KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Dalam rangka edukasi warga mengenai HIV/AIDS, Majelis Sinode (MS) GMIT menggelar diskusi sekaligus tes HIV/AIDS pada Persidangan MS GMIT ke-44 di kantor MS GMIT. Peserta sidang yang terdiri dari para pendeta maupun karyawan kantor sinode non pendeta antusias mengikuti tes dimaksud.
Ketua MS GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon usai mengikuti tes HIV/AIDS, Rabu (28/8), menjelaskan kegiatan ini merupakan realisasi dari keputusan Sidang MS ke-43 pada bulan Februari 2019 yang lalu sebagai bagian dari pendidikan publik untuk peduli HIV/AIDS baik dari segi pencegahan maupun mengatasi stigma dan diskriminasi bagi para ODHA.
“Dalam konteks NTT di mana jumlah warga yang terpapar HIV/AIDS terus meningkat, penting bagi gereja terlibat melalui pendidikan untuk mencegah dan mengatasi stigma serta diskriminasi terhadap ODHA. Oleh sebab itu pada Sidang MS GMIT yang lalu kita memutuskan bahwa dalam sidang kali ini ada pemeriksaan VCT untuk HIV/AIDS. Tujuan lainnya adalah mendorong kita semua menerima kenyataan bahwa HIV/AIDS ada di tengah kita sebagai salah satu penyakit yang butuh pendekatan ekstra dan khusus tapi sekaligus butuh dianggap sama dengan penyakit lain tanpa ketakutan dan diskriminasi. Mereka yang hasil tesnya positif bukan pernyataan mati, jika ada konseling dan rajin minum ARV umur bisa panjang,” jelas Pdt. Mery.
Ketua Klasis Sumbawa, Pdt. Leomardus Taku Bessi, salah satu peserta yang mengikuti tes ini mengaku tidak merasa takut mengikuti tes ini.
“Kenapa takut? Tes HIV itu biasa saja. Saya tidak berdebar-debar,” ujarnya sambil tertawa. “Banyak orang mungkin takut beresiko, karena merasa punya perilaku yang kurang baik, atau bisa juga mereka tidak tahu atau mendapat informasi yang salah tentang HIV/AIDS. Saya sudah sering kali mendengar informasi tentang HIV/AIDS jadi tidak ada yang perlu ditakuti dalam tes ini,” sambungnya.
Ia menilai cara yang ditempuh MS GMIT dengan mengundang tim VCT (Voluntary Counseling dan Testing) mengadakan tes pada kegiatan persidangan seperti ini sebagai cara yang tepat daripada menganjurkan orang untuk pergi tes HIV di klinik VCT.
“Masalahnya adalah bagi yang merasa beresiko, mereka butuh keberanian. Keberanian itu bukan terutama pada menerima hasil tes melainkan menyampaikan hasilnya kepada keluarga. Itu sesuatu yang sulit. Itu juga tantangan kita dalam mendampingi teman-teman ODHA.”
Sementara itu Sekretaris KPA Provinsi NTT, dr. Husein Pancratius, narasumber dalam diskusi tersebut menjelaskan bahwa sejauh ini tidak ada lagi desa di NTT yang luput dari HIV/AIDS. Karena itu pihaknya bersedia memfasilitasi kampanye penanggulangan penyakit ini bila dibutuhkan kapan saja.
“Tidak ada desa di NTT yang luput dari HIV/AIDS. Kalau demikian berarti penularan juga sudah terjadi pada tinggat desa. Karena itu pada kesempatan ini kami dari pemerintah mendorong untuk desa peduli AIDS. Apabila Bapak atau Ibu Pendeta bilang Pak dokter datang dulu ada 10 orang mau dilatih untuk jadi warga peduli AIDS, saya siap,” ujar dr. Husein.
Ia juga memaparkan data korban HIV/AIDS hingga Juni 2019 sebanyak 6.478 orang yang terdiri dari pengidap HIV sebanyak 3.123 orang dan AIDS sebanyak 3.364 orang. Sedangkan korban meninggal sebanyak 1.369 orang.
Menjawab pertanyaan dari peserta, “Mengapa ada larangan membuka peti jenasah pengidap HIV/AIDS?” dr. Husein menjelaskan bahwa hal itu bukan sebuah bentuk diskriminasi terhadap korban atau jenasah melainkan mencegah penularan virus atau kuman dari penyakit penyerta.
“Virus HIV ikut mati saat orang meninggal dunia. Yang berbahaya adalah penularan virus atau kuman yang menyertai penyakit AIDS seperti TBC, hepatitis dan lain-lain yang tidak ikut mati. ***