Busalangga-Rote, www.sinodegmit.or.id, Budaya Tu’u dan praktik politik identitas merupakan persoalan paling dominan di Kabupaten Rote Ndao.
Kedua isu ini diangkat sebagai masalah mendesak oleh para pendeta GMIT seteritori Rote pada kegiatan Training of Trainers (ToT) Perencanaan Program Pelayan dan Draf HKUP GMIT 2020-2023 yang diselenggarakan oleh Majelis Sinode GMIT di Jemaat GMIT Paulus Busalangga, Senin-Kamis, (18-20/6-2019).
Para peserta sebanyak 36 pendeta dan penatua yang berasal dari 6 klasis di Rote menilai budaya tu’u mengalami pergeseran nilai dari masa ke masa. Tu’u sebagai hajatan adat (kematian dan perkawinan) mula-mula merupakan usaha saling topang-menopang dalam bentuk materi sesuai kemampuan namun mengalamin pergeseran menjadi tuntutan adat yang menguras ekonomi dan meresahkan kehidupan sosial budaya.
Penatua Ayub Lenggu (54), dari Jemaat GMIT Paulus Busalangga mengatakan sejak tahun 2000an terjadi pergeseran serius dalam praktik tu’u.
“Dulu orang bikin tu’u karena kebutuhan. Itu pun dibatasi pada acara kematian atau pernikahan. Tapi sekarang mau beli mobil pun orang bikin tu’u. Anak masuk SMA juga tu’u, padahal sudah ada beasiswa melalui dana BOS. Ada yang tu’u untuk anak kuliah, tapi anak tidak jadi kuliah.”
Pendeta Marshall Faah, dari klasis Rote Barat Daya mengatakan bahwa sejatinya GMIT juga telah melakukan praktik tu’u melalui sistem Sentralisasi Gaji Pokok (SGP). Namun berbeda dengan tu’u adat yang nilai materialnya memberatkan, ia menilai sistem SGP GMIT bisa menjadi role model.
“Bicara tentang tu’u, saya ingat sistem Sentralisasi Gaji Pokok di gereja kita di mana semua jemaat memberi sesuai kemampuan masing-masing. Ini adalah wujud solidaritas bersama yang bisa menjadi model untuk mengembalikan nilai positif dari budaya tu’u di Rote,” kata Pdt. Marshall.
Sementara terkait politik identitas, sejumlah pendeta mengaku bahwa pada moment-moment politik, para elit lokal tidak segan-segan memanfaatkan berbagai entitas sosial untuk meraup keuntungan politik dengan meninggalkan sejumlah persoalan sosial yang pada gilirannya merusak persekutuan jemaat.
Menanggapi kedua hal tersebut Ketua Majelis Sinode GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon mendorong para pendeta untuk serius berteologi bersama jemaat untuk menemukan kehendak Tuhan dalam persolan-persoalan yang dihadapi.
“Penting sekali kita lihat sumber daya apa yang ada dalam tradisi gereja kita. Apa yang Tuhan mau bilang dengan kapitalisasi tu’u dan apa yang Tuhan kehendaki dengan politik identitas? Kita mesti mengembangkan kemampuan berteologi kita menghadapi isu-isu ini untuk menunjukan tanda-tanda Kerajaan Allah di dalam dunia di mana gereja hadir,” ujar Pdt. Mery.
Isu-isu strategis yang diangkat dalam ToT di delapan titik antara lain, Flores, TTU, Sabu, Soe, Alor, Kupang Daratan, Rote dan kantor Majelis Sinode GMIT sepanjang bulan Juni ini akan dijadikan program strategis Haluan Umum Kebijaksanaan Pelayanan (HKUP) GMIT 20120-2023. ***