Pemahaman Alkitab: Yohanes 16:16-33

Catatan Pengantar

Pdt. Nicolas Lumba Kaana, M.Th.

Kupang, www.sinodegmit.or.id, “Tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku lagi, dan tinggal sesaat pula dan kamu akan melihat Aku”. Kalimat ini mengingatkan saya pada gaya bahasa dialektika, memakai pertentangan sebagai cara untuk memahami sesuatu secara baru. Pada kalimat ini ada dua ungkapan yang saling bertentangan, “tidak melihat aku” dan “melihat aku”. Dua hal itu akan dialami para murid. “Tinggal sesaat saja…”. Tidak lama lagi, murid-murid akan kehilangan Yesus, sosok Guru yang mereka kasihi. Mereka akan juga menemukan Yesus. “Tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku lagi, dan tinggal sesaat pula dan kamu akan melihat Aku”.

Dilihat dari materi percakapan dan dinamika situasi, kelihatannya Yesus sedang mengajarkan murid-murid-Nya tentang suatu makna perpisahan yang tidak biasa. Biasanya perpisahan itu bermakna kehilangan. Ketika Yesus pergi meninggalkan mereka maka mereka akan kehilangan diri- Biasanya, kehilangan menyebabkan kesedihan dan dukacita. Ungkapan tadi menegaskan bahwa peristiwa perpisahan antara Yesus dan para muridNya itu bermakna dialektis. Mereka akan berpisah dan bersatu. Mereka akan merasa kehilangan dan merasa menemukan, mereka akan mengalami kesedihan dan sukacita.

Dengan bantuan Alkitab elektronik, saya mencatat bahwa ungkapan ini khas pada injil Yohanes. Tidak ada di kitab lain. Sementara, di injil Yohanes, ungkapan ini muncul pada dua Pertama pada perikop Yoh. 14:15-31. Ayat 18-20 memuat perkataan Yesus, “Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu. Tinggal sesaat lagi dan dunia tidak akan melihat Aku lagi, tetapi kamu melihat Aku, sebab Aku hidup dan kamupun akan hidup. Pada waktu itulah kamu akan tahu, bahwa Aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu”. Kedua, pada perikop bacaan kita, Yoh. 16:16-33. Kalau kita membaca pasal 16 secara keseluruhan maka akan terlihat beberapa kesesuaiannya dengan perikop di pasal 14 itu. Menarik, bahwa kedua bagian itu membicarakan pokok yang sama. Pertama, tentang Penghibur yang akan datang setelah kematian Yesus. Kedua tentang penyatuan antara 3 pihak, yakni Yesus, sang Guru, Allah Bapa, dan para murid Yesus.

Cerita pada perikop bacaan kita adalah cerita khas Yohanes. Cerita ini tidak ditemukan pada Injil-injil sinoptis (Matius, Markus dan Lukas). Sesuai corak Injil Yohanes, cerita ini menegaskan tiga Pertama, menegaskan tentang siapa Yesus. Kedua, tentang tanda keilahian Yesus. Ketiga, menegaskan tantang kekhasan orang-orang percaya kepada Yesus. Corak pemberitaan injil Yohanes yang demikian berkaitan dengan situasi pada zaman Injil ini di tulis. Setelah tentara Romawi menghancurkan Bait Allah dan mengakhiri pemberontakan Yahudi pada tahun 70 M. Pada masa itu orang Yahudi yang telah menerima ajaran-ajaran Yesus mulai dikucilkan dari tempat-tempat pertemuan agama Yahudi (sinagoge). Pemberitaan tentang Yesus sudah dilarang dengan tegas di rumah-rumah ibadah Yahudi. Injil Yohanes dialamatkan bagi mereka yang sedang dalam kesulitan besar oleh karena imannya kepada Krsitus yang tersalib. Pada konteksnya, injil ini memberi penguatan percaya, agar sekali-kali pengikut Kristus tidak goyah imannya, tetap bertahan dalam kesesakan, dan menang dalam pergumulan melawan penindasan dan penyingkiran. Sebagai Rabi, Yesus tidak sama dengan kebanyakan rabi pada masaNya.  Hal utama yang membedakan Yesus dengan rabi-rabi Yahudi lainnya adalah dalam hal hubungan di antara Yesus dan Tuhan Allah. Menjadi murid Kristus pada masa sulit menuntut pengetahuan yang mendalam tentang Yesus dan percaya yang disertai komitmen untuk setia meneladani Kristus. Injil Yohanes mengemban misi untuk memperteguh keyakinan dan pelayanan Kritiani di tengah tantangan penolakan dan penindasan.

Tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku lagi, dan tinggal sesaat pula dan kamu akan melihat Aku”. Sesuai posisi perikop bacaan kita pada struktur injil Yohanes maka ungkapan ini muncul pada masa genting, pada sesi pengajaran terakhir Yesus. Bisa dikatakan bahwa sesi pengajaran ini bertujuan untuk mempersiapkan para murid menghadapi “peristiwa salib”. Betapa para murid harus dipersiapkan, mengingat dampak dari tontonan kekejaman di sepanjang jalan salib bisa menimbulkan trauma serius. Penderitaan sedemikian tragis bisa jadi alasan untuk mereka mengabaikan pengetahuan tentang kebenaran, tawar hati terhadap komitmen, menyimpang dari ajaran dan harapan iman.

Saya ingin menekankan bahwa secara didaktik, ungkapan ini terbukti efektif sebagai peryataan yang menarik perhatian serta menimbulkan respon. Para murid, yang belum mengerti ungkapan itu, saling bertanya satu terhadap yang lain. Suasana seperti itu adalah tanda interaksi pembelajaran yang aktif. Gambaran suasana pada bagian akhir perikop bacaan menunjukkan adanya perubahan dalam diri dan komunitas murid. Mereka yang tadinya tidak mengerti akhirnya berkata, “sekarang kami tahu…” (ay.30),  “karena itu kami percaya” (ay.31). Yesus dengan serius memempersiapkan para murid menghadapi situasi mencekam di lintasan jalan salib, dari Getsemani ke Golgota. Yesus tahu betapa rapuhnya mereka, sehingga di jalan itu mereka tercerai-berai, meninggalkan Yesus.

Pada moment pembelajaran ini, ada beberapa hal penting yang diajarkan Tuhan Yesus kepada para muridNya. Pertama, Tuhan Yesus menjelaskan makna penderitaanNya. Ibarat seorang ibu yang memang harus melahirkan dengan susah payah, tetapi kelak ketika anaknya sudah lahir penderitaannya itu segera lenyap, berganti sukacita besar. (Agar kita memperoleh gambaran seperti apa sukacita yang dirasakan setelah melahirkan dengan susah payah). Penderitaan Yesus mendamaikan manusia dengan Allah, membawa uluran kasih Allah kepada orang-orang percaya. Yesus, sang Guru tidak ingin membiarkan para murid terjun bebas, gagal karena derita yang harus ditanggungNya. Pada saat tergenting Allah Bapa ada bersamaNya. Tuhan Allah tetap ada pada saat tidak ada orang lain yang menemani Yesus. Tuhan Allah ikut menderita bersamaNya. Relasi persekutuan ilahi antara Yesus dengan Allah Bapa, kini relasi itu merangkul orang-orang percaya ke dalam penyatuan ilahi tersebut. Dikatakan dengan jelas bahwa Tuhan Allah akan memberikan segala sesuatu yang kita minta dalam nama Yesus. Dengan percaya kepada kepada Kristus, orang-orang akan mengalami kasih Allah yang sesungguhnya secara langsung, tanpa perantara. “Bapa sendiri mengasihi kamu, karena kamu telah mengasihi Aku, dan percaya bahwa Aku datang dari Allah,… dan aku meninggalkan dunia untuk pergi kepada Bapa”. (ayat 27-28).

Injil Yohanes, seperti juga Injil-injil Sinoptis, menyaksikan bahwa Tuhan Yesus serius mempersiapkan para murid dengan sangat baik agar siap menghadapi peristiwa jalan salib, dari Getsemani ke Golgota. Penderitaan Yesus begitu tragis, tetap saja menggoncang mental para muridNya, sekalipun para murid itu telah tahu dan percaya. Pada gilirannya, para murid juga mengalami penderitaan oleh karena imannya. Melalui sesi pengajaran terakhir ini para murid tahu dan percaya bahwa jalan salib menyatukan mereka dengan sang Guru. Mereka yang menderita sebagaimana Kistus menderita terserap ke dalam penyatuan ilahi dengan Allah. Bagi para murid, demikian pula Gereja masa kini, “derita Kristus” adalah pilihan, itulah derita yang menyembuhkan orang sakit, menguatkan yang lemah, dan menyelamatkan yang hampir binasa. Tuhan Yesus meneladankan jalan salib sebagai cara Kristiani melawan belenggu kejahatan. Pada saatnya, murid-murid dan gereja ada di jalan itu sebagai konsekwensi dari pilihan bersatu dengan Kristus. Tanpa kesediaan menderita, tak mungkin ada kemenangan. Tuhan Yesus berkata, “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.” (ay. 33).

Pertanyaan diskusi:

Kiranya 3 pertanyaan di bawah ini bisa memandu kita untuk berbagi refleksi,:

  1. Mengapa Tuhan Yesus perlu mempersiapkan para murid untuk menghadapi peristiwa penderitaanNya?
  2. Apakah keteladanan kepada Kritus yang menderita itu cukup nampak dalam realita hidup berjemaat sekarang ini?
  3. Bagaimana sebaiknya kita merayakan Jumat Agung dan Paskah di tengah kompleksitas permasalahan masa kini?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *