Mobokrasi Pada Peristiwa Pengadilan Yesus dan Implikasinya di Indonesia*

Wanto Menda

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, “Salibkan Dia, Salibkan Dia!” Demikian teriakan sekumpulan besar massa yang mengamuk pada Jumat pagi sekitar tahun 30 Masehi di istana Gubernur Pontius Pilatus. Kelompok massa ini menggelandang Yesus dari Nazareth yang dituding menghujat agama.

Di hadapan Pilatus, massa yang dipimpin alim ulama Yahudi ini menuntut hukuman mati terhadap Yesus. Namun setelah melalui pemeriksaan perkara seadanya, Pilatus meyakini kasus ini sarat rekayasa politik sehingga ia tidak tertarik meladeni tuntutan mereka. Ada kesan Pilatus berusaha menyelamatkan Yesus dengan menawarkan amnesti: Barabas atau Yesus. Akan tetapi, massa yang sudah terprovokasi bersikukuh pada tuntutan mereka: Yesus harus mati.

Singkat cerita, Pilatus kehabisan amunisi untuk menenteramkan massa. Maka dengan terpaksa ia memenuhi tuntutan mereka. Secara teologis, kematian Yesus yang kita peringati sebagai Jumat Agung merupakan akta penebusan dosa. Melalui kematian Yesus, Allah menghapus dosa isi dunia. Namun dari sudut pandang politik, kematian Yesus menjadi penanda sejarah tentang betapa kejamnya pemerintahan yang dijalankan atas dasar tekanan massa atau yang dikenal dengan istilah mobokrasi.

Mobokrasi berasal dari kata mobyang berarti ‘massa’ atau gerombolan orang yang tidak teratur atau kerumunan. Mobokrasi – yang pada jaman kuno lebih dikenal dengan sebutan okholokrasi – secara sederhana bisa diartikan sebagai pemerintahan yang diselenggarakan dan dilaksanakan oleh massa atau segerombolan orang yang tidak paham seluk beluk pemerintahan. Mobokrasi cenderung membawa pemerintahan dan negara dekat dengan anarkisme dan kekacauan.

Mobokrasi dan demokrasi berbeda. Jika demokrasi adalah paham yang memusatkan kekuatan utama pada publik yang memiliki hak untuk memilih dan mengganti pemimpin secara langsung, bebas dan adil, maka mobokrasi adalah pemerintahan yang dikendalikan oleh segerombolan orang yang menerapkan kontrol dan tekanan terhadap publik.

Jejak sejarah mobokrasi bisa ditelusuri dalam cerita mengenai pengadilan Yesus yang dicacat dalam Perjanjian Baru sebagaimana dikatakan diawal. Para penulis Injil mengisahkan bahwa latar belakang kebencian para pemimpin agama Yahudi terhadap Yesus berawal dari kecaman-kecaman-Nya terhadap perlaku-perilaku munafik yang mereka pertontonkan. Tak mau kehilangan muka, mereka kemudian merencanakan penangkapan dan membunuh Yesus. Demi memuluskan niat jahat ini mereka merekayasa tuduhan yang cukup serius: Pertama berbau politik dan kedua berbau agama. Secara politik, Yesus dianggap berafiliasi dengan kaum Zelotis. Mereka adalah kelompok militan yang anti pemerintah Romawi.

Menariknya, Yesus memilih Simon dari golongan Zelot menjadi salah satu dari 12 murid-Nya. Pada saat yang sama, Ia juga memilih murid lainnya, Lewi alias Matius, seorang pemungut pajak yang bekerja untuk pemerintah Romawi. Sebagai kaki tangan penjajah, para pemungut pajak ini seringkali memeras rakyat miskin, akibatnya mereka dibenci. Zakheus adalah contohnya. Konon kabar, ia menaikan nilai pajak 4 kali lipat dari yang seharusnya. Tak disangka, sekali waktu ia bertemu dengan Yesus dan mampirlah Yesus di rumahnya. Tindakan Yesus ini kemudian mengundang comooh kaum agamawan.

Sepintas terdapat unsur kesengajaan dengan menghimpun dua atau lebih kubu yang saling bertentangan haluan politik dalam satu komunitas. Bahkan ini bisa berpotensi konflik yang dapat memecah belah persekutuan para murid. Namun apa pun tujuannya, dengan mengitegrasikan dua kubu yang saling berlawanan dalam satu ‘koalisi’ semacam ini, Yesus tampaknya berhasil memainkan sebuah strategi politik yang cukup jitu. Di satu sisi Ia mengupayakan perdamaian antar faksi-faksi yang saling bertikai dalam struktur masyarakat Yahudi, tapi pada sisi lain Ia tidak dapat dituduh sekongkol dengan faksi tertentu yang dianggap berpihak pada pemerintah Romawi.

Strategi ini bisa jadi mengecoh Pilatus sehingga ia menilai Yesus bukanlah sosok yang berbahaya. Apalagi ajaran-ajaran dan tindakan Yesus seperti menolong orang sakit, memberi makan orang lapar, mengusir setan dan seterusnya merupakan gerakan sosial yang lebih bersifat kemanusiaan ketimbang politis. Itu pun dilakukan secara terbuka di depan publik. Maka tuduhan bahwa Ia berafiliasi dengan kaum Zelotis cukup lemah.

Tidak puas dengan sikap Pilatus, para ahli taurat dan orang Farisi mengajukan tuduhan penghujatan agama terhadap Yesus.  Ia didakwa menyebut diri sebagai Anak Allah dengan ancaman hukuman mati. Namun, para penguasa/imam-imam kepala Bait Allah atau sanhedrin tidak mempunyai kewenangan untuk menghukum mati seseorang, maka mereka berusaha meminjam tangan penguasa Romawi dalam hal ini Pilatus untuk bisa menjatuhkan hukuman mati. Pilatus menolak. Massa kemudian mengancam mengadukan Pilatus pada kaisar. Takut kekuasaannya dicopot, Pilatus menyerahkan Yesus kepada massa untuk dihukum mati. Ini salah satu kisah mobokrasi yang ditulis dalam kitab suci.

Mobokrasi tidak berpatokan pada siapa yang benar menurut hukum melainkan siapa yang paling keras bersuara; Bukan bagaimana keadilan ditegakkan, tetapi supaya massa ditenteramkan.

Pemerintahan mobokrasi tidak sulit dicari analoginya dalam dunia modern. Indonesia yang kini dikenal sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia tidak luput dari praktik-praktik mobokrasi.

Peristiwa paling nyata adalah Pilkada DKI Jakarta tahun 2016. Ketika itu Gubernur Ahok selaku petahana, dituding melakukan penistaan agama. Demonstrasi berjilid-jilid dilancarkan terhadap Ahok. Akhirnya pengadilan memutuskan Ahok bersalah dan ia dipenjara. Menjadi rahasia umum bahwa hukuman 1, 8 tahun kepada Ahok bukan karena ia sungguh-sungguh bersalah tetapi demi menenteramkan massa yang sewaktu-waktu bisa beringas. Lagi pula, kalau Ahok tidak dihukum mungkin kerugian yang diderita oleh negara jauh lebih besar. Massa pun agak puas melihat Ahok mendekam dibalik jeruji kendati di luar sana ia elu-elukan sebagai pahlawan anti korupsi. Bahkan lebih jauh di luar negeri ia dinobatkan sebagai salah satu gubernur terbaik seantero dunia.

Dua bulan jelang pemilihan umum serentak presiden dan wakil presiden serta legislatif, Ahok menghirup udara bebas. Berita mengenai bebasnya Ahok membuat para penentang Ahok ketar-ketir. Salah satunya ialah Amin Rais. Ia getol melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial bahkan terkesan membual. Ia menyerukan pengerahan people power jika Pemilu 17 April 2019 curang, padahal Pemilu belum berlangsung.

Bahkan sehari pasca pemilihan umum di mana perhitungan cepat sejumlah lembaga survey independent, mengumumkan Jokowi dan Mahruf Amin sebagai pemenang presiden dan wakil presiden, ancaman mobokrasi terus dilancarkan oleh pihak yang merasa kalah. Egi Sudjana, salah satu sekutu dekat Amin Rais ikut-ikutan menyerukan ancaman people power. Rupanya kelompok ini ingin mengulang sukses people power 212 yang berhasil memenjarakan Ahok. Beruntung, TNI dan Polri cukup solid dalam menjamin keamanan negara sepanjang proses politik berlangsung sehingga ancaman-ancaman mobokrasi tidak perlu dikuatirkan secara berlebihan. Semoga.

Mencermati bergulirnya fenomena-fenomena sosial politik semacam ini, tampaknya mobokrasi masih menjadi ancaman bagi perjuangan demokrasi di Indonesia di masa mendatang.

Pancasila sebagai dasar negara masih menjadi jalan panjang ideologi yang akan terus disalib oleh kelompok-kelompok yang menunggang agama di tikungan-tikungan sejarah. Hal ini perlu senantiasa diwaspadai oleh setiap anak bangsa yang mendambakan tegaknya nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, kesejahteraan, perdamaian, kebebasan, kesetaraan dan seterusnya.  Selamat memperingati Jumat Agung sebagai peristiwa mobokrasi paling biadab dalam sejarah sepanjang abad. ***

*Artikel ini merupakan pengembangan dari sebuah diskusi teologis yang diselenggarakan oleh Pemuda GMIT Klasis Kota Kupang bersama Pdt. Dr. Andreas Yewangoe di Kupang, pada 6 April 2019.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *