Undangan dari Mitra
Bulan Juli 2019 ini, GMIT mendapat undangan dari salah satu mitranya, Christian Church, the Disciple of Christ, untuk menghadiri sidang sinode mereka. Persidangan berlangsung dari tanggal 20 s/d 24 Juli 2019 di kota Des Moines, USA. Awalnya direncanakan yang berangkat adalah ketua dan bendahara MS GMIT namun karena sulit mengurus kartu keluarga, maka paspor ibu bendahara tidak dapat keluar pada waktunya. Biaya perjalanan termasuk tiket dan akomodasi selama di Amerika dibiayai oleh pengundang. Uang harian disiapkan dari kas MS. Saya belajar dari gereja-gereja ini bahwa mereka mengeluarkan undangan untuk kegiatan mereka setahun sebelumnya. Undangan kepada GMIT sudah disampaikan sejak akhir tahun lalu. Itu berarti persiapan-persiapan sudah dilakukan dengan baik. Mereka pun menyampaikan undangannya jauh-jauh hari agar mitra-mitranya dapat mengatur waktu memenuhi undangan tersebut.
Para peserta persidangan, baik yang berhak suara maupun tidak, menginap di hotel-hotel di kota Des Moines dengan biaya masing-masing. Konsumsinya juga tidak menjadi tanggung-jawab panitia. Masing-masing orang bertanggung jawab pada makanannya, sehingga panitia tidak sibuk dengan urusan konsumsi. Saya membayangkan pasti biaya persidangan ini mahal bagi para peserta, sebab mereka datang dengan pesawat dari berbagai negara bagian US, selain itu mereka harus membiayai penginapan di hotel yang standarnya tinggi, dan mengatur biaya makan masing-masing selama 5 hari persidangan.
Belajar dari Cara Mereka Mengelola Sidang
Persidangan berlangsung selama 4,5 hari. Seremoni pembukaan pada sore hari tanggal 20 Juli, namun pagi harinya telah berlangsung sesi persidangan (business meeting). Kebaktian pembukaan sangatlah meriah dihadiri sekitar 2000 orang, dengan musik, tari-tarian, dan pemberitaan Firman oleh ketua sinode. Grup musik dari penduduk asli setempat, native American, tampil dengan permainan drum yang ceria dan bersemangat. Dalam liturgi juga ada pengakuan mengenai identitas, martabat dan budaya penduduk asli (masyarakat adat) yang telah ada jauh sebelum orang-orang kulit putih dan berbagai bangsa lainnya datang ke Amerika Utara.
Ada empat bagian utama sidang setiap hari, yaitu: pemahaman Alkitab (Bible study), persidangan (business meeting), lokakarya (workshop), dan ibadah (worship).
Sesi-sesi Bible study (pendalaman Alkitab) berlangsung setiap pagi sebelum business meeting. Seluruh pendalaman Alkitab berfokus pada tema: Abide in Me (Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu, Yoh. 15:4). Pendalaman Alkitab yang dilakukan sangat kaya. Para pemimpin PA adalah para teolog dari berbagai sekolah teologi yang didirikan dan didukung oleh gereja ini, para pendeta jemaat, maupun dari gereja-gereja sahabat.
Dalam sesi persidangan (business meeting) yang berlangsung dari jam 10.30 sampai 12.30 dibahas keputusan-keputusan. Persidangan tidak dipimpin oleh majelis persidangan, namun langsung oleh Majelis Sinode Harian. Sangat menarik mengikuti sesi-sesi persidangan tersebut. Kadang-kadang keputusan diambil dengan cepat, tanpa banyak pembahasan. Saya mendapat kesan bahwa bahan-bahan sidang telah dibahas dengan baik dan matang sebelum sidang, sehingga ketika persidangan tidak lagi terlalu banyak waktu untuk membahasnya. Misalnya tentang dana pensiun, gaji para pendeta, mendengarkan secara aktif, dan gereja yang peka pada kebutuhan kaum difabel.
Namun kadang-kadang juga ada resolusi/keputusan yang butuh banyak pembahasan. Misalnya tentang kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan oleh orang yang dekat; undangan untuk pendidikan bagi keterbukaan dan penerimaan terhadap kaum transjender dan orang yang berbeda jender, serta talenta mereka; deklarasi terkait pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya bagi kaum rentan. Seringkali terdapat perbedaan pendapat yang tajam, namun pendapat peserta sidang dinyatakan dengan santun dan tidak saling menusuk. Keputusan diambil setelah semua pihak didengarkan sehingga keputusan diterima sebagai keputusan bersama walau tidak semua setuju terhadap pokok tersebut.
Setelah istirahat makan siang selama 2 jam, acara lalu dilanjutkan dengan lokakarya (workshop) setiap hari. Sidang raya karena itu bukan hanya berisi momen persidangan, tetapi juga momen belajar yang sangat kaya. Lokakarya menjadi kesempatan untuk mendengarkan dan belajar bersama tentang isu-isu relevan, misalnya tentang menjadi gereja yang melayani para migran, sejarah gereja the Disciples, melengkapi diri sebagai penatua, pelayanan advokasi bagi isu-isu HAM, pelayanan trauma, dana pension, mengenal mitra-mitra dan pelayanan mereka, gereja dan media sosial, gereja yang ramah alam, dan masih banyak pokok lainnya. Saya berkesempatan memperkenalkan GMIT dan pelayanan GMIT terkait perdagangan orang dalam satu sesi workshop, bersama kawan dari India. Setiap hari ada 10 kelas lokakarya yang dipenuhi oleh peserta.
Saya kagum dengan cara mereka mengelola persidangannya. Momen sidang tidak saja menjadi ruang pembahasan keputusan, tetapi juga menjadi kesempatan belajar dan berteologi bersama. Semua orang aktif dan menikmati semua sesi.
Sesi ibadah (worship) berlangsung setelah makan malam, mulai jam 7. Ibadah-ibadah disiapkan dan disampaikan dengan baik. Ada berbagai macam bentuk ibadah, yang khusuk dengan lagu-lagu rohani tradisional, maupun yang bersemangat dengan gaya KPI. Seperti halnya dengan sesi-sesi sebelumnya, peserta juga selalu memenuhi ruang ibadah. Pendalaman Alkitab di pagi hari dan ibadah di malam hari membungkus seluruh sidang raya dengan dasar teologis dan spiritualitas yang kokoh.
Paperless dan Plasticless
Hal lain yang menarik sepanjang sidang adalah tidak banyak bahan digandakan sebab semua bahan disediakan melalui web site. Ruang sidang dilengkapi dengan wifi yang dapat diakses dengan mudah. Peserta sidang (baik yang berhak suara dan yang tidak) berjumlah lebih dari 1000 orang dan semua dapat mengakses wifi dengan mudah. Sejak kedatangan kami di bandara kota Des Moines penyambutan peserta tidak dalam bentuk spanduk berbahan plastik atau kertas, tetapi dalam bentuk screen.
Karena tidak disediakan konsumsi maka tidak juga banyak sampah yang dihasilkan. Masing-masing orang memiliki botol air (tidak dibagikan). Di beberapa sudut disiapkan air minum dari kran yang bisa langsung diminum. Dengan cara itu sampah plastik dan kertas sangat ditekan. Saya belajar bahwa gereja tidak cukup mengkhotbahkan dan membuat keputusan tentang ramah alam, namun mesti diwujudkan melalui gaya hidupnya, termasuk dalam persidangan.
Pameran
Bagian lain persidangan adalah pameran. Persidangan diselenggarakan di salah satu fasilitas pertemuan terbesar di kota Des Moines. Gedung itu memiliki banyak sekali ruangan dengan berbagai ukuran yang memadai untuk kebutuhan sidang. Seluruh sesi persidangan, termasuk arena pameran ada dalam gedung besar tersebut.
Di tempat pameran disediakan stand-stand yang menjelaskan berbagai bentuk pelayanan unit-unit dan badan-badan dari gereja ini. Misalnya ada stand pameran dari kelompok pemuda, pelayanan anak, pelayanan lansia, pelayanan perempuan, pelayanan advokasi, pelayanan trauma, diakonia, pelayanan penjara, pelayanan kaum difabel, mitra-mitra ekumenes dari dalam dan luar negeri.
Peserta sidang dapat mengunjungi stand-stand tersebut dan mengajukan pertanyaan mengenai berbagai pelayanan. Di sana juga dijual berbagai produk pelayanan. Hasil penjualannya akan dipakai untuk mempekuat pelayanan. Stand-stand itu juga menjadi kesempatan reuni dan bertemu para mitra baru. Banyak relasi baru dan kesepakatan ekumenes informal dapat berlangsung di stand-stand tersebut.
Inisiatif Asia Selatan
Dalam persidangan itu juga diluncurkan Inisiatif Asia Selatan oleh Global Ministries, yaitu badan misi internasional dari gereja Disciples dan satu denominasi Protestan yang lain di US, yaitu United Church of Christ (UCC). Inisiatif dari Global Ministries ini dimaksudkan untuk mendorong perhatian jemaat-jemaat dari kedua gereja Protestan di US itu kepada isu-isu yang dihadapi oleh gereja-gereja dan mitra-mitra ekumenes mereka di Asia Selatan. Sebelumnya pada tahun-tahun lalu telah ada Inisiatif yang lain, seperti Inisiatif Timur Tengah dan Kongo di Afrika.
Asia Selatan dikenal sebagai bagian dunia yang kaya dengan sumber daya alam, budaya, keragaman etnis dan agama masyarakatnya. Namun pada saat yang sama masyarakat di Asia Selatan bergumul dengan banyak isu sosial dan ekologis. Peluncuruan Inisiatif Asia Selatan berlangsung pada hari kedua persidangan, yakni pada acara makan malam yang khusus dilaksanakan dalam rangka peluncuran Inisiatif Asia Selatan itu. Inisiatif itu akan berlangsung selama 18 bulan, Juli 2019 s/d Desember 2020.
Saya diminta mewakili pimpinan gereja-gereja dan mitra-mitra ekumenes di Asia Selatan untuk menyampaikan sambutan dalam acara peluncuran tersebut. Di kesempatan itu saya menegaskan bahwa jika pada masa lampau, misi selalu dipahami sebagai gerakan satu arah, yaitu misi dari gereja-gereja yang lebih kuat kepada gereja atau komunitas yang lebih lemah, maka Inisiatif Asia Selatan yang telah diluncurkan bersama harus menjadi komitmen untuk mendukung misi multi arah. Maksudnya Inisiatif ini mesti memampukan kita untuk belajar satu dengan yang lain dalam spirit kejujuran dan kerendahan hati. Dengan berefleksi dari Roma 1:12, saya menyampaikan panggilan untuk mengenali pentingnya spirit mutualitas untuk bertumbuh dan bekerja sama dalam iman dan pengharapan.
Pemberian Penghargaan
Dalam momen peluncuran Asia Selatan, Global Ministries juga memberikan penghargaan kepada sejumlah mitra ekumenes internasional. Penghargaan diberikan kepada pribadi, gereja, dan organisasi yang membawa misi mengerjakan perdamaian dan keadilan bagi ciptaan Allah sekalipun harus menghadapi tantangan yang berat, bahkan dalam situasi di mana mereka harus mempertaruhkan hidup dalam bahaya. Penghargaan ini biasanya diberikan setiap kali sidang raya dilaksanakan. Pemberian penghargaan dalam bentuk plakat dan tidak disertai hadiah lainnya, seperti uang.
Para penerima penghargaan antara lain Pdt. Daniel F. Romero, Sekertaris United Church Board untuk aksinya membela hak-hak dan harkat martabat para migran dan pencari suaka di perbatasan US dan Mexico; Rumah sakit Al-Ahli Arab yang dijalankan oleh Episcopal Diocese of Jerusalem di Gaza-Palestina untuk pelayanan yang sangat berani di salah satu wilayah padat penduduk di dunia; Perichoresis, badan pelayanan dari Evangelical Church of Greece untuk komitmen terhadap kemanusiaan dalam merespon masuknya pengungsi ke Yunani; Pdt. Dr. Francois-David Ekofuy Bonyeku dari DR Congo untuk pekerjaan teologis dalam solidaritas bersama kelompok marjinal; Dansalan College dari UCCP di Marawi, Mindanao-Filipina, untuk ketahanan dan dedikasi dalam misi mengajar semua anak-anak Allah sekalipun menderita kebakaran, penghancuran dan penyanderaan, dan Pdt. Dr. Mery Kolimon dari GMIT yang memegang misi sebagai panggilan utama gereja, Mery Kolimon mendorong Gereja Masehi Injili di Timor dan Universitas Kristen Artha Wacana untuk mengadvokasi dan menjadi tempat perlindungan bagi para korban ketidakadilan di Indonesia. Penghargaan ini terutama terkait penelitian anti-komunis 65 dan pelayanan shelter Rumah harapan GMIT.
Rally sebagai Bagian dari Agenda Sidang
Ada satu sesi lain yang menarik di ujung persidangan setelah kebaktian penutupan, yaitu demonstrasi damai (rally). Kebaktian penutupan dipimpin oleh Pdt. Pdt. William Barber II, yang merupakan seorang tokoh penting dalam gerakan pembelaan hak-hak kaum miskin di Amerika saat ini. Sebagian kalangan menyebutnya sebagai Martin Luther King Jr masa kini. Dia berkhotbah dengan gaya komunikasi yang sangat powerful menyangkut hak-hak kaum miskin. Khotbahnya disertai dengan data-data yang jelas mengenai angka kemiskinan di Amerika, termasuk di propinsi Iowa, tempat persidangan dilakukan. Dia menyebut bela rasa Allah pada kaum terpinggir dan menegaskan panggilan gereja untuk bersama Allah berjuang bagi hak-hak kaum rentan itu.
Setelah kebaktian penutupan yang selesai pada jam 11 pagi, peserta sidang naik bus menuju ke depan kantor DPRD (capitol city) untuk menyuarakan hak-hak kaum lemah. Kami singgah sebentar di salah satu gedung gereja dekat kantor DPRD, menyiapkan kertas-kerta berisi pernyataan yang bisa kami isi sendiri, sebagai bagian dari kehadiran gereja di ruang publik. Saya menulis pesan tentang perdagangan orang: manusia bukan barang dagangan.
Situasi AS sekarang memang memanas setelah Presiden Trump membuat kebijakan untuk mengusir pulang para pengungsi dari berbagai negara konflik dan mengirim anak-anak mereka yang masih kecil ke penjara. Juga pernyataan-pernyataannya yang menyerang beberapa anggota parlemen berkulit hitam dan Muslim, seperti Ilhan Omar. Dalam situasi seperti itu, gereja The Disciples menyatakan kehadiran mereka di ruang publik dengan pesan keberpihakan Allah kepada kaum rentan, termasuk pengungsi dan orang-orang miskin.
Acara rally itu berisi doa, nyanyian, dan beberapa orasi dengan dasar Alkitab yang jelas dan kuat mengenai keberpihakan Allah kepada kaum tertindas dan panggilan gereja untuk menyuarakan pesan kenabian dan bertindak dalam pembelaan kepada kaum lemah. Juga di kesempatan pertemuan di depan gedung DPRD itu, Pdt. Barber berorasi. Saya diminta mewakili mitra luar negeri menyampaikan pesan singkat pada kesempatan tersebut.
Pulang ke Tanah Timor
Kegiatan rally menjadi akhir seluruh rentetan sidang. Setelah rally, kebanyakan peserta bergegas ke bandara. Sebagian yang lain berangkat esoknya. Saya termasuk yang mendapat jadwal penerbangan sehari setelah sidang. Dengan kawan saya, Ibu Annie Namala, direktur dari Center for Social Equity and Inclusion, New Delhi-India, kami memutuskan untuk berjalan keliling kota Des Moines pada sore hari. Ada bus umum yang disiapkan pemerintah kota Des Moines secara gratis. Jadi kami mencari informasi mengenai tempat-tempat wisata yang wajib dikunjungi di Des Moines dan memanfaatkan sore hari itu untuk berkeliling sebentar. Cuaca panas di luar dan kami menikmatinya. Amerika sedang musim panas dengan matahari yang cerah. Panasnya tak kalah dari Tanah Timor, bahkan pada saat-saat tertentu bisa lebih panas dengan tingkat kelembaban yang tinggi.
Malam harinya saya mempersiapkan diri pulang rumah. Syukur pada Tuhan yang memungkinkan saya melalui gerejaNya mengalami banyak hal, dan mendapat kesempatan juga untuk memberikan dari talenta yang Dia anugerahkan bagi persekutuan ekumenes global.***