SIAPAKAH YESUS BAGI MURID-MURIDNYA DAN BAGI KITA SAAT INI?
(LUKAS 9.18-21)
Persoalan identitas Yesus merupakan salah satu pokok perhatian Injil Lukas. Hal ini berulang kali ditekankan sejak halaman-halaman awal Injil-Nya. Sepanjang sembilan pasal pertama, Lukas mencoba menggambarkan siapa Yesus itu. Yesus mengajar dengan otoritas Allah. Ia memiliki kuasa atas penyakit, atas ciptaan, atas kematian. Ia juga berkuasa mengampuni dosa. Banyak orang mengetahui dan menyaksikannya, saat Yesus melakukan semua hal ini.
Setelah melalui serangkaian pelayanan tersebut, Yesus berdialog dengan para murid-Nya. Ia ingin mengetahui sejauh mana pemahaman mereka dan juga orang banyak tentang diri-Nya. Dialog ini adalah monitoring Yesus atas informasi dari murid-murid-Nya tentang siapa Dia. Yesus bertanya kepada mereka: “Kata orang banyak, siapakah Aku ini?” (ay. 18). Menurut Malina dikutip Mbengu (2010:278), pertanyaan Yesus kepada murid-murid-Nya itu bukan sekedar mengenai identitas-Nya. Itu juga berkaitan erat dengan pelayanan inkarnasi-Nya. Ini adalah umpan balik tentang Yesus, pemahaman baru tentang Allah selain Yahwe, serta visi baru untuk pelayanan ke depan.
Sayang, hasil polling menunjukkan bahwa banyak orang hanya menganggap Yesus sebagai nabi. Tidak lebih. Mereka menganggapnya sebagai Yohanes Pembaptis, Elia, Yeremia, atau salah seorang dari para nabi (ay. 19; lihat juga paralelnya dalam Matius dan Markus). Orang-orang yang berinteraksi dengan Yesus bukan hanya salah menafsirkan pelayanan-Nya, tetapi juga identitas-Nya. Mereka mengharapkan Mesias politik yang akan memulihkan kemerdekaan Yahudi. Harapan itu bahkan mencakup penggulingan kekuasaan Romawi. Semua itu ternyata tidak mereka jumpai dalam diri Yesus. Tidak heran bila mereka menganggapnya bukan Mesias.
Yesus kemudian mengalihkan fokus pertanyaan kepada murid-murid-Nya untuk mengetahui pemahaman mereka. Yesus mengharapkan pemahaman yang lebih baik dari anggota kelompok-Nya. Ia mengharapkan tanggapan obyektif dari mereka yang sehari-hari mengikuti-Nya. Yesus bertanya kepada mereka: “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” Jawab Petrus: “Mesias dari Allah” (ay. 20).
Pertanyaan penyelidikan yang diajukan Yesus kepada para murid ini memiliki tujuan tertentu. Menurut Mbengu, terdapat 4 tujuan yang ingin dicapai.
“Tujuan pertama adalah untuk mengasosiasikan para murid dengan rencana pelayanan-Nya. Kedua, Dia ingin memberikan kepada para murid suatu kerangka acuan untuk misi yang akan segera mereka laksanakan. Ketiga, spekulasi dari orang banyak dan para murid membantu Yesus untuk mendefinisikan pemahaman yang benar tentang diri-Nya. Kristologi-Nya adalah kombinasi dari penderitaan, penolakan, penghinaan, kematian dan pembenaran. Keempat, Yesus menyingkap topeng kesalahpahaman yang masih menghantui para murid dan orang banyak (Mbengu, 2010:280).
Guna mencapai tujuan ini, Yesus memerlukan jawaban yang tepat mengenai identitas-Nya. Dalam kaitan inilah, jawaban Petrus memiliki peran sentral. Pengakuan Petrus menjadi begitu bermakna, karena hal itu mengatasi semua kebingungan dan ajaran palsu tentang Yesus. Pengakuan imannya begitu kuat sehingga Yesus dapat mulai berbicara tentang kematian-Nya di kayu salib (perikop berikutnya).
Jawaban seperti Petrus inilah yang juga Yesus harapkan akan disampaikan orang percaya di hadapan publik, apapun resikonya. Semua kita tahu bahwa pada zaman itu, para murid harus melawan tiga arus kuat untuk menegaskan keyakinan mereka bahwa Yesus adalah Kristus (Cole, 1998. www.bible.org ). Ada pemerintah Romawi, yang menegaskan Kaisar sebagai Tuhan. Juga harus menentang pendapat orang banyak, yang memiliki gagasan berbeda tentang siapa Yesus. Dan yang paling sering berkonfrontasi ialah para pemimpin agama Yahudi. Dalam konteks ini, mengakui Yesus sebagai Tuhan dapat berakibat kehilangan nyawa. Cerita ini menginspirasi para murid untuk berani memberi jawaban yang benar tentang Yesus. Meskipun itu harus menentang opini publik. Meskipun itu berarti mati. Bukan hanya murid zaman Yesus, namun termasuk kita di zaman now .
Aplikasi
Ada beberapa aplikasi dari firman ini yang amat berguna bagi kehidupan gereja dimasa kini. Saya meringkas beberapa pandangan yang dikemukakan oleh Mbengu dan van Eck (2013), yang lebih banyak terkait dengan aspek kepemimpinan gereja.
1. Kehidupan bergereja kita mesti jeli mendeteksi “suara orang banyak”. Dalam gereja biasa dikenal dengan sebutan “suara jemaat”. Seringkali atas nama suara jemaat, gereja dikelola dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan firman Tuhan. Sebagaimana teks ini, orang banyak yang mengikuti Yesus adalah kekuatan yang harus diperhitungkan. Namun pandangan mereka keliru tentang Yesus. Adalah penting bagi Yesus untuk mendengarkan apa kata mereka, namun Ia tetap fokus pada misinya. Ini mesti menjadi pola kita. Merupakan kewajiban bagi semua pelaku pelayanan untuk mencontohi Yesus. Prinsip yang berlaku dalam gereja ialah teokrasi, bukan demokrasi. Suara jemaat perlu diikuti sejauh hal itu sesuai dengan tujuan dan misi gereja sebagaimana ditetapkan Kristus sendiri. Suara terbanyak menjadi sah hanya sejauh itu sesuai dengan kehendak Tuhan.
Juga dalam situasi politik sekarang ini, persaingan menyebabkan berkembangnya opini liar di publik yang disebut hoax . Berita kebohongan itu disebar dengan sangat masif melalui berbagai media. Bila tidak ada kejelian yang kuat, semua kebohongan itu dapat dianggap benar. Bacaan ini mendorong kita untuk memiliki filter yang kuat terhadap semua kabar yang berkembang di publik.
2. Kehausan spiritual jemaat untuk mengetahui siapakah Yesus banyak bergantung di pundak Pendeta dan presbiternya. Kerinduan ini mesti ditanggapi dengan serius. Pengajaran gereja, entah melalui khotbah maupun pembinaan anggota gereja lainnya, mesti memperhatikan kebutuhan ini. Kegagalan akibat pengajaran yang setengah matang hanya akan membentuk “orang Kristen kulit luar”. Ketika orang percaya seperti itu dihadapkan dengan kesulitan yang tidak dapat dijelaskan, mereka dengan mudah kembali ke kepercayaan tradisional mereka atau berpindah ke gereja lain.
3. Pendekatan dialog Yesus dengan murid-murid-Nya mencerminkan cara di mana pengajaran Kristen harus dilakukan dalam gereja. Dialog menunjukkan bahwa tidak ada yang memegang monopoli dalam pelayanan. Itu menantang model pengajaran dalam jemaat. Setiap anggota jemaat harus dimampukan untuk menemukan sendiri siapa Yesus itu. Mereka akan mengetahui kebenaran Injil ketika mereka diberikan kemungkinan untuk bergulat secara langsung dengannya. Pendeta/presbiter dipanggil untuk melayani sebagai fasilitator atau pemimpin diskusi, dan bukan sebagai komandan atau tuan. Melalui fungsi kepemimpinan yang diselenggarakan dalam terang dialog, gereja dapat mengekang, meminimalkan dan menghindari konflik.
4. Bacaan ini memberi model tentang cara menata relasi antara pendeta dan “kolaborator” mereka yakni para presbiter. Dalam rutinitas harian para pendeta, baik dalam melaksanakan fungsi sakramental, administrasi, penginjilan, dan pastoral, semuanya tidak dapat mereka lakukan sendiri. Mereka membutuhkan kontribusi para presbiter, bahkan seluruh jemaat. Sebagaimana para murid memberi informasi pelayanan kepada Yesus dalam teks ini, pendeta dan para presbiter perlu saling melengkapi dalam tugas pelayanan di dalam jemaat. Keragaman latar belakang profesional masing-masing presbiter menjelaskan kekayaan karunia yang mereka miliki. Mereka adalah anggota jemaat setempat, yang umumnya lahir dan besar dalam jemaat tersebut sehingga mereka lebih dekat ke akar rumput daripada pendeta. Posisi strategis ini menyebabkan presbiter dapat memberikan makna pada kegiatan para pendeta melalui wawasan yang dimiliki berdasarkan latar belakang profesional mereka. Metode ini meyakinkan para presbiter tentang keabsahan kontribusi mereka sebagai sahabat pendeta sehari-hari. Pendekatan ini memungkinkan para presbiter untuk mengetahui dan memahami tugas mereka. Jika tidak, mereka akan menebak, ragu-ragu, salah paham dan salah menafsirkan. Ketidaktahuan itu akan menghancurkan pelayanan karena menghasilkan konflik, keraguan, kecurigaan dan ketidakpercayaan