Politik Santun dan Terhormat

Dody Kudji Lede

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Dalam sebuah diskusi yang berujung pada pembahasan tentang kondisi politik saat ini, seorang teman berseloroh bahwa dia lebih memilih untuk tidak akan memilih dalam pemilihan anggota DPRD dan DPR-RI karena menurutnya tidak ada satu pun dari para calon memenuhi ekspektasinya sebagai publik figur yang baik. Diskusi itu memang tidak untuk membuat keputusan yang bisa merubah pandangan teman saya, tetapi kami sampai pada sebuah saran akhir, saran yang akhir-akhir ini banyak didengungkan banyak orang agar lebih baik terlibat dan memilih satu orang baik daripada berdiam diri dan akhirnya orang jahat akan berkuasa.

Dewasa ini, politik Indonesia semakin bertambah brutal oleh ulah segelintir orang yang memanfaatkan segala cara untuk merebut perhatian. Banyak momen ditangkap sebagai peluang untuk menjatuhkan kredibilitas orang lain, bahkan sampai pada upaya fitnah berlebihan terhadap figur lawan politik. Upaya ini tidak lagi individual, tetapi sudah masif dari elit hingga akar rumput.

Perang kepentingan politik tidak hanya berjalan di aras lintas partai, tetapi masyarakat awam juga disuguhkan dengan tontonan membosankan ini hampir setiap hari di berbagai media yang tidak lagi adil dalam memberitakan. Konten jurnalistik yang seharusnya mencerahkan bahkan telah diperkosa berkali-kali oleh oknum jurnalis hanya untuk menjatuhkan lawan politik dengan harapan dapat mengangkat derajat tokoh politik yang didukung media tersebut. Bahkan di media sosial kita hampir setiap hari melihat bagaimana manuver yang dilakukan para calon wakil rakyat demi merebut simpati masyarakat.

Dari berbagai manuver yang dilakukan, ada yang santun, ada yang brutal. Seorang teman yang sebelumnya sangat santun, tiba-tiba telah berubah menjadi hantu yang menakutkan setelah menjadi calon anggota legislatif. Dari seseorang yang sebelumnya sangat netral, berubah menjadi tidak adil. Dari seorang protagonist, menjadi antagonis yang sombong dan kehilangan wibawa. Dalam sekejap, sahabat rasa saudara ini telah menjadi sosok baru yang harus kita kenali kembali pribadinya. Sosok yang mulanya dibanggakan telah berubah menjadi seseorang dengan kepribadian yang ambigu. Kepribadian yang bukan lagi dikendalikan oleh akal sehat, tetapi oleh sebuah mesin bernama partai politik.

Ya. Para calon anggota legislatif kita telah menjadi bagian dari sebuah mesin partai dengan anatomi yang kompleks. Sebuah mesin gurinda. Kontak mesin ini berada di pusat ibukota negara dan bila kontak dihidupkan maka semua bagian mesin harus bergerak bersama, dengan suara yang sama untuk menyuarakan setiap kelebihan partai dan dalam upaya yang sama pula untuk menyebarkan fitnah-fitnah demi memotong jalan lawan mencapai sukses. Seperti mata gurinda yang memotong besi, demikianlah mereka. Selama tangan yang memegang mesin mengendalikan ke arah mana saja, tugas mereka adalah memotong, tanpa peduli apakah yang dihadapi adalah besi atau kayu.

Semua hal dilakukan atas nama sebuah kedudukan. Kedudukan di dalam partai itu sendiri maupun tempat terhormat di tengah masyarakat. Sayangnya, cara mendapatkan tempat terhormat ini dengan cara-cara yang tidak terhormat dan simpatik. Aksi demi aksi yang dipertontonkan bukan sebagai reaksi dan apresiasi atas pencapaian orang lain, tetapi lebih pada sebuah gerakan terstruktur untuk mencari celah menjegal lawan. Data-data dimanipulatif bahkan cenderung hoax dan fitnah. Ketika hal tersebut dilawan dengan data sebenarnya, mereka mulai memproduksi data lain yang lebih hoax.

Tentu saja tidak semua calon menggunakan strategi yang sama. Masih banyak dari mereka yang sangat santun tatkala berhadapan dengan masyarakat dan hadir di tengah sana untuk memberi dukungan, bukan hanya mencari dukungan. Mereka yang santun ini bahkan tak terendus gerakannya di media sosial. Mereka bergerak dalam senyap. Namun, pelan-pelan mulai merebut hati masyarakat. Mereka inilah yang bekerja dengan penuh kehormatan dan wibawa. Mereka bijaksana melihat peluang dan memanfaatkannya dengan baik tanpa merugikan siapapun. Mereka tidak harus berselfie setiap hari minggu di depan mimbar gereja tetapi setelah itu menghujat orang di media sosial. Mereka ada di dalam gereja, untuk mendoakan dirinya dan orang lain.

Orang Jujur untuk Tempat Terhormat

Cara kita mendapatkan sesuatu akan menentukan bagaimana kita akan kehilangan hal tersebut. Sebuah benda yang kita beli dengan hasil keringat dan airmata akan terus bersama kita hingga ujung usianya. Kekayaan yang kita dapatkan dengan bersusah payah, akan susah pula perginya dari kita. Yang mendapatkannya dengan cara gampang, bukan tak mungkin akan gampang pula kita kehilangan. Siapa menabur apa itulah yang akan dituai. Siapa menabur dengan mencucurkan airmata akan menuai dengan bersorak-sorai.

Demikian pula dalam politik. Demokrasi haruslah menjadi sebuah proses cinta kasih untuk mencapai tujuan bersama dalam membangun bangsa ini dalam satu karakter damai. Di dalam setiap kedamaian pasti selalu ada harapan baru dan niat baik membangun Indonesia yang dinamis ini. Pertikaian demi merebut sebuah tempat terhormat seharusnya tidak boleh ada dalam konstelasi politik kita. Ide memang boleh dipertentangkan, tapi tak harus menggebrak meja.

Untuk menjadi orang terhormat, maka yang paling pertama harus kita utamakan adalah kejujuran. Jujur untuk mengakui kelebihan lawan tidak akan membuat kita kalah, justru dengan pengakuan itu kita akan mencari cara-cara baik agar mengunggulkan diri kita untuk menjadi lebih baik dari lawan yang kita hadapi. Idealisme yang kita usung harus sejajar dengan realitas, dengan begitu maka kita akan lebih jernih dan peka menilai situasi dan menggunakannya sebaik mungkin untuk kesuksesan bersama. Namun, jika idealisme digunakan tanpa pertimbangan yang bijaksana, maka yang menggunakan akan kehilangan harga diri di hadapan yang lain.

Kejujuran akan melahirkan kehormatan, kehormatan akan melahirkan penghargaan yang baik. Penghargaan yang baik bisa jadi akan membawa kita mencapai puncak tertinggi. Barang siapa yang ingin menjadi terhormat tapi menggadaikan kejujurannya, maka kelak kehormatan itu akan terenggut dengan sendirinya.

Kejujuran tidak bisa diciptakan atau dibuat-buat. Ia lahir dengan sendirinya sebagai pengakuan yang tulus atas setiap jerih payah atau pencapaian diri pribadi maupun orang lain. Maka menjadi jujurlah terlebih dahulu terhadap hati nurani, agar ia mampu memproduksi nilai-nilai positif dalam benak kita untuk melahirkan apresiasi bagi orang lain. Menjadi terhormatlah tanpa harus menyebarkan kebencian kepada orang lain. Menjadi terhormatlah dengan tetap menjadikan setiap orang sebagai bagian dari kehidupan kita, sebab merekalah yang akan menyediakan pundak dengan sukarela sebagai tempat kita untuk berpijak menuju tangga selanjutnya.

Maka, marilah berpolitik dengan santun, di dalamnya akan selalu hadir kehormatan yang disanjung dengan tulus. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *