi tersebar melampaui dua tiga gereja tetangga. Bahkan ada jemaat Paulus yang tinggal di Camplong. Apa artinya itu? Seringkali alasan yang dikemukan jemaat ketika ia diminta mutasi ke gereja terdekat, adalah bahwa sudah merasa nyaman dengan jemaat semula. Kita terbiasa dengan orang-orang yang sama, lalu sulit masuk ke lingkungan yang berbeda. Kita takut menjadi orang asing di tempat baru karena takut tidak senyaman tempat semula. Mungkin juga tak ada penyambutan dan penerimaan yang baik terhadap orang-orang baru, tak ada keramahtamahan pada orang baru. Mutasi pendeta pun kadang-kadang mengalami kesulitan, mudah-mudahan bukan karena takut menjadi orang asing di tempat baru. Orang Sabu bisa menjadi pendeta di Alor, karena disambut dengan gembira dan tidak dipandang sebagai orang asing. Orang Alor mau melayani di Amfoang, karena diterima dengan sukacita di sana dan tidak dianggap orang lain. Tetapi the others itu juga adalah mereka yang miskin, cacat, sakit, yatim piatu, janda, duda, korban human trafficking. Gereja terpanggil untuk merawat dan memelihara mereka sebagai wujud keramahtamahannya.
Hospitalitas gereja lalu harus menyebar ke luar, menjumpai yang lain, menyapa yang asing, berbeda agama/kepercayaan, tanpa berniat menjadikan mereka seidentitas dengan kita. Gereja mesti menciptakan ruang kebebasan bagi yang lain, untuk berdialog dan berbagi, bekerja sama secara jujur dan tulus bagi kemanusiaan dan kehidupan bersama. Sebab sesungguhnya hospitalitas berarti mau mensahabati yang lain, yang berbeda, yang asing. Tanpa sikap itu, dalam konteks Indonesia yang selalu merayakan pesta demokrasi, politik identitas akan dikembangkan oleh para peternak politik (politisi buruk) sehingga memecah dan menciptakan permusuhan diantara sesama warga bangsa.
Hospitalitas itu pun harus menyentuh alam semesta. The others itu juga termasuk alam lingkungan hidup. Merayakan keramahtaman bagi alam berarti terpanggil untuk ikut memelihara dan merawat alam. Alam bukan objek eksploitasi demi pemenuhan kebutuhan hidup semata. Alam harus dipandang sebagai subjek lain yang padanya manusia berpijak dan hidup sehingga harus dihormati dan dirawat.
Kalau Abraham, bisa mewujudkan hospitalitas secara luar biasa bagi orang-orang asing karena sadar bahwa ia pun seorang diaspora yang pernah menjadi orang asing, maka sebagai gereja kita mestinya bisa melakukannya. Mengapa? Diana Butler Bass mengatakan, orang-orang Kristen menyambut orang-orang asing sebagaimana kita sendiri telah disambut ke dalam Allah melalui cinta kasih Yesus. Melalui hospitalitas, orang-orang Kristen meneladani penyambutan Allah. Dengan kata lain, karena kita sendiri telah disambut dan diterima Allah melalui kasih Yesus, kita pun mesti menyambut siapapun orang lain di dunia ini dengan penuh kasih dan sukacita dan bersedia hidup bersama mereka dalam perbedaan, bahkan mau bekerja sama secara tulus dan jujur dengan mereka demi kemanusiaan dan kehidupan. Sebab kalau mau dilihat secara iman, kita semua adalah para pendatang (orang-orang diaspora) di bumi, dan secara kultural, setiap masyarakat adalah pendatang juga di situ (maka ada cerita asal-usul orang Timor, orang Rote, orang Sabu, orang Alor, bukti bahwa suku-suku asli yang ada di tanah Timor saat ini pun sesungguhnya adalah pendatang pada beberapa abad yang lalu, atau pun orang-orang yang menyebut diri asli Rote pun pada mulanya adalah pendatang di tanah Rote). Kesadaran ini penting agar kita menjadi orang-orang yang terbuka dan mau menerima siapapun yang mau hidup berdampingan dengan kita dengan tulus dan ikhlas. Amin!
*Khotbah disampaikan pada penutupan Lokakarya Teologi Inklusif, Sabu 18 Oktober 2018.