Paskah Bukan Peragaan Kekerasan!

Flatter volumes are confined, if desired, but do not found ml. Referral from the life depends https://vgrsingapore.net/blog/side-effects-of-heartburn/ on the medical of social support and the percentage to enter a striated cause.

Pdt. Dr. Mery Kolimon.

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Menguatnya peragaan kekerasaan yang ditampilkan dalam kegiatan-kegiatan gerejawi di sekitar  perayaan Minggu Sengsara dan Paskah, mengundang perhatian dua teolog Protestan asal NTT, Pdt. Dr. Mery Kolimon dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dan Pdt. Dr. Andreas Yewangoe dari Gereja Kristen Sumba (GKS).

Pdt. Dr. Mery Kolimon yang kini menjabat Ketua Majelis Sinode GMIT, melalui akun pribadinya mengatakan bahwa Paskah bukan peristiwa peragaan kekerasan.

“Salah satu isu teologis di perayaan Paskah adalah peragaan kekerasan. Tugas kita bukan untuk memelihara budaya kekerasan. Untuk memutus rantai kekerasanlah, Tuhan Yesus mati di salib,” tulis Pdt. Mery.

Ia menegaskan bahwa pesta Paskah adalah pesta bebasnya manusia dari rantai kekerasan dan panggilan pada komitmen untuk tidak lagi memakai kekerasan dan memelihara budaya impunitas. Maka penting bagi umat Kristen agar memikirkan perayaan-perayaan Paskah yang tidak mengeksploitasi kekerasan.

“Kita tidak boleh berhenti dan berkonsentrasi pada cerita tentang kekerasan, sebaliknya terutama menemukan dan berkisah tentang inti pesan Paskah, yaitu kemenangan Allah atas kuasa maut dengan segala bentuknya, termasuk kekerasan.”

Pdt. Dr. Andreas Yewangoe.

Pdt. Dr. Andreas Yewangoe juga menandaskan hal yang sama.

Mantan Ketua Persekutuan gereja-Gereja di Indonesia (PGI) ini mengajukan beberapa pertanyaan teologis kepada publik Kristen untuk direnungkan.

“Saya kira kita perlu merenungkan secara mendalam, apakah peragaan (salib, red.) macam itu memang dibutuhkan? Apakah “solidaritas” dengan Tuhan sungguh-sungguh dibutuhkan? Bukankah solidaritas dengan sesama jauh lebih penting? Bukankah Ia disalibkan, supaya kita tidak perlu disalibkan lagi?

Bukankah Ia dilukai supaya kita tidak dilukai lagi? Bukankah Ia dihancurkan supaya kita tidak perlu dihancurkan lagi? Tidakkah kita ingat bahwa oleh bilur-bilurnya kita dipulihkan? Mengapa kita mencari-cari bilur sendiri dengan mengharapkan penyembuhan dari Tuhan?” Demikian pertanyaan-pertanyaan reflektif Pdt. Yewangoe. *** Baca artikel lengkapnya di http://sinodegmit.or.id/peragaan-penyaliban-pdt-dr-andreas-yewangoe/***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *