KUPANG,www.sinodegmit.or.id, Kehadiran perangkat teknologi digital seperti smartphone, sukses melambungkan hegemoni media online terhadap media cetak dan elektronik. Jika media konvensional seperti cetak dan elektronik membutuhkan cukup waktu untuk memproses sebuah informasi menjadi berita, platform media online seumpama website menjadikannya super cepat.
Media Online Sinode GMIT
Tahun 2018 lalu, PT Telkomsel merilis data pengguna layanannya di NTT sebanyak 3,6 juta dari total penduduk kurang lebih 5 juta jiwa. Jikalau jumlah pengguna smartphone di NTT taruhlah setengah dari jumlah penduduk maka bisa dibayangkan betapa mudahnya sebuah informasi memberi pengaruh terhadap jutaan orang di provinsi paling Selatan Nusantara ini dalam waktu relatif singkat.
Merespon pesatnya teknologi informasi digital, sejak 5 tahun terakhir, Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) mengembangkan sebuah media online berbentuk website bernama www.sinodegmit.or.id. Ini sebuah terobosan strategis mengingat GMIT memiliki anggota jemaat kurang lebih 1,5 juta jiwa yang tersebar di seluruh kepulauan NTT, (kecuali Sumba) Sumbawa (NTB), Surabaya dan Batam. Tentu jumlah ini merupakan bonus demografi yang menantang apabila dimanfaatkan secara kreatif. Sebelumnya GMIT telah memiliki media cetak bernama Berita GMIT yang kendati pengelolaannya pasang surut tetapi usianya sudah lebih dari setengah abad.
Sebagai salah satu yang dipercaya mengelola kedua media ini, saya melihat sebuah harapan bagi GMIT saat ini dan di masa mendatang untuk membangun pelayanan berbasis media digital. Harapan ini didasarkan pada informasi data yang ditampilkan Google Analytics.
Google Analytics, adalah sebuah aplikasi yang menganalis data statistik pengunjung website secara real time, baik itu jumlah pengunjung, usia, gender, asal kota/negara, halaman yang dikunjungi, perangkat akses, media sosial yang dipakai mengunjungi situs dan lain-lain.
Data statistik tersebut meyakinkan saya bahwa media digital memiliki kekuatan yang bisa dimanfaatkan sebagai salah satu sarana kesaksian gereja yang murah, mudah, luas dan cepat. Efektif dan efisien.
Sebagai contoh saja, periode 1-30 April 2019 kemarin, jumlah pengunjung (user)sebanyak 68.345. Bila jumlah ini dibagi 30 hari maka kunjungan per hari sebanyak 2.278, atau 94,92 kunjungan per jam; 1,58 kunjungan per menit; dan 0,02 kunjungan per detik. Sementara jumlah halaman yang dikunjungi (pageviews)sebanyak 247.872, dengan lama waktu setiap kunjungan (avg. sessions duration) 1 menit 13 detik.
Dari sisi gender, statistik menunjukan pengunjung laki-laki 56,56% dan perempuan 43.44%. Sedangkan dari segi usia, jumlah pengunjung berumur 25-34 tahun sebanyak 33,52%; 35-44 tahun: 16,71%; 18-24 tahun: 16,00%; 45-54 tahun: 14,26%; 55-64 tahun: 11,85%; dan usia 65 tahun ke atas: 7,66%.
Selanjutnya dari segi perangkat akses tercatat 82,5% pengunjung mengakses melalui smartphone, 15,2% menggunakan desktop dan 2,3% memakai tablet.
Apa arti angka-angka statistik ini bagi pengembangan pelayanan GMIT?
Perlu diketahui, mati hidupnya website/media online dinilai berdasarkan rating kunjungan. Makin kecil jumlah rating, makin kecil pula kemungkinan media itu bertahan hidup. Syukur, website Sinode GMIT tidak hanya mampu bertahan hidup tetapi sedang meroket. Berawal dengan merangkak dari 5.000-an pengunjung per bulan pada tahun-tahun awal beroperasi, kemudian menanjak rata-rata 15 ribu kunjungan perbulan sepanjang tahun 2018, dan kini di 2019 melonjak hingga hampir 70 ribu kunjungan per April.
Dari sekian data tersebut setidaknya ada beberapa hal yang menarik untuk ditindaklanjuti antara lain: jumlah pengunjung, usia, perangkat akses (device) dan durasi kunjungan (avg. sessions duration).
Saat ini GMIT memiliki 1.500 pendeta yang bekerja di 2.500 jemaat lokal. Kalau diandaikan di satu jemaat terdapat 20 orang presbiter (pendeta, penatua, diaken, pengajar) yang aktif di situs ini maka setiap hari situs Sinode GMIT mendapat 5.000 kunjungan. Jika jumlah itu dibagi lagi dalam hitungan jam maka terdapat 208,33 kunjungan per jam, 3,47 kunjungan per menit dan 0,05 kunjungan per detik. Bagaimana kalau jumlah itu bukan hanya presbiter, tetapi juga melibatkan kategorial fungsional lainnya? Tinggal dikalikan saja.
Dari sisi usia, data menunjukan prosentasi terbesar pengunjung antara usia 25-34 sebesar 33,52%, disusul usia 35-44 sebesar 16,71% dan dibawahnya lagi usia 18-24 tahun sebesar 16,00%. Sayang sekali Google Analytics tidak memberi data pengunjung berusia remaja di bawah 18 tahun. Namun, menarik bahwa pengunjung berusia 18-24 tahun yang merupakan usia sekolah (siswa, mahasiswa yang juga umumnya aktif di pemuda gereja) lebih rendah prosentasinya dari usia 35-44 yang dalam struktur gereja masuk dalam kategori kaum perempuan dan kaum bapak.
Bisa jadi rendahnya prosentasi itu disebabkan oleh belum banyak kaum muda mengetahui situs ini. Atau mungkin segmen berita dalam situs ini kurang atau belum menyentuh kebutuhan mereka. Atau jangan-jangan literasi kaum terpelajar memang rendah sebagaimana dibuktikan sejumlah penelitian. Namun terlepas dari kemungkinan-kemungkinan tersebut, Gereja punya pekerjaan rumah yang mendesak untuk mendorong pendidikan warga pada kategori usia ini.
Pasalnya, tanpa bekal pendidikan tradisi teologi kegerejaan yang memadai, mereka akan terjebak ajaran-ajaran denominasi lain yang membuat mereka hengkang dari gereja asal. Dan, salah satu cara mendorong ke arah itu menurut saya adalah literasi melalui media digital. Mengapa media digital menjadi pilihan? Karena 24 jam sehari, 7 hari seminggu mereka mencari dan menikmati kehidupan sosial di dunia virtual tersebut.
Ada juga yang tak kalah menarik dari data durasi kunjungan visitor yang tergolong singkat, yakni hanya rata-rata 1 menit 13 detik. Memang begitulah karakter netizen di sosial media. Tidak mau berlama-lama dengan sebuah konten apalagi konten itu tidak cukup menarik perhatian. Selain alasan membuang-buang quota pulsa tapi juga banyak berseliweran informasi menarik yang sangat menggoda untuk segera beralih. Kondisi ini memaksa layanan informasi media digital perlu dikemas secara singkat, menarik dan berkualitas.
Cari Apa di Situs Sinode GMIT?
Kalau jemaat didorong mengunjungi situs Sinode GMIT, maka pertanyaannya adalah mau cari apa di situ? Hal menarik apa yang bisa bermanfaat bagi pertumbuhan iman ketika mereka berselancar di situs ini?
Mari kita hitung-hitungan lagi. Dari lima aspek pelayanan GMIT yakni koinonia, marturia, diakonia, liturgia dan oikonomia, ada satu yang paling mendominasi menurut saya yakni liturgia dan satunya lagi, marturia, sebagai yang paling kurang mendapat perhatian.
Pertama, aspek liturgia (ibadah). Di GMIT, ibadah-ibadah ibarat makanan pokok. Soal gizi, nanti dulu, yang penting makan. Mulai dari kebaktian minggu, ibadah buka usbuh, ibadah kaum bapak, kaum perempuan, pemuda, anak-anak, lansia, persekutuan doa, paduan suara/vocal grup, pengucapan syukur A-B-C-D, tutup usbuh, hari raya gerejawi dan seterusnya. Apa kebutuhan utama dari semua ibadah tersebut? Tidak lain dan tidak bukan adalah khotbah.
Dengan memiliki 2.500 jemaat lokal, itu berarti ada 2.500 khotbah diperdengarkan dalam sehari di seluruh wilayah pelayanan GMIT. Kalau satu jemaat dirata-ratakan terdapat 10 rayon, maka dalam sehari ada 25 ribu khotbah dan atau dalam seminggu terdapat 175 ribu khotbah. Ahoooi…Itu jumlah yang sangat dasyat. Maka hemat saya, ada ruang yang maha luas bagi 1.500 pendeta GMIT yang bergelar sarjana, master dan doktor teologi, untuk memperkuat basis pendidikan teologi jemaat melalui khotbah di media digital. Bagaimana caranya?
Cukup dengan menyediakan minimal satu khotbah, sekali lagi satu khotbah saja asalkan memenuhi standar homilitika. Dan, peran ini mungkin sebagiannya bisa dihandle para pendeta emeritus sebab mereka memiliki banyak waktu dan pengalaman. Ingat bahwa 5.000 kunjungan pada sebuah situs setiap hari adalah jumlah yang sangat besar.
Itu baru satu contoh. Masih banyak konten lain yang bisa digarap untuk memajukan literasi warga gereja seperti bahan-bahan pemahaman alkitab, artikel, news, feature, puisi, cerpen, liturgi, dokumen-dokumen keorganisasian, dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat menunjang kehidupan beriman dan bergereja.
Kedua, marturia (kesaksian). Ini aspek pelayanan yang selalu dianggap sepele dan remeh. Dalam rapat-rapat anggaran gereja biasanya bidang marturia kebagian remah-remah. Padahal, aspek ini merupakan jantung dari panggilan gereja. Dalam Tata Gereja GMIT, aspek ini mencakup semua hal yang berkaitan dengan pendidikan warga gereja. Namun apa yang terjadi? Mari kita lihat faktanya.
Hasil penelitian thesis Pendeta Daibel Tlonaen di rayon 3 Klasis Kota Kupang meliputi Jemaat GMIT Yarden Labat, Jemaat Syalom Airnona, Jemaat Kemah Ibadat, Jemaat Koinonia Kuanino, Jemaat Batu Karang, Jemaat Rehobot Bakunase, Jemaat Hosana Batuplat dan Jemaat Pohonitas, menunjukan bahwa dukungan gereja terhadap aspek pendidikan warga gereja khususnya bidang Pelayanan Anak dan Remaja (PAR) dan Katekisasi Sidi tahun 2016 hanya 0,37% dan naik sedikit 0,62% pada 2017 dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Jemaat (APBJ).
Saya menduga prosentasi ini relatif sama di seluruh jemaat-jemaat GMIT. Dengan prosentasi anggaran sekecil dan sekikir itu, sulit rasanya membayangkan kualitas pendidikan iman warga gereja terutama generasi muda GMIT memasuki era industri 4.0.
Itu baru masalah sekolah minggu dan katekisasi sidi, belum lagi bicara problematika 500-an sekolah GMIT yang sebagian kita sudah tahu duduk perkaranya.
Namun janganlah pesimis dulu. Ingatlah bahwa Gereja yang kreatif senantiasa melihat peluang di tengah tantangan. Kesempatan di tengah ancaman. Menjadi Gereja yang rajin beribadah itu baik, tapi rajin yang tidak disertai pengetahuan yang memadai itu berbahaya. Kerena itu, tidak ada pilihan lain selain gereja mau belajar dari perkembangan teknologi digital (multi media) dan memanfaatkannya dalam rangka menutupi ruang-ruang kosong yang belum atau tidak terisi secara fisik namun bisa dijembatani secara virtual. ***