Yapenkris dan GMIT, Bertanggungjawablah!

Dody Kudji Lede – Sekretaris Bidang Informasi dan Jaringan Pengurus Pemuda Sinode GMIT

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan terus dilakukan tahap demi tahap demi mempersiapkan generasi masa depan bangsa yang kompetitif. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari alokasi anggaran yang cukup besar untuk sektor pendidikan, hingga membangun sekolah baru agar bisa mendekatkan akses pendidikan kepada masyarakat, juga mempersiapkan tenaga pendidik yang teruji dengan berbagai syarat dan ketentuan.

Syarat dan ketentuan ini adalah salah satu strategi pemerintah untuk mewujudkan pendidikan berkualitas dengan standarisasi “kemampuan” guru, baik dari sisi akademik hingga kompetensi. Persyaratan ini kemudian di atur melalui regulasi yang hukumnya wajib ditaati oleh semua lingkup dunia pendidikan.

Sudah lebih dari satu dekade, sejak berlakunya Undang-Undang (UU) No. 14 Tahun 2005 kini mulai dirasakan dampaknya di Kabupaten Kupang. Pengejawantahan UU ini ke dalam PP 77 tahun 2008 secara tegas menyebut syarat mutlak bagi seseorang yang ingin mendarmakan bakti sebagai pendidik. Meski implementasi UU ini berjalan lambat, tetapi antisipasinya justru gagal dilakukan oleh instansi-instansi yang menangani kependidikan.

Di dalam dua regulasi di atas, mewajibkan guru harus memiliki kompetensi, kualifikasi akademik, dan sertifikat pendidik. Semua persyaratan ini sebagai jawaban atas UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa guru adalah tenaga profesional dengan fungsi, peran dan kedudukan yang sangat strategis dengan visi untuk mewujudkan penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu (PP No. 74 Thn 2008).

Guna memenuhi semua syarat sebagai guru sesuai dengan regulasi-regulasi di atas, maka sejak diberlakukannya, beramai-ramai para guru dengan pendidikan setara SMA berlomba-lomba menjadi mahasiswa. Program regular maupun kelas jarak jauh diambil. Yang hampir pensiun pun bahkan harus kembali menjadi mahasiswa. Sayangnya, sebagian dari mereka melakukan ini hanya karena mereka takut dipecat, bukan karena memang berniat membantu upaya pemerintah meningkat kualitas pendidikan. Hanya sebagian, tentu saja tidak semua guru memiliki niat yang sama. Masih ada beberapa dari mereka yang memang merasa bertanggung jawab, bahwa sebagai guru, kualitas harus nomor satu.

Dan, ada juga guru yang mengabaikan kebijakan pemerintah ini. Tidak sedikit guru kita yang memilih bertahan mengajar dengan kualifikasi pendidikan hanya setara SMA. Bukannya mereka tidak mau memenuhi keinginan pemerintah, tetapi karena kebanyakan dari mereka hanya berstatus guru kontrak, honor bahkan ada yang suka-rela. Mereka adalah guru-guru yang untuk membayar utang beras pun harus menunggu tiga bulan sebelum akhirnya berhutang lagi. Tentu saja hal ini karena pendapatan mereka yang sangat terbatas. Dibandingkan jika harus membayar biaya kuliah, lebih baik dana tersebut dipakai untuk makan dan minum sekeluarga. Bahkan, banyak dari mereka telah menjadi guru honor selama belasan tahun dengan hanya menerima apresiasi berupa gaji yang tidak pernah naik seperti kebanyakan ASN.

Guru-guru ini ada yang mengabdi pada sekolah negeri, tetapi lebih banyak di sekolah swasta. Dan di Kabupaten Kupang, guru dengan status kontrak daerah dan tidak sarjana mulai dirumahkan oleh Bupati Kupang lewat SK pengangkatan guru kontrak daerah yang saat ini sedang diperbincangkan banyak kalangan. Total 133 guru tidak dilanjutkan kontraknya oleh daerah, sebagian guru-guru itu adalah pengajar di sekolah-sekolah milik GMIT.

133 guru kontrak daerah ini belum termasuk hitungan guru berstatus honorer yang gaji mereka dibayar dengan dana BOS. Jika ditotal, ada ribuan guru di seluruh Kabupaten Kupang terancam tidak lagi mengajar.

Bagi guru honor, pengangkatan mereka untuk bukan lagi kewenangan kepala sekolah, melainkan sudah dialihkan ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kupang. Sementara Dinas P dan K tentu harus taat aturan. Guru honor yang bukan sarjana juga harus “dipulangkan”.

Hari ini, ketika tulisan ini dibuat, berdasarkan laporan dari salah satu kepala SD GMIT, guru-guru mereka sampai saat ini tidak lagi masuk sekolah. Percuma masuk sekolah, kalau namanya tidak akan pernah muncul di SK manapun.

Dampak ke Sekolah GMIT

Berapa banyak sekolah GMIT di Kabupaten Kupang yang harus merasakan dampaknya? Hampir semua sekolah GMIT tentu merasakan dampaknya.

Sebagai gambaran, rata-rata status guru di sekolah milik GMIT hanya kepala sekolah yang berstatus sebagai PNS. Sementara guru dan pegawai adalah tenaga kontrak daerah atau honor komite/BOS dan hampir sebagian dari mereka belum sarjana.

Dari beberapa sekolah GMIT yang coba saya data, dua SD di Kecamatan Takari dipastikan kehilangan guru-guru kelas mereka, kecuali SD GMIT Pehe yang hanya kehilangan guru kelas II dan IV, SD GMIT Oelbiteno tidak adalagi guru yang masuk mengajar. Sementara SD GMIT Fatukona hanya menyisakan satu orang guru agama.

Total sebanyak 22 guru non-sarjana dari setidaknya 10 SD di Kecamatan Takari dan Fatuleu Tengah harus meninggalkan kapur tulis di atas meja mereka. Akibat ini tidak hanya berdampak kepada mereka yang guru, tetapi juga ada ribuan anak di Kabupaten Kupang saat ini kehilangan waktu untuk mendapatkan pelayanan pendidikan dari sekolah tempat mereka menimba ilmu.

Kebijakan Dilematis

Pemerintah Kabupaten Kupang tentu sudah mempertimbangkan secara matang sebelum memutuskan mengakhiri mimpi 133 kontrak guru non-sarjana. Ini bukan keputusan yang mudah, tentu saja. Sebab di satu sisi pemerintah harus memperhitungkan nasib mereka yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri. Namun, di sisi yang lain juga harus menegakkan aturan.

Seorang teman bahkan sempat menggerutu, “Kalau memang sudah tau ada aturan harus sarjana, kenapa sejak awal pemerintah membuatkan kontrak kerja bagi mereka?”

Masalahnya tentu saja tidak semudah gerutuan itu. Mencari sarjana yang mau mengabdikan diri dengan gaji pas-pasan terutama di pedalaman Kabupaten Kupang bukanlah hal yang mudah. Salah satu solusi adalah dengan memanfaatkan sumber daya lokal agar anak-anak tetap bisa mendapatkan haknya di bidang pendidikan.

Sumber daya lokal yang dimaksud tentu saja pemuda-pemudi tamatan SMA di desa setempat yang bersedia mengajar. Apakah dia bisa mengajar atau tidak, itu masalah nanti. Apakah dia bisa mengajar sesuai standar, itu urusan nanti. Intinya, kekosongan kursi guru harus terisi. Soal kompetensi, bisa diatur kemudian. Dan akhirnya, hari ini semua menjadi masalah.

Peranan Yapenkris

Sebagai salah satu alumni SD GMIT, saya sendiri harus iri ketika sekolah-sekolah di bawah naungan gereja katholik menjadi kiblat bagi standar pendidikan di NTT. Yayasan mereka bahkan menghargai guru mereka dengan sistem penggajian yang layaknya PNS bahkan dengan tunjangan pensiun dan asuransi kesehatan dari provider nomor satu. Guru-guru SD mereka yang non-sarjana juga dibekali dengan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kompetensi. Sehingga tidak heran, ketika kami berdebat tentang masa depan guru kontrak, mereka bahkan hanya tersenyum karena tidak terpengaruh dengan kebijakan pemerintah di atas.

Sebagai warga gereja yang setiap hari mendampingi guru dan sekolah, sampai saat ini saya masih bertanya-tanya tentang peranan Yapenkris untuk membina sekolah-sekolahnya. Terutama ketika muncul masalah seperti ini. Dan juga tentu saja pertanyaan, ke mana anggaran milyaran rupiah yang katanya untuk dana pendidikan di GMIT itu?

Sebagai yayasan yang dipercayakan oleh GMIT untuk mendampingi sekolah, apa saja hal yang sudah dilakukan Yapenkris untuk memastikan bahwa sekolah-sekolahnya berkualitas, baik dari sisi guru maupun hal lainnya sesuai dengan standar pendidikan nasional. Atau jangan-jangan Yapenkris ini sendiri tidak memiliki standar layanan bagi sekolah-sekolahnya?

Pertanyaan ini dan ribuan pertanyaan lainnya seperti ini harus dimunculkan dan menjadi refleksi agar kualitas Yapenkris sendiri harus benar-benar dievaluasi oleh GMIT. Bagaimana mungkin kita bicara tentang kualitas pendidikan, kualitas guru, kalau ternyata lembaga yang menaungi sebuah institusi pendidikan tenyata tidak memiliki standar kualitas atau bahkan (jangan-jangan) tidak berkualitas? Atau jangan-jangan Yapenkris ini hanya sebuah struktur untuk memenuhi persyaratan sebagai sebuah yayasan? Apa visi dan misi Yapenkris? Bagaimana visi misi itu dijalankan?

Bagaimana respon Yapenkris dan GMIT sendiri terhadap nasib anak-anak di sekolah GMIT yang saat ini kehilangan guru-guru mereka? Apakah masalah ini akan diselesaikan dengan wacana lagi? Atau ada tindakan konkrit yang akan ditempuh?

Bila ada langkah konkrit, berapa lama itu akan dilakukan? Sehari? Dua hari? Atau lima tahun lagi? Atau sampai maranatha?

Apa pun itu, Yapenkris dan GMIT (termasuk saya sendiri) harus bertanggung jawab terhadap terlantarnya ribuan anak yang saat ini tidak bisa menikmati pendidikan karena tidak tersedianya guru yang berkualitas bagi mereka. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *