Bahan Diskusi Tema & Sub Tema Sidang Sinode GMIT ke-34

Tema : “ROH TUHAN MENJADIKAN DAN MEMBAHARUI SEGENAP CIPTAAN

(band. Mazmur 104:30)

Sub tema: “Roh Tuhan Berkuasa atas Gereja, Masyarakat, dan Semesta”

(band. I Samuel 16:13; Lukas 4:18-19)

Pdt. Dr. Mesakh Dethan

Tema Sidang Sinode ke-34 akan berlangsung pada bulan Oktober 2019 di Klasis Kota Kupang adalah: “ROH TUHAN MENJADIKAN DAN MEMBAHARUI SEGENAP CIPTAAN(band. Mazmur 104:30). Dan rumusan sub tema: “Roh Tuhan berkuasa atas Gereja, Masyarakat, dan Semesta”(band. I Samuel 16:13; Lukas 4:18-19).

Berdasarkan Tema dan Sub Tema ini saya diminta untuk melihatnya dari Perspektif Perjanjian Baru dan secara khusus saya akan menyoroti Injil Lukas 4:18-19 terutama yang berkaitan dengan hakikat Roh Kudus dan karyaNya bagi gereja, masyarakat, dan alam semesta.

Hakekat Roh Kudus dan KaryaNya bagi gereja, masyarakat dan alam semesta perspektif Injil Lukas

Tema Roh Kudus adalah tema sentral dalam Injil Lukas. Tak dapat diragukan lagi bahwa si penulis Injil Lukas adalah orang sama-sama dari penulis Kisah Para Rasul, dimana dalam Kisah Para Rasul juga tema Roh Kudus mendapat tempat yang utama. Para pakar PB menyebut Injil Lukas dan Kisah Rasul merupakan karya besar yang dipersembahkan si penulis Lukas bagi umat Tuhan sejak awal berdiri gereja hingga kini.

Melihat kesatuan baik dari segi isi maupun tema dari Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, maka para pakar PB sepakat keduanya berasal dari penulis yang sama yaitu yang dikenal dengan Lukas, sehingga keduanya sering disebut sebagai “Das Lukanische Doppelwerk”[2].

Penekanan akan pentingnya peranan Roh Kudus disini tergambar secara luas baik dalam Injil Lukas maupun Kisah Para Rasul. Ada kesamaan yang luar biasa dari Injil Lukas maupun kisah Rasul, dimana menekankan peranan Roh Kudus yang sangat penting baik dalam diri Yesus maupun para murid. Sehingga kalau dalam Injil Lukas peranan Roh Kudus nampak dalam diri Yesus, maka dalam Kisah Para Rasul peranan Roh Kudus nampak dalam diri para murid atau para rasul.

Roh Kudus berperan dalam pelayanan Yesus, hal itu telah nampak sejak Yesus memulai pelayanannya (Lukas 4:18, 19; 5:8 dyb). Demikian pula Roh Kudus berperan dalam masa-masa awal pelayanan murid-murid setelah peristiwa pencurahan Roh Kudus (Kis 2:1-4).

Menarik bahwa kuasa yang dimiliki Kristus oleh Lukas adalah kuasa karena Roh Tuhan atau Roh Allah sendiri yang menyertaiNya dan kuasa yang sama kemudian dialihkan kepada para murid. Dimana istilah kuasa yang dipakai disini adalah kuasa (Yunani dunamis).

Dunamis (bahasa Yunani artinya “Kuasa”), bukanlah sekadar kekuatan atau kemampuan; lebih dari pada itu istilah ini khusus menunjuk kepada kuasa yang bekerja, yang bertindak. Lukas dalam “des lukanischen Doppelwerkes” nya (dalam tulisannya yang pertama Injil Lukas dan dalam Kisah Para Rasul) menekankan bahwa kuasa Roh Kudus termasuk kekuasaan untuk mengusir roh-roh jahat dan urapan untuk menyembuhkan orang sakit sebagai kedua tanda penting yang menyertai pemberitaan Kerajaan Allah (Lihat misalnya. Lukas 4:14,18,36; 5:17; 6:19; 9:1-2; Kisah Para Rasul 6:8; 8:4-8,12-13; 10:38; 14:3; 19:8-12).

Kuasa atau Roh Kudus diberikan untuk bersaksi. Dan bersaksi dalam banyak bentuk, baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Bersaksi tidak harus dalam bentuk khotbah. Bersaksi tidak harus menangkan Jiwa. Bersaksi tidak harus teriak-teriak. Bersaksi tidak harus pamer kehebatan. Bersaksi tidak harus unjuk kepintaran. Bersaksi menunjuk kepada kebesaran Tuhan.

Bersaksi bisa dalam kata-kata da perbuatan kita yang nyata dalam melaksanakan amanat Agung Yesus dalam Matius 28:19-20. Orang percaya memiliki tanggungjawab untuk menyasikan kebaikan dan kebenaran Tuhan. Orang bisa saja bertobat karena kesaksian kita, namun itu bukan usaha kita tetapi karya Roh Kudus melalui kita. Ketika kita menyangka bahwa pertobatan orang lain adalah karena kita, maka kita sesunguhnya mendudukan Roh Kudus, karena kita telah menyangkali kuasanya (dunamisnya) yang sedang bekerja dalam diri kita. Oleh karena itu bersaksi adalah gaya hidup kita, bukan beban yang memberatkan kita. Sebab kuasa Roh Kudus yang bekerja dalam diri membebaskan kita, memberikan semangat kepada kita. Bahkan ketika kita merasa tak mampu ia justru menolong kita hingga kedatangan kembalinya Yesus.

Menarik bahwa dalam teks Lukas 4:16-30 ada penekanan bahwa melalui tuntunan Roh Kudus Yesus memulai pelayananNya dari kampung kecil Nazaret di wilayah Galilea dan bukan dari kota besar di Yerusalem.

“Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab”. (Lukas 4:16).

Penekanan pada kampung atau desa dan bukan kota atau perkotaan merupakan sikap kerendahan hati Kristus. Bahkan hal ini sudah tergambar sejak kelahirannya, dimana ia dilahirkan dari tempat yang paling udik di Israel dan bahkan dalam sebuah kandang (Lukas 2:4-7). Puncak dari perendahan diri Kristus adalah kematiannya di salib (Lukas 23:33-49; bandingkan Filipi 2:6-8). Kerendahan hati Kristus oleh penulis Lukas hanya mungkin terjadi karena ia dalam kontrol Roh Tuhan, dan ini sudah ditegaskan sebelumnya dalam Lukas 4:14 “Dalam kuasa Roh kembalilah Yesus ke Galilea. Dan tersiarlah kabar tentang Dia di seluruh daerah itu”.

Ungkapan “dalam kuasa Roh Kudus” diterjemahkan dari ungkapan aslinya  “en thei dunamei tou pneumatos”oleh beberapa terjemahan terlihat ada berbagai variasi yang menarik. Versi Einheitsuebersetzung (1980) Jerman: erfüllt von der Kraft des Geistes (dipenuhi dengan kuasa Roh), English Standard Version (2001): full of the Holy Spirit (penuh dengan Roh Kudus, atau dalam versi Amplified Bible (2015) full of [and in perfect communication with) the Holy Spirit (penuh dengan [dan dalam komunikasi yang sempurna dengan] Roh Kudus), E.J. Tinsley[3]: armed with the power of the Spirit (dipersenjatai dengan kuasa Roh). Ungkapan ini dalam berbagai variasinya mau menunjukkan bahwa kuasa Yesus adalah berasal dari Allah Bapa pencipta, yang diperolehnya dari sikap kerendahan hatinya untuk dibaptis oleh Yohanes Pembaptis (Lukas 3:21-22 “Ketika seluruh orang banyak itu telah dibaptis dan ketika Yesus juga dibaptis dan sedang berdoa, terbukalah langit dan turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya. Dan terdengarlah suara dari langit: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” Sebetulnya Yohanes Pembaptis menolak untuk membatis Yesus karena merasa itu tak pantas, karena pembaptisan adalah penyucian dari dosa-dosa, sementara Yohanes tahu bahwa Ia adalah anak Allah yang maha tinggi. Tetapi Yesus mengatakan biarlah hal itu terjadi karena itu adalah kehendak Allah sendiri (Bandingkan Matius 3:13-15). 13 Maka datanglah Yesus dari Galilea ke Yordan kepada Yohanes untuk dibaptis olehnya. 14 Tetapi Yohanes mencegah Dia, katanya: “Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, dan Engkau yang datang kepadaku?” 15 Lalu Yesus menjawab, kata-Nya kepadanya: “Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah.” Dan Yohanespun menuruti-Nya. Rasul Paulus melihat peristiwa kerendahan hati dan ketaatan Kristus ini dalam suatu perbandingan antara Adam sebagai manusia pertama dan Kristus sebagai Adam kedua, yakni pada ketidaktaatan Adam dan ketaatan Kristus kepada Kehendak Allah. Melalui ketidaatan Adam semua orang berada dalam penghukuman Allah, namun melalui ketaatan Yesus semua orang dibenarkan dan diberi kesempatan hidup dalam anugerah Allah (Roma 5:12-19).

Sikap penekanan pada kampung dan bukan kota besar juga diajarkan Yesus setelah kebangkitanNya kepada para muridNya. Galilea, bukan Yerusalem, kampung bukan kota besar (bandingkan Matius 28:7-10; Markus 16:7). Titik tolak dari awal pelayanan para murid hendaknya dimulai dari kampung Galilea dan bukan kota besar Yerusalem. Yerusalem sebagai tempat para nabi dibunuh Yerusalem juga sebagai tempat pengadilan Yesus yang berujung kepada hukuman mati dalam bentuk penyalibannya.

Orientasi desa, dan bukan kota: pedesaan masih menawarkan kesejukan, kepolosan dan kenyamanan, sebaliknya kota besar menawarkan segala kerumitan dan polusi agama, budaya dan sosial. Memang di desa banyak keterbatasan dikota banyak fasilitas termasuk fasilitas untuk buat jahat, tetapi Yesus menyuruh para murid memulai awal yang baru dari desa.

Kebangkitan memberikan pemulihan: Petrus dan para murid yang lain dipulihkan, karena ingat dan berpegang pada kata-kata Yesus. Contoh Sikap hidup Petrus dan Yudas nenghasilkan akhir hidup yang berbeda, terletak pada kesungguhan untuk memberi diri dipulihkan oleh Allah yang dimulai dari kesejukan dan kepolosan kampung. Di kampung masih banyak hutan dan tanah kosong masih masih bisa diusahakan dan dipelihara sementara di kota telah bertumbuh batu-batu dan beton, polusi dan pencemaran. Para murid taat pada ajakan Yesus untuk kembali ke kampung ini, dan dipulihkan. Dan Injil menampilkan hal yang kontras dalam sosok Petrus dan Yudas.

Petrus menyesali, bertobat dan menjadi penginjil hebat, Yudas juga memang semula menyesali dosanya, tetapi tidak berakhir dengan pertobatan karena ia mengakiri hidupnya dengan bunuh diri (Bandingkan Matius 27:5). Kuasa kebangkitan Kristus itu benar-benar kemudian mengubah kehidupan para murid karena keterbukan kepada Roh Kudus; kesediaan untuk diatur, diarahkan, distir (driven dan dipersenjatai oleh kuasa Roh Kudus. Jika ada kebangkitan berarti ada kehidupan, kalau ada kehidupan otomatis ada harapan. Orang yang benar-benar memiliki kebangkitan Kristus, akan menjalani hidup dengan bergairah dan antusias, tidak mengeluh dengan masalah, selalu optimis bahwa kemenangan akan diraih. Kebangkitan juga berarti harapan, dengan kebangkitan Kristus, harapan akan hidup kekal termasuk menang atas segala persoalan hidup. Orang percaya memiliki tanggungjawab untuk menyasikan kebaikan dan kebenaran Tuhan. Orang bisa saja bertobat karena kesaksian kita, namun itu bukan usaha kita tetapi karya Roh Kudus melalui kita.

Ketika kita menyangka bahwa pertobatan orang lain adalah karena kita, maka kita sesunguhnya mendudukan Roh Kudus, karena kita telah menyangkali kuasanya (dunamisnya) yang sedang bekerja dalam diri kita.Oleh karena itu bersaksi adalah gaya hidup kita, bukan beban yang memberatkan kita. Sebab kuasa Roh Kudus yang bekerja dalam diri membebaskan kita, memberikan semangat kepada kita. Bahkan ketika kita merasa tak mampu ia justru menolong kita hingga kedatangan kembalinya Yesus.

Menarik bahwa ketika para murid Yesus menanyakan kapan Yesus memulihkan Israel Lukas memberikan jawaban yang tidak terduga dan menunjukkan perspektif Lukas  yang tidak lagi partikular-primordial tetapi universal sebagaimana dilukiskan dalam Kisah Para Rasul 1:1-14. Yesus tidak menjawab pertayaan para murid tentang pemulihan Israel, tetapi Ia justru lebih suka berbicara tentang pekabaran Injil Kerajaan Allah kepada berbagai bangsa.

Ini mengindikasikan bahwa Yesus tidak hanya memikiran nasib sebuah suku bangsa, namun ia lebih memikirkan nasib berbagai bangsa di muka bumi. Israel penting tetapi jauh lebih penting adalah pemberitaan Inji kepada orang-orang dari berbagai bangsa, berbagai budaya dan bahasanya. Suku, agama dan ras kita mungkin penting tetapi jauh lebih penting adalah, kebersamaan kita dengan suku, agama dan ras orang lain. Kita dapat menjadi saksi yang baik kalau mampu memperbaharui diri. Memperbaiki diri disini tiadk hanya soal bertobat, tetapi kesediaan untuk berjalan dalam zona pertobatan sambil turut bersaksi bersama orang lain.

Dengan membaharui pola pikir, pola kerja kita, pola kerjasama kita maka tentu ini menjadi suatu kekuatan agar kesaksian kita lebih efektif dan berdaya guna. Menarik juga untuk dicatat bahwa dalam teks Lukas 4:16-30, sesudah Yesus berkhotbah di rumah ibadah, Ia diusir oleh orang-orang Yahudi. Oleh kebanyakan penafsir episod awal di kampung Nazaret ini merupakan cerminan dari keseluruhan pelayanan Yesus nanti, dimana ia diterima dan diakui karena pengajarannya yang luar biasa karena dituntun oleh Kuasa Roh Kudus, tetapi ia ditolak oleh para lawannya, yang berusaha mati-matian untuk mencari kesalahannya dan membunuhya.

Padahal Lukas 4: 16 diceriterakan bahwa Yesus datang ke Nazaret, tempat Ia dibesarkan. Itu berarti Nazaret adalah kampungnya sendiri dan tentu kalau pulang kampung berarti orang-orang yang ada di rumah ibadah itu bukan orang asing, tetapi orang-orang yang sudah mengenal Yesus sejak kecil. Mungkin juga teman-teman sebayanya, teman-temannya bermain kelereng batu atau kayu, atau permainan katapel dan ali-ali atau permainan lainnya sewaktu kecil, yang juga hadir dalam kebaktian itu. Lalu apa yang menyebabkan Yesus diusir setelah Ia berkhotbah? Apakah ada kesalahan yang sangat fatal dalam khotbahnya? Atau ada kata-kata yang begitu menyinggung perasaan orang tertentu? Bukankah Yesus berkhotbah dalam bimbingan dan urapan Roh Tuhan?

Ternyata tidak ada yang salah dalam khotbah Yesus. Yesus diusir oleh karena Ia memproklamasikan sebuah berita yang berbeda dari harapan orang-orang Yahudi. Ia membacakan teks nubuatan Yesaya 61:1-2 dan Yesaya 58:6 sekarang telah digenapi olehnya. Orang-orang Yahudi tidak mengharapkan bahwa yang akan membawa pembebasan adalah Yesus. Apalagi mereka pernah mengenal Yesus sebagai anak Yusuf si tukang kayu itu. (ayat 22, “bukankah dia ini anak yusuf si tukang kayu itu?”). Orang-orang Yahudi justru mengharapkan yang akan datang untuk menggenapi nubuat dalam Kitab Yesaya sebagaimana dibacakan oleh Yesus, adalah seorang raja yang datang dengan kejayaannya, yg berperang melawan bangsa Romawi yang pada waktu itu sedang menjajah mereka. Bukan sebaliknya Yesus yang datang dengan lemah lembut dan tidak membawa pasukan perang. Jadi istilah anak-anak muda sekarang: “ ini salah orang” Artinya yang mereka harap orang lain, yang datang memproklamasikan tentang tahun rahmat Tuhan yang akan dinyatakan, justru orang lain. Yesus ditolak oleh orang-orang sekampung yang merupakan teman semasa kecil mereka yang mereka sudah tahu siapa dia. Dan karena itu mereka sama sekali tidak hargai. Hal ini mungkin bisa dianggap suatu kewajaran. Nampaknya kita lebih menghargai orang luar dari pada orang kita sendiri. Kita lebih menghargai para pekerja asing dari pada pekerja kita sendiri. Kita lebih menghargai barang impor yang mematikan usaha rakyat dari pada produksi bangsa sendiri yang memperkuat ekonomi rakyat. Yesus katakan: “”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.” (Lukas 4:24).

Menurut Joseph A. Fitzmyer, bandingkan juga I. H. Marshall[4] melalui kisah ini si penulis Lukas mau menekankan sejak awal kisahnya bahwa ajaran-ajaran Yesus dibawah tuntunan Roh Kudus adalah penggenapan dari nubuat-nubuat PL, dan pada saat yang sama mau menekankan bahwa reaksi penolakan orang-orang Nazaret adalah representatif dari orang-orang (para penentang: kaum parisi, ahli Taurat, etc) yang menolak pelayan Yesus dikemudian hari.[5]

Apa yang disampaikan oleh Yesus dalam rumah ibadah di Nazaret ini, sebenarnya merupakan sebuah proklamasi. Bahwa sebuah babak baru dalam kehidupan umat manusia akan dimulai, babak injil Kerajaan Allah dan kabar baik bagi umatNya yang tertindas dari berabgai-bagai hal.

Yesus akan membebaskan mereka dari kuasa dosa, dan berbagai penderitaan fisik. Pembebasan akan dilakukan oleh Yesus. Hak anak-anak diperhatikan, hak-hak kaum perempuan yang tadinya dibaikan diperhatikan, orang-orang miskin dibela, orang –orang sakit disembuhkan, orang mati dibangkitkan, bahkan Yesus memberi diriNya disalibkan demi memerdekakan semua orang dari dosa).

Sekalipun orang-orang Yahudi menolak Yesus dan mengharapkan seorang raja lain yang akan datang, tetapi Allah telah menetapkan Yesus sebagai Mesias dan pahlawan yang akan menyelamatkan mereka. Allah ingin Yesus memberi kemerdekaan kepada mereka dengan cara yang berbeda dari cara-cara yang dipakai oleh para penguasa dunia. Yesus datang untuk memerdekakan mereka dengan kasih.

Yesus mulai dengan menjawab kebutuhan manusia. Ia melayani dengan kasih. Dan tindakan kasih yang paling agung adalah melalui pemberian diriNya untuk melayani orang miskin, orang terbuang, orang-orang berdosa, bahkan kelalui kematianNya di kayu salib seluruh makhluk dan alam semesta di tebus. Bahwa tiap-tiap manusia bukan hanya dibebaskan dari para penguasa, tetapi juga dibebaskan dari penjajahan dosa. Dari kuasa dosa yang membelenggu setiap manusia.

Oleh karena apa? Oleh karena kecenderungan manusia yang terbesar adalah mengikuti kehendaknya sendiri dari pada mengikuti kehendak Allah. Dan itulah yang dinamakan dosa. Ketika seseorang mengikuti kemauannya sendiri dan tidak mengikuti kehendak Allah, itulah dosa. Orang percaya, para pelayan Tuhan berlomba-lomba mengejar kebesaran diri sendiri dan miskin dalam kebersamaan, gagal dalam kerjasama pelayanan.

Ironis para pelayan Tuhan dipanggil dan ditahbiskan atas nama Kristus, tetapi yang dilayani bukan kepentingan Kristus, tetapi kepentingan diri sendiri. Semakin banyak pendeta dalam suatu jemaat bukannya beban pelayanan makin ringan, tetapi justru makin berat oleh karena berbagai kepentingan yang ada. Jarang dalam suatu jemaat yang lebih dari satu pendeta pelayanan jemaat berlangsung rukun dan damai. Dipermukaan airnya tampak tenang tetapi didasarnya sungai “ada banyak buaya yang berenang”.

Menyadari bahaya dan krisis pelayanan oleh dalam Lukas pasal 10:1-12 dikatakan bahwa Yesus mengatur strategi pelayan kolektif yang bertumpu pada metode yang merangsang kebersamaan para pelayan TUhan. Bahwa pekerjaan pelayanan bukan kerja satu dua orang tetapi kerja banyak orang secara bersama-sama. Metode itu ialah kerja banyak orang dan tujuannya bukan keuntungan material, tetapi bagaimana manusia diselamatkan. Pada ayat 1 dikatakan “kemudian daripada itu Tuhan menunjuk 70 yang lain, lalu mengutus mereka berdua-dua mendahuluiNya. Dalam bacaan sebelumnya, Yesus sudah memilih 12 rasul kemudian Ia memilih lagi 70 orang lain.

Ada banyak tafsiran mengenai arti angka 70. Tetapi disimpulkan bahwa angka 70 melambangkan jumlah bangsa-bangsa di dunia pada waktu itu. Itu berarti ada 2 tahap pemilihan, dan pemilihan yang kedua ini bukan untuk menjadi pejabat-pejabat tetap, tetapi untuk diikutsertakan beberapa waktu lamanya dalam pemberitaan Injil. Demikianlah, pemberitaan Injil di kemudian hari bukan hanya dilakukan oleh keduabelas rasul saja, tetapi juga oleh banyak orang lain (termasuk kaum awam). Misalnya, Barnabas,Silas, Lidia, dll.

Dari jumlah 70 orang ini mereka dibagi-bagi menjadi dua-dua orang dengan alasan:

  1. Supaya kesaksian mereka dapat dipercaya
  2. Bekerja secara kelompok lebih baik daripada sendiri, karena akan saling melengkapi, saling mendukung
  3. Anggota-anggota tim akan saling mendorong, saling menguatkan
  4. Saling bertanggungjawab satu terhadap yang lain
  5. Tanggungjawab dipikul secara bersama-sama

Mengapa mereka perlu saling menguatkan, oleh karena mereka akan memulai pekabaran Injil dan tujuannya adalah memberitakan tentang kabar baik yang dibawa oleh Yesus. Strategi yang dipakai oleh Yesus bukan untuk memperoleh keuntungan materi, tetapi agar manusia dan dunia diselamatkan. Tetapi dunia tempat mereka layani penuh dengan tantangan, karena itu Yesus berkata: Mereka diutus ke tengah-tengah dunia seperti domba ke tengah-tengah serigala.Yesus mengingatkan mereka bahwa mereka akan menghadapi tantangan, tetapi yang dibutuhkan adalah kesetiaan. Dengan kesetiaan dan perlindungan Tuhan, mereka yang diutus akan dapat bertahan.

Sehingga kalau Yesus memilih 12 murid kemudian memilih lagi 70 orang yang bukan rasul, melambangkan bahwa kita semua, baik pejabat-pejabat maupun warga gereja, kita semua dipanggil untuk melayani dalam bidang tugas kita masing/masing. Kita semua diberi karunia yang berbeda/beda untuk saling melengkapi. Tidak ada orang yang memiliki semua karunia sekaligus dan orang lain tidak memiliki satu karuniapun. Kita semua memiliki karunia dan hendaknya kita saling melengkapi untuk melaksanakan pekerjaan pelayanannya. Bagi yang tidak berjabatan sebagai penatua-diaken, atau presbiter mereka juga dipanggil untuk melayani di bidang kerja masing-masing. Menjadi petani yang baik, menjadi pns yang baik, menjadi tukang ojek yang baik. Pelajar yang baik, mhs yang baik, ibu rt yang baik. Kalau jabatan/jabatan terhormat seperti gubernur atau walikota, hanya dapat direbut oleh satu orang. Tetapi kelakuan-kelakuan terhormat dapat direbut oleh semua orang percaya. Di dunia kerja kita masing-masing kita diutus untuk berkarya.

Kalau Tuhan Yesus bilang kamu diutus seperti domba di tengah-tengah serigala, maka jangan kita pahami bahwa yang diutus itu penatua-diaken, pengajar dan yang menjadi serigala itu jemaat. Serigala yang dimaksudkan adalah tantangan yang mesti kita semua hadapi ketika kita bekerja di dunia ini. Serigala dalam rupa godaan untuk melakukan apa yang dunia mau dan bukan apa yang Tuhan mau. Missi gereja berbeda dari misi perusahaan. Yang penting dalam persekutuan jemaat adalah manusia dan bukan uang atau barang. Walaupun itu juga penting tetapi bukan yang utama. Karena itu dalam pelayanan kita, bagaimana manusia dihargai, manusia dilayani, manusia diberi tempat dan bukan sebaliknya manusia nomor dua yang penting uang atau barang. Kita mengukur seseorang bukan karena dia manusia ciptaan Tuhan, tetapi karena dia ada ini atau itu. Hasil utama dari gereja bukan barang atau uang tetapi manusia, dan karena itu Gereja merupakan tempat dimana orang dari berbagai kalangan dan tingkat social yang berbeda bekerja bersama/sama, saling menguatkan dan saling menghibur, saling menopang.

Lebih mudah menghancurkan persekutuan, tetapi membangun kembali sangat sulit. Perhatikan bagaimana alat-alat canggih dipakai untuk menghancurkan gedung-gedung bertingkat. Waktunya lebih cepat daripada membangun. Kita semua berharap bangsa Indonesia yang bukan hanya kaya budaya tetapi kaya sumber daya alammya dapat dikelola dengan baik. Ironis kita berada dalam suatu negara yang kaya raya kekayaan alamnya, tetapi penduduknya miskin dan negara memiliki hutang yang banyak. Untuk bayar hutang pun kita harus berhutang.

Melalui perjuangan para pahlawan akhirnya para penjajah berhasil dikalahkan dan kita merdeka. Namun apakah kita sungguh-sungguh merdeka dan bebas dari penjajahan dan pembodohan masal? Pada 17 agustus 1945 tepat pada pkl 10 Presiden Sukarno membacakan teks proklamasi yang isinya kita semua sudah tahu. Proklamasi yang diumumkan kepada seluruh dunia itu mengandung makna bahwa kita bukanlah bangsa yang masih berada di bawah kekuasaan dan penjajahan bangsa lain, tetapi kita adalah bangsa yang merdeka.

Indonesia harus menjadi bangsa yang dapat mengatur dirinya sendiri. Bangsa yang bermartabat. Bukan lagi bangsa yang hanya bergantung pada pinjaman dan hutang IMF. Bukan lagi “budak” (di negeri orang atau bahkan di negeri sendiri) yang hanya bekerja untuk kasih makan tuannya, tetapi bangsa yang berhak atas kekayaan alamnya, berhak atas tanahnya, berhak memperoleh pendidikan yang layak dan hak-hak lainnya sebagai warga negara yan merdeka, berhak untuk berdemokrasi, berhak untuk memiliki pilihan yang berbeda, berhak untuk memilih pemimpin yang berkualitas dan berhak untuk “menghukum” para pemimpin yang hanya pandai berbohong dengan janji-janji palsu yang meninabobokan rakyatnya.

Dengan kuasa Roh Kudus gereja harus mendorong warganya, entah yang duduk di pemerintahan atau para wakil rakyat yang duduk di parlemen nasional atau daerah untuk memiliki integritas dan kompetensi untuk mampu mengatasi berbagai ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, kekerasan, dsbnya. Misalnya, Pemerintah Melalui program Raskin, BLT, Askes, Jamkesmas, BPJS (dengan berbagai aksi seperti operasi bibir sumbing, katarak dan berbagai program lain, bertujuan mengatasi kemiskinan). Semua yang dicanangkan oleh pemerintah mempunyai tujuan yang baik, namun banyak kali dalam pelaksanaannya, banyak pihak menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi maupun kelompok atau bahkan hanya untuk pencitraan semata. Malah orang miskin dipersulit.

Gereja harus bekerja sama dengan pemerintah disemua lingkup untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Dalam mewujudkan semua itu banyak tantangan. Ingatlah bahwa Yesus diusir dan bahkan sampai dilempari dengan batu karena Ia ingin melakukan sesuatu yang berbeda. Sebagai gereja, kita juga sering menemui berbagai tantangan. Gereja jangan hanya dilihat sebagai pemberita Firman dan bukan untuk urus orang-orang miskin. Padahal tugas gereja tidak hanya urus jiwa, tetapi juga kesejahteraan hidup umatNya. Karena itu gereja harus berani tampil melalui program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat, program diakonia, baik diakonia karikatif, maupun diakonia transformatif yang dilakukan, misalnya melalui wadah diakonat dengan bantuan sapi, babi, kambing atau ayam bagi kelompok-kelompok masyarakat terutama yang miskin dan ekonomi lemah.

Dengan suatu harapan suatu saat ana-anak kita dapat hidup lebih baik dan ekonomi jemaat dapat meningkat, sehingga jemaat dapat bertumbuh secara utuh, baik iman maupun jasmani. Semua ini bukan hanya butuh waktu, butuh kesabaran, tetapi terutama membutuhkan kesungguhan dari semua pihak. Dan juga kemampuan membangun network dan sinergitas dengan pihak-pihak terkait. Sekali lagi, gereja juga mesti terus berjuang, walaupun ada banyak pengorbanan, walaupun ada berbagai resiko yang mesti dihadapi. Mari kita terus berjuang, karena Yesus telah melakukan yang terbaik untuk kita semua, walaupun untuk semua itu Ia diusir, dihina, bahkan mati untuk kita. Semoga kita diberi kemampuan untuk berani berjuang dan bangkit bagi NTT dan Indonesia.

Terakhir Injil Lukas mencatat bahwa ketika Yesus dicobai (Lukas 4:1-13) dan berhasil mengatasi cobaan dan godaan dunia berupa popularitas, harta dan kekuasaan di dasarkan pada apa yang tertulis (pada Firman Allah), begitu juga ketika membaharui dan menyucikan bait Allah (Lukas 19: 45-48). Unik dan menarik karena sewaktu Yesus memasuki Yerusalem, meskipun Ia datang sebagai seorang Raja, tetapi Ia tidak menuju ke istana, melainkan langsung ke Bait Allah. Ini sebuah indikasi kuat bahwa Kerajaan-Nya itu bersifat rohani dan bukan duniawi.

Yang Yesus cari bukan glamouritas istana dan segala kemegahannya, namun yang Ia tujui adalah Bait Allah untuk melayani dan memberitakan Kerajaan Allah. Oleh karena kalau kita dalam era modern di dalam Perayaan minggu sengsara bukan mau menuju istana, tetapi mengembalikan gereja kepada hakekatnya. Yang Yesus cari bukan kekuasaan duniawi dengan segala macam intriknya, tetapi ia mencari Rumah Tuhan tempat orang berdoa pada Tuhan. Dengan kata lain arah tujuan Yesus bukan ke istana dimana menjadi pusat kekuasaan manusia (kekuasaan pemerintah-para raja, pusat kekuasaan budaya, pusat kekuasaan sosial ekonomi dan politik, tetapi Yesus menuju Bait Allah sebagai lambang dan pusat kekuasaan yang jauh lebih besar di atas segalanya yaitu kuasa Tuhan Allah yang maha tinggi. Yesus tidak mau mencari popularitas tetapi Yesus mau melayani manusia yang menyembah Allah yang Maha Tinggi.

Namun sesampainya di Bait Allah Ia tidak mendapati suasana yang tenang dan khusuk, dimana orang berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan dengan ketulusan dan sikap penyembahan. Bait Allah telah menjadi tempat dagang. Fungsi Bait Allah telah diselewengkan. Pelataran Bait Allah yang biasanya menjadi tempat orang non Yahudi dan orang Kafir dapat berdiri dan turut berdoa pada Tuhan, sudah diselewengkan. Penyelewengan yang dilakukan adalah bahwa tempat itu telah menjadi tempat jual beli dan tempat tukar menukar menukar uang. Sebetulnya jauh sebelum jaman Yesus penukaran dan jual beli di Bait Allah masih dalam batas-batas kewajaran, artinya bahwa hal itu dilakukan dengan tujuan rohani.  Artinya praktek itu masih dalam relnya atau masih dalam batas-batas yang disebut dengan “in ordine ad spiritualia” (sesuatu yang dilakukan dengan tujuan rohani dan mulia).

Menurut Matthew Henry Concise Commentary (MHCC) praktek jual-beli hewan korban supaya mendapatkan uang, bertujuan rohani dan mulia agar memudahkan orang. Karena lebih mudah seseorang membawa uang daripada menyeret-nyeret binatang ke Bait Allah.

Karena dulu persembahan yang dibawa ke bait Allah menurut peraturan Nabi Musa adalah membawa binatang baik berupa hewan kecil hingga besar, mulai dari burung hingga lembu sapi, atau berupa harta milik dan lain sebagainya (bandingkan Keluaran 13:12, 15; Imamat 27:9-34; Bilangan 7:87,88, ;15:12). Selain itu mereka juga menukarkan uang bagi orang-orang yang memerlukan uang setengah syikal untuk membayar uang tebusan tahunan yang dipungut setiap tahunnya, atau juga untuk menukar uang kembalian, terutama bagi orang miskin.

Akan tetapi mengapa Yesus kemudian mengusir mereka karena Ia melihat mereka hanya berkedok “in ordine ad spiritualia”, berkedok melakukannya dengan tujuan rohani. Itulah sebabnya dalam Matius 21:13 Yesus berkata: “Ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.”

Perlu dicatat dan digaris bawahi disini bahwa Tuhan Yesus mengecam mereka yang menyelewengkan fungsi Bait Allah berdasarkan Firman Tuhan, karena mereka telah melecehkan Bait Allah dan menyerongkan tujuannya yang semula diperuntukan. Kamu telah menjadikannya sarang penyamun. Kalimat ini dikutip dari Yeremia 7:11, “Sudahkah menjadi sarang penyamun di matamu rumah yang atasnya nama-Ku diserukan ini?” Ketika kesalehan palsu dijadikan kedok untuk menutupi kefasikan, saat itulah rumah doa dikatakan telah berubah menjadi sarang penyamun, dan di dalamnya orang-orang bersembunyi untuk mengintip dan menerkam.

Pasar sering kali menjadi sarang penyamun karena banyaknya perbuatan jahat dan curang ketika berjual beli. Berat Timbangan telah dirubah untuk menguntungkan pedangan. Kaleng timba dan kaleng ukuran telah dibengkokan atau ditambal. Etc. Dan pasar di Bait Suci juga jelas-jelas seperti itu, sebab orang-orang ini merampok kehormatan Allah, yang sungguh lebih buruk lagi daripada seorang pencuri (Mal. 3:8). Para imam sudah hidup berkelimpahan dengan apa yang diberikan di mezbah. Namun, tidak puas dengan semuanya itu, mereka masih mencari cara lain lagi untuk memeras uang dari orang lain. Karena itulah Kristus menyebut mereka penyamun, sebab mereka mengambil apa yang bukan milik mereka. Mereka menipu untuk memperkarya diri. Mereka mengatasnamakan rakyat dan orang banyak, namun sebetulnya pundi-pundi mereka yang dipertebal.

Para imam modern (para pendeta, penatua, diaken, pengajar, para dosen, para guru dan pendidik di semua lingkup) dapat dikatakan bisa saja terjebak dalam situasi ini. Mereka bisa saja terjerumus menjadikan lembaga yang dipimpinnya menjadi “sarang penyamun” apabila menyalahgunakan kekuasaan yang ada pada mereka demi untuk kepentingan diri atau kepentingan kelompok dan atau demi kepentingan perkoncoan dan persengkongkolan jahat.

Lembaga-lembaga pendidikan atau semacam itu lambat laun akan menuju “kematian” secara perlahan karena salah diurus dan jatuh pada tangan-tangan yang salah, karena lebih memintingkan diri sendiri dari pada kepentingan lembaga itu sendiri. Kalau pada sepuluh hingga tahun pertama lembaga itu memiliki tenaga berkualitas doktor lebih dari puluhan orang, tetapi kemudian menurut tinggal satu atau dua orang, maka kualitas dan profesionalitas pengelolaan lembaga itu patut  dipertanyakan. Kalau sebuah lembaga memiliki dua atau tiga program studi tetapi kemudian mulai tutup satu persatu dan hanya tinggal satu, itu pun ijinnya mungkin sudah tidak berlaku lagi, maka prestasi apakah yang masih bisa dibanggakan?

Kata-kata dan teguran yang keras dari Yesus tentang sarang penyamun patut direnungkan secara mendalam. Tidak perlu kita marah, atau mencari kambing hitam siapa yang paling bertanggungjawab dan apalagi mau cuci tangan atau membasuh tangannya seperti Pilatus dalam pengadilan Yesus (Lihat Matius 27:24). Tetapi yang lebih penting kita mengoreksi diri di hadapan Tuhan yang maha pengampun itu agar hidup kita menjadi baik secara bersama-sama.

Apa yang ditekankan penulis Matius ini digemakan ulang oleh Paulus dalam suratnya kepada Timotius. Paulus memperingatkan terhadap fenomena kejahatan dan penyelewengan yang menyusup ke dalam persekutuan melalui perbuatan orang-orang yang mengambil untung melalui ibadah, mereka yang mencari keuntungan duniawi dalam ibadah mereka, dan berpura-pura saleh hanya untuk mengambil keuntungan bagi diri mereka sendiri (1Timotius 6:5). Di sini Yesus membuat suatu perubahan radikal bahwa Bait Allah harus dipahami sebagai rumah doa. Tempat orang bertemu dengan Tuhan dan merasakan kasih karunianya. Sehingga Yesus mengusir mereka yang menyelewengkan fungsi Bait Allah, tetapi ia membuka pintu lebar-lebar bagi mereka yang membutuhkan pelayanan, yaitu orang-orang buta, timpang dan atau orang-orang yang sakit yang jauh lebih membutuhkan pelayanannya untuk disembuhkanNya (Bandingkan lihat Matius 21: 14).

Akan tetapi harus dicatat bahwa dasar perubahan yang dilakukan oleh Yesus didasarkan pada kita Suci dan ini menjadi suatu istilah kunci dalam teks ini: yaitu kata Yunani, gegraptai; orang Jerman bilang es steht gerschrieben, artinya seperti apa yang ada tertulis. Yesus melakukan perubahan dan pembaharuan berdasarkan kitab suci. Kita juga sebagai gereja dan juga sebagai suatu lembiaga kristiani civitas akademika yang berlandaskan ajaran Kristus seharusnya mampu melakukan perubahan berdasarkan apa yang tertulis (artinya berdasarkan Firman Tuhan, dan bukan berdasarkan kebijakan sana-kebijakan sini yang bersifat personal dan kadang membingunkan.

Kita tidak boleh melakukan sesuatu perubahan melebihi apa yang diperbolehkan bagi kita seperti yang ada tertulis (Firman Tuhan). Karena itu, pembaruan diri dapat dikatakan benar hanya jika segala perbuatan yang salah dikembalikan kepada bentuk asalnya yang benar. Seringkali aturan-aturan kita langgar karena interese pribadi dan kelompok.

  1. Beberapa Catatan Penting

Berdasarkan uraian di atas beberapa hal dapat disimpulkan, yaitu:

  1. Orang percaya atau gereja telah diberikan kuasa (dunamis) untuk melayani dalam kata-kata dan perbuatan yang nyata.
  2. Kuasa Roh Kudus menolong orang beriman meniru Kristus untuk bisa merendahkan diri demi pelayanan dan keselamatan banyak orang.
  3. Orientasi pelayanan gereja adalah pedesaan. Melayani dan Membangun dari kampung hendaknya menjadi bukan hanya moto tetapi tekad bersama serta buah buah-buah iman dari seluruh perangkat pelayanan gereja.
  4. Melalui Roh Kudus Gereja harus mampu berperan sebagai problem solution dan bukan trouble maker; memperkaya kerjasama dan bukan menambah krisis kerjasama antar pelayan dalam semua lingkup pelayanan.
  5. Gereja diberi kuasa untuk memberdayakan bukan terlibat dalam upaya-upaya memperdayai masyarakat atau pembodohan masal masyarakat oleh para pihak yang korupt dan tidak bertanggungjawab.
  6. Gereja diberi kuasa bukan hanya memperkuat budaya dan identitas serta kearifan lokal, tetapi juga berjuang untuk pemanfaatan alam yang bertanggungjawab dan koridor pelestarian lingkungan demi keutuhan ciptaan, dengan semboyan SIEL Sejahtera Iman, sejahtera Ekonomi, sejahterah Lingkungan.
  7. Gereja dan orang percaya perlu melakukan perubahan kepada hal-hal yang lebih baik dalam berbagai bidang pelayanan, perubahan itu terjadi karena kehendak Firman Tuhan (Alkitab, Produk dan dokumen gereja berupa Tata Gereja dan segala peraturannya), dan bukan pada ambisi pribadi dan kehendak orang perorang atau kelompok tertentu saja. Gereja jangan alergi terhadap perubahan terutama manfaat positif dari kemajuan teknologi dan informasi yang justru dapat digunakan untuk media pemberitaan gereja bagi generasi mileneal, generasi 4.0 ***
[1] Udo Schnelle, Einleitung in das Neue Testament, Vandenhoeck & Ruprecht, 5 Auflage, Göttingen, 2005, hlm. 289-292
[2] Udo Schnelle, Einleitung in das Neue Testament, hlm. 288
[3] E.J. Tinsley, The Gospel According to Luke, Cambrige At The University Press, 1965, halm., 51
[4] I.H. Marshall, Luke dalam New Bible Commentary, Third Editio, Guthrie, dkk, Intervarsity Press, Leicester-England, hal., 896,897
[5] Lihat Joseph A. Fitzmyer, The Gospel According to LUKE (1-IX), Doubleday & Company, INC, New York, 1981, hlm., 529.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *