Panggilan Pembebasan Gereja (Lukas 4:18-19)

“NTT itu pintu masuk surga,” kata Gubernur NTT, Viktor Laiskodat dalam sebuah kesempatan di tempat wisata Haubenkase, Amarasi Barat. Ia bercerita bahwa pernyataan itu seringkali ia katakan kepada orang-orang kaya di Jawa dan berbagai tempat. Kepada mereka, gubernur bilang kalau mau masuk surga, datanglah ke NTT.

Kenapa? Sebab di NTT, segala yang buruk ada: banyak orang miskin, menderita, sengsara, kelaparan, sakit, tertinggal dalam hal pendidikan, termarjinalisasi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, di NTT ada peluang besar untuk melakukan apa yang diminta Yesus (lih. Matius 25: 35-36; memberi makan mereka yang lapar, minum bagi yang haus, pakaian bagi yang telanjang, dst).   Tentu kita tidak mesti sepakat 100% dengan Gubernur, karena urusan masuk surga tidak semata-mata ditentukan oleh perbuatan memberi pertolongan bagi orang lain.

Pdt. Gusti Menoh

Namun fakta yang dikatakan gubernur patut diakui. Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Dari 34 Provinsi di Republik ini, NTT tergolong daerah termiskin nomor 3 dari belakang, setelah Papua dan Papua Barat. Kemiskinan ini ikut memicuh munculnya berbagai persoalan lain, seperti perdagangan manusia, gizi buruk, stunting, kebodohan, konflik, kekerasan, perceraian, dan lain sebagainya. Dalam hal human trafficking misalnya, NTT menempati urutan pertama pengirim TKI, terutama perempuan dan anak-anak. Banyak warga memilih meninggalkan kampung halaman dan pergi merantau menjadi TKI/TKW di berbagai tempat/negara tetangga untuk mencari nafkah hidup. Dalam bidang kesehatan, pada tahun 2013 kompas.com merilis data gizi buruk bayi di NTT yakni 631.966 bayi yang mengalami kurang gizi dan gizi buruk mencapai 208.549 orang. Dalam hal pendidikan, NTT tertinggal jauh dibanding banyak provinsi lainnya. Pertanyaanyanya, di mana gereja di tengah-tengah kondisi terpuruk ini? Apakah masalah-masalah ini bukan urusan gereja? Apakah gereja cukup berdoa? Adakah panggilan gereja terkait masalah-masalah sosial?

Sesungguhnya tugas pembebasan terhadap berbagai persoalan manusia (kemiskinan, kesengsaraan, penindasan, penderitaan, kebodohan, marginalisasi, krisis, konflik, bencana, kuasa dosa, dll) merupakan panggilan pokok gereja. Sebab pembebasan itulah yang diwartakan dan dikerjakan Yesus, sang kepala gereja itu bagi manusia dan dunia. Injil Lukas mencatat bahwa setelah berpuasa 40 hari di padang gurun (Luk. 4:1-13), Yesus memulai pelayanan-Nya dengan mewartakan bahwa Ia datang ke dunia untuk menyatakan dan menghadirkan pembebasan. Bacaan di atas mengisahkan bahwa ketika Yesus kembali ke Nazaret, tempat Dia dibesarkan, di suatu Sabat, Ia membaca taurat, lalu duduk dan mengajar, sebagai rangkaian dari ibadah di sinagoge. Yesus memulai pengajarannya dengan penuh kuasa Roh. Dengan pimpinan Roh, Yesus membaca nas dari kitab Yesaya 61:1-2. Dalam catatan Lukas, Yesus mengatakan bahwa Ia diurapi untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, pembebasan kepada orang-orang tawanan, penglihatan kepada orang-orang buta, bahkan untuk membebaskan orang-orang tertindas.

Pertanyaannya, siapakah mereka itu? Pertama, orang-orang miskin di sini menunjuk pada orang-orang Yahudi yang jatuh miskin waktu itu akibat pajak tinggi yang dikenakan penguasa Roma kepada mereka. Kedua, para tawanan, menunjuk kepada mereka yang ditahan karena hutang akibat kemiskinan dan pajak tinggi tadi. Ketiga, orang-orang buta, menunjuk pada orang-orang yang sakit, lumpuh, kusta, pendarahan, juga yang benar-benar buta (band Markus 10: 46-52, di mana Bartimeus yang buta disembuhkan). Keempat, orang-orang yang tertindas. Para ahli merujuk hal tersebut kepada pembebasan orang-orang Israel dari penindasan Roma terhadap mereka. Sebab waktu itu bangsa Israel dijajah oleh Roma, dan akibat penjajahan itu, banyak dari mereka menjadi budak, bahkan tak sedikit dari para budak itu disalibkan di luar kota ketika mereka melawan para majikan.

Terhadap mereka yang seperti itulah Yesus menyampaikan kabar baik, yaitu  kerajaan Allah: kebenaran, kasih, keadilan, pengharapan, sukacita, damai sejahtera, pengampunan, solidaritas, persaudaraan. Nilai-nilai ini diajarkan Yesus sepanjang pelayanan-Nya agar mereka yang menderita mampu bangkit dari keterpurukan mereka sehingga tetap berpengharapan kepada Allah. Nilai-nilai kerajaan Allah itu diwartakan agar umat bertobat dari dosa-dosanya dan senantiasa hidup dalam jalan dan kebenaran.  Tetapi tidak hanya kata. Yesus pun membebaskan mereka yang sakit penyakit, dengan menyembuhkan mereka. Yesus pun memberi makan mereka yang lapar ketika mereka mengikuti-Nya. Yesus pun memerdekakan orang dari kuasa dosa yang membelenggunya. Sebab berbeda dari orang-orang Yahudi yang ingin melempari perempuan yang kedapatan berzinah, Yesus tidak menghukumnya, tetapi bersahabat dengannya, mengampuninya dan memberinya kesempatan untuk bertobat. Dan sikap Yesus itu memerdekakan perempuan itu dari kuasa dosa yang mengikatnya. Yesus pun mempertobatkan Zakheos dari sikap hidup yang tidak jujur (koruptif). Yesus setia menunjukan kasih sejati kepada Yudas yang mengkhinati-Nya. Yesus tetap mengasihi Petrus yang berulang kasih menyangkalnya, dst. Kenyataan-kenyataan ini membuktikan bahwa Yesus sungguh-sungguh untuk menghadirkan pembebasan. Dan pembebasan yang dilakukan-Nya bersifat holistik: rohani maupun jasmani, spiritual maupun manusiawi, kata maupun tindakan.

Bagaimana dengan kita sebagai gereja Tuhan? Belajar dari sikap Yesus, gereja mesti mewartakan kebaikan, dengan kata dan tindakan. Maka kita (sebagai pribadi atau pun persekutuan) mesti mewartakan kabar baik. Kehadiran kita di mana pun mesti menyampaikan kebaikan. Kita berkotbah, itu tugas pewartaan yang tak boleh diabaikan. Lalu dalam keseharian, omongan kita haruslah omongan yang baik, yang membangun, yang menghidupkan, yang menciptakan persaudaraan, persekutuan dan perdamaian. Dalam sebuah vidio dikatakan bahwa kata-kata kita punya kuasa untuk membangun sekaligus menghancurkan, menghidupkan sekaligus mematikan. Orang bisa hidup dan optimis dari keterpurukannya karena kata-kata kita, tetapi mereka juga bisa hancur hidupnya gara-gara omongan kita. Para hamba Tuhan dan gereja mestinya menghadirkan kata-kata yang membangun dan menghidupkan.

Praktisnya, kalau di hari minggu kita berkhotbah tentang saling mengasihi, maka kata-kata kita di dalam hari-hari yang lain pun mesti senantiasa penuh kasih dan membangun. Dalam dunia politik dewasa ini, ada istilah hoaks, yang cenderung berisi fitnah dan propaganda. Kalau saya tidak suka seseorang, saya mulai fitnah dia. Saya mengarang cerita buruk tentang dia. Lalu propaganda. Saya mengajak orang lain untuk ikut membencinya dengan fitnah yang saya karang. Tujuannya menghancurkan pihak lain dan mnyelamatkan diri. Ini terjadi akibat persaingan politik demi kepentingan diri masing-masing. Gereja yang sehat akan menjauhkan diri dari hoaks, karena ia menjunjung tinggi kebenaran dan kebaikan, sehingga setia berkata-kata yang baik dan benar, tidak hanya di mimbar, tapi juga di tempat lain, di dalam dunia sehari-hari. Bahkan ia setia menjaga persekutuan dan persuadaraan dengan sesamanya.

Tetapi tidak cukup dengan kata. Gereja pun terpanggil menghadirkan pembebasan bagi dunia yang menderita dan sengsara secara kongkrit. Gereja mesti peduli pada kebutuhan nyata manusia. Gereja mesti melakukan sesuatu untuk menyelamatkan warganya dari kemiskinan, kesulitan ekonomi, ketertinggalan pendidikan, budaya individualisme, hedonisme, dan berbagai belenggu dosa. Itu yang dilakukan Yesus. Kalau gereja tidak peduli dengan kemiskinan warganya, tidak mau urus pendidikan mereka, tidak peka terhadap berbagai persoalan sosial budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat, lama-kelamaan gereja bisa ditinggalkan. Kita bisa belajar dari gereja-gereja Eropa, tempat asal-usul gereja kita. Dari sejarah gereja, kita tahu bahwa sudah sejak ratusan tahun lalu di Belanda, Inggris, Jerman, Perancis orang-orang membangun gedung-gedung gereja yang mewah, yang kokoh hingga hari ini, yang tinggi menjulang. Namun hari ini, banyak dari gedung-gedung gereja itu berubah menjadi museum, cagar budaya, rumah pribadi, tempat ibadah agama lain, bahkan ada yang sudah ditutup.

Mengapa itu terjadi? Karena banyak orang tidak lagi beragama, atau berpindah agama. Gereja-gereja kekurangan bahkan kehilangan umat, tidak lagi punya jemaat. Mengapa? Tentu banyak penyebab, tetapi salah satunya, adalah bahwa sejak 500 tahun lalu, dunia Barat berkembang pesat dalam berbagai bidang: ilmu pengetahuan dan teknologi, kapitalisme, perdagangan, ekspansi bahkan kolonialisme, politik dan hukum, dan lain sebagainya. Terjadi perubahan dari zaman teosentris ke zaman antroposentris. Di abad pertengahan, dari tahun 500-1500, disebut era teosentris, karena orang-orang Eropa sibuk dengan masalah-masalah teologis, urusan-urusan ajaran gereja, doa, ibadah, ritual, cenderung mengajak orang ke surga, dan abai terhadap urusan-urusan duniawi dan kesengsaraan hidup manusia. Kehidupan di dunia ini dianggap tidak perlu diurus, karena tempat sementara.

Setelah lelah dengan situasi itu, mulai abad 15, orang-orang Eropa beralih ke era antroposentris. Mereka mulai mengurusi dunia dan kehidupan manusiawi mereka. Mereka mulai cenderung menjadi sekuler, mengusahakan kesejahteraan dunia dengan segenap akal budi dan daya mereka. Dan mereka berhasil. Sementara gereja masih terus sibuk bertengkar soal doktrin-doktrinnya, bahkan berperang terus, antara Katholik dan Prostestan. Akibatnya gereja tertinggal dalam banyak hal, sehingga lama-kelamaan mulai tidak diminati.

Maka kalau tidak mau senasib dengan gereja-gereja di sana, GMIT mesti berbenah diri. GMIT mesti meneladani Yesus, untuk tidak hanya berkotbah, beribadah, berdoa, tetapi juga mau peduli pada sesama, pada alam lingkungan hidup, pada penderitaan warga, dan mau berjuang menciptakan kebaikan dan kesejahteraan bagi mereka, dengan kata maupun dengan tindakan. Pdt. Dr. Joas Adiprasetya mewanti-wanti kita dengan tanda-tanda kesekaratan gereja. Menurutnya, suatu gereja sudah sekarat apabila hal-hal ini sudah terjadi pada gereja itu, yaitu ketika koinonia menjadi institusionalisme, diakonia menjadi aktivitisme, marturia menjadi ekspansionalisme, liturgia menjadi ritualisme, oikonomia menjadi birokratisme, kerygma (pewartaan) menjadi sloganisme. Menurut Joas, kebangkrutan gereja tersebut terjadi karena Allah dirumahkan, iman didomestifikasi. Allah dan urusan iman dipahami hanya ada dalam ruang-ruang tertutup gereja dan rohaniah. Allah tidak dihadirkan di ruang publik, di pasar, di masyarakat dalam wujud syalom yang kongkrit berupa kebaikan, kesejahteraan, dan persaudaraan. Ini masalah serius.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana caranya gereja menghadirkan kabar baik dan pembebasan? Mengutip Pdt. Dr. Daniel Listijabudi, kita bisa mulia dengan apa yang menjadi kekayaan kita (menggunakan pendekatan SOAR – Strength, Opportunity, Aspirations, dan Results) dari perspektif Apprecitive Inquitry (AI). Pendekatan yang lama, dengan pendekatan problem solving (pemecahan masalah, dengan kata kunci SWOT – Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats) memang baik, namun bisa melelahkan, karena banyak energi dibutuhkan untuk menganalisis masalah, sebelum mencari solusi. Gereja bisa memakai pendekatan AI, yakni berupaya untuk menemukan, mengapresiasi apa yang menghidupkan, yang memberi pengharapan, pembaharuan, keberanian dan perubahan positif. Dengan pendekatan AI, kita bergerak untuk mencari solusi, membangun relasi, bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menghidupkan dan membangun gereja, masyarakat dan bangsa.  Paradigma AI fokus pada sumber daya yang ada pada kita untuk dikembangkan demi tercapainya kehidupan yang lebih baik. Artinya kita mulai dengan mencari tahu, mengidenfikasi, menginventarisir sumber daya yang ada di tempat kita, untuk dikembangkan, dihidupkan, dipadukan, diberdayakan untuk menolong kita maju dan sejahtera.

Mau tidak mau, sudah saatnya gereja bergerak menggiatkan pemberdayaan-pemberdayaan ekonomi jemaat, melatih warganya untuk mengembangkan pertanian yang baik (seperti yang dilakukan kompastani), peternakan yang baik, mengembangkan UKM, dan lain sebagainya. Pemberdayaan dan pengembangan ekonomi warga ini, bila dilakukan secara masif di setiap jemaat dan klasis, niscara gereja mampu menghadirkan pembebasan bagi umat bahkan NTT dari kemiskinan yang melilitnya. Sudah saatnya pula gereja sungguh-sungguh peduli pada pendidikan warganya, dengan memperkuat pendidikan formal di sekolah-sekolah GMIT agar lahir generasi-generasi yang berkualitas. Sudah saatnya pula gereja melakukan upaya-upaya penyelamatan terhadap alam lingkungan hidup dengan menanam air, pohon, penghematan penggunaan kertas dan bahan-bahan plastik.

Bagaimana gereja berdaya untuk menghadirkan kabar baik dan pembebasan? Seorang penulis mengatakan bahwa kalau gereja melayani dengan mengandalkan pendidikan dan pengetahuan, maka ia hanya melakukan apa yang bisa dikerjakan oleh pengetahuan. Kalau gereja melayani dengan mengandalkan uang, ia hanya bisa buat sesuatu sejauh kemampuan uang yang ada. Kita tidak bisa mengandalkan diri kita semata, atau apa yang ada dalam jemaat masing-masing, atau yang ada dalam klasis. Karena kita terbatas. Kita perlu membangun jembatan, jaringan, relasi, kerja sama, dengan berbagai pihak: sesama pelayan, gereja-gereja besar, pemerintah, LSM, Universitas, akademisi, peneliti, pelaku bisnis dan usaha, dan lain-lain.

Tetapi di atas semua itu, gereja mesti belajar dari Yesus. Yesus memulai dengan berpuasa untuk mendapat kekuatan dari roh Tuhan, dan itu yang menolong-Nya dalam seluruh pelayanan-Nya. Roh Tuhan adalah sumber daya, kekuatan, inspirasi, hikmat, yang menciptakan, membaharui, memelihara dan menghidupkan. Maka agar gereja berdaya, ia mesti setia bersekutu, berliturgia, beribadah, berdoa, agar ia memperoleh hikmat, kekuatan dan daya. Hikmat, kekuatan dan daya itu pada gilirannya mesti diwujudkan dalam upaya-upaya kongkrit menciptakan dan menghadirkan kebaikan, kesejahteraan, persaudaraan, solidaritas, perdamaian, dan syalomAllah di medan layan kita, klasis amarasi barat dan bahkan di seluruh wilayah pelayanan GMIT dan dunia. Selamat bersidang, Roh Tuhan menolong kita. Amin.

(Khotbah ibadah malam pertama sidang Klasis Amarasi Barat ke-29, 18 November 2019, di Jemaat Imanuel Ruanrete)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *